Cerpen

Samudera Kasih Ayah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Marsita Dewi

wacana-edukasi.com, CERPEN– Pendidikan adalah jembatan ilmu yang sangat berharga. Namun tidak semua anak dapat merasakan manisnya bangku sekolah, banyak dari mereka bekerja untuk mengisi perut sejak usia dini. Berbeda dengan Eva, walau terlahir dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi, namun tetap diupayakan bersekolah. Ayahnya banting tulang sebagai pemulung tapi tidak membiarkan anak semata wayangnya bekerja sepertinya juga. Ibu Eva sudah meninggal sejak melahirkannya, hingga Eva dirawat oleh ayahnya saja. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk seberang jembatan tua.

Eva kini berumur 10 tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan selalu mendapatkan beasiswa pendidikan. Namun tidak sedikit orang sekitar mengucilkannya karena latar belakang kehidupannya dianggap tak sepadan dengan yang lain. Pernah di suatu siang ia pulang dari sekolah dengan seragam yang sengaja disobek oleh teman-temannya dan lebam di bibirnya. Eva tak berani mengatakan hal sebenarnya kepada ayahnya, ia mengaku berjalan terlalu terburu-buru hingga lengan seragamnya tersangkut di pagar sekolah dan wajahnya terhantam besi pagar. Itu adalah sebagian kecil perlakuan buruk yang diterimanya.

Tak hanya Eva, ayahnya juga menerima cacian dari tetangga sekitar. Mereka menertawakannya karena bekerja terlalu keras dan ingin agar anaknya bisa menjadi orang besar kelak. Eva dan ayahnya saling menyembunyikan lara, sering terjatuh dalam kubangan kekecewaan tapi saling mengganggam asa dan yakin bahwa Tuhan sangatlah adil. Eva sering menulis curahannya pada secarik kertas, “Ya Tuhanku, tegakkan bahuku agar tidak terlihat lemah di hadapan ayah yang berjuang mati-matian menghidupiku. Aku tidak sanggup melihat ayah dikucilkan oleh orang lain, biar aku saja. Tangannya legam dengan beberapa bekas luka memilah sampah.

Aku mohon beri ia kesehatan dan kemudahan rezeki. Aku sangat ingin ia masih mendampingiku hingga sukses nanti.” Diusapnya air matanya lalu kertas itu digulung dan dimasukkan ke kaleng biskuit bekas, ayahnya memerhatikan hal itu tanpa sepengetahuan Eva.
Hari berganti hari usia Eva sudah 18 tahun. Ia mempersiapkan diri memasuki Universitas ternama di luar negeri setelah lulus SMA. Kegigihannya belajar tak padam di tengah keadaan ayahnya yang sudah renta dan sakit-sakitan. Eva sangat telaten mengurus ayahnya hingga kondisinya sedikit membaik. Dua pekan kemudian pengumuman kelulusan beasiswa jurusan Manajemen dari Universitas Oxford, Inggris keluar. Eva segera memberitakan kepada ayahnya hal tersebut.

“Ayah sangat bangga padamu, nak. Segera siapkan keberangkatanmu dan belajar yang rajin di sana ya. Gunakan sebaik mungkin kesempatan ini yang mungkin tidak datang dua kali.” Ucap ayahnya penuh semangat.
“Aku sedih jika harus meninggalkan ayah sendirian di sini. Tidak ada yang menemani ayah lagi bercengkrama di pagi hari sebelum bekerja.” Tutur Eva sembari memeluk erat ayahnya dan menangis di pelukannya.

“Tidak mengapa, nak. Kesuksesan memang butuh banyak pergorbanan. Ayah selalu mendoakanmu, yang terpenting sejauh mana kamu melangkah jaga diri baik-baik ya.” Ucap ayah sambil mengelus kepala Eva.

Eva pun berangkat dan menempuh perkuliahan dengan baik di sana. Ia mendapatkan kawan-kawan yang tak lagi meremehkannya. Pada waktu senggang mereka sering bertukar informasi tentang kultur negara asal mereka, dan di akhir pekan mereka sering berkunjung ke museum atau perpustakaan. Waktu berjalan begitu cepat, hingga Eva berhasil lulus dari Oxford dengan predikat Cumlaude. Ia juga menerima tawaran kerja dengan gaji memuaskan di sana. Tentu hal itu sangat membahagiakannya, namun ia mendahulukan kembali ke negeri tercinta memberitahukan ayahnya.

Setibanya di halaman rumah, Eva berggas lari untuk menemui ayahnya. Dipanggilnya ayahnya namun tidak menyahut sama sekali. Terlihat keadaan rumah mereka makin reyot dimakan rayap. Semua perabot tampak berdebu dan ia masih belum mengetahui keberadaan ayahnya. Hatinya tak karuan ketika menemui sebuah surat di atas tempat tidurnya, lalu segera dibaca.

“Ayah sangat berterima kasih, kamu sudah mau memperjuangkan keluarga ini. Pasti ibumu di surga sana juga tersenyum terhadapmu. Tidak ada yang menyakitimu karena Allah selalu bersamamu. Ayah sudah semakin renta dan mungkin tidak sampai usia ini melihatmu menjadi orang hebat tapi kamu selalu menjadi pemenang di hati ayah sebagai peri kecil pelipur lara kala ayah lelah seharian bekerja dan sebagai penenang saat ayah sedang gundah. Ayah selalu memerhatikanmu terbangun tengah malam untuk bermunajat kepada Tuhan lalu belajar hingga subuh. Ayah juga sering melihatmu menulis di kertas tentang curahan hati lalu menyimpannya rapi di dalam kaleng bekas. Maaf ayah belum bisa menjadi seperti ayah dari anak-anak di luar sana yang berkehidupan layak. Maaf karena ayah, kamu selalu dikucilkan. Jika kamu sukses kelas jadilah padi yang semakin berisi, semakin menunduk. Jadilah baik walau diperlakukan tidak baik, karena bukan penilaian manusia yang dicari. Jika suatu hari kamu kembali ke rumah ini dan sudah tidak menemui ayah, maka tabahkan hatimu. Mungkin ayah sudah berpulang menyusul ibumu. Jadilah kuat dan bermanfaat bagi bangsa. Salam hangat untuk peri kecilku.” Tak terbendung air mata Eva memeluk surat terakhir itu. Diraihnya ijazah yang ia bawa lalu kembali menangisi kepergian ayah tercintanya.

“Terima kasih, Ayah. Engkau adalah pahlawanku dalam segala situasi. Hatiku tentram dalam dekapanmu yang hangat, senyummu indah bagai rembulan yang selalu kita tatap sebelum terlelap di bawah temaramnya. Kini aku pulang untukmu namun tak dapat merengkuhmu lagi. Takkan mampu aku membalas luasnya kasih dan pengorbananmu. Sayap-sayapku serasa patah atas kepergianmu, separuh jiwaku hampa tanpamu. Namun aku harus tetap melanjutkan hidup. Semoga kita sekeluarga disatukan dalam surga-Nya kembali. Aku cinta ayah selamanya.” Tutur Eva di hadapan pusara ayahnya.

Biodata Singkat Penulis:
Penulis bernama lengkap Marsita Dewi. Lahir di Makassar, 13 Juni 2000. Ia adalah anak dari Ibu Ratna Indrawati dan Bapak Mahmud Ali. Kini ia menempuh pendidikan sebagai Mahasiswi semester 7 Program Studi Ekonomi Syariah di STAI Al-Azhar Gowa. Hobinya menulis puisi, cerpen, dan opini. Cita-citanya menjadi Dosen.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 33

Comment here