Bahasa dan SastraCerpen

Cahaya

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ummu ‘Iffah

“Bu, mau pipis.”

Gadis kecil itu tergopoh-gopoh sambil berlari ingin segera menunaikan hajatnya. Niatnya untuk masuk rumah urung seketika. Tangan perempuan yang dipanggilnya ibu tersebut menghalanginya dengan setengah mendorong.

“Kebiasaanmu, sudah kebelet baru bilang, sudah berulang kali, nganah koe, nggak usah masuk!” jawab perempuan itu sambil setengah berteriak dalam bahasa Jawa yang khas. Tak cukup dengan teriak dan bentakan, ia pun memukul balita itu. Anak itu pun menangis.

“Sakit, Bu.”

Sambil menarik tubuhnya ke arah keran air di depan rumahnya. Anak itu terus menangis. Sakit yang ia rasa bukan hanya sebatas kemarahan sang ibu, melainkan sakit fisik yang tentu saja lebih menyakitkan.
Ibunya tidak menggubris teriak kesakitan anaknya, ia terus mengomel.

“Awas, kowe, ya!”

Saya yang sedang menjemur pakaian, tak tahan melihat adegan itu. Jantung saya berpacu dengan kencang. Rasanya ingin menolong, tapi bagaimana. Mereka adalah ibu dan anak. Lagi pula, zaman sekarang mana mungkin bisa ikut campur urusan keluarga orang lain, bisa jadi kita yang menolong justru berujung di balik jeruji.

Ini bukanlah yang pertama, bahkan setiap waktu anaknya selalu menangis dan diancam, entah diapakan, tidak peduli malam atau dini hari. Tangisan di sunyinya malam, tentu mengusik naluri saya sebagai ibu.

Orang tuanya seperti biasa saja ketika memperlakukan anaknya, diseret, disentak dengan kasar, sungguh membuat hati bergidik. Sikap yang tidak sepantasnya dilakukan seorang ibu kepada anaknya yang masih balita. Saya hanya bisa memalingkan muka bila tidak sengaja melihat adegan tersebut. Sungguh miris, biasanya saya hanya mendengar, atau menonton melalui media televisi, sekarang justru menyaksikan.

Cahaya, balita perempuan sepantaran dengan anak saya, kalau diajak bicara tak pernah bersuara, entah sifatnya yang pendiam atau ketakutan mendalam saat berjumpa dengan orang dewasa. Wajah balita polos yang tak pantas diperlakukan kasar. Kulitnya yang hitam legam sedikit mampu menutupi tekanan yang ia rasa.

Sudah empat bulan ini kami bertetangga. Walaupun begitu kami jarang berjumpa. Saya tidak betah berlama-lama di luar rumah, kalau tidak ada keperluan, saya lebih suka di dalam rumah, bercerita dan bercengkrama atau hanya sekadar main tebakan sama anak-anak dan aktivitas lainnya.

Cahaya biasa ke rumah mengantarkan kue pesanan saya. Saya berusaha mengajaknya bicara, entah sekadar bertanya kabar ibunya, atau mengucapkan terima kasih, itupun tak pernah ia jawab. Entah apa yang ada di pikiran Cahaya ketika melihat saya. Apakah ia memandang semua ibu itu sama?

Bisik-bisik tetangga sampai ke telinga. Ibunya suka marah-marah bila sang ayah tidak di rumah. Kami tidak tahu ada apa dengan keluarga Cahaya. Dan tetangga juga tidak ada yang berani mencari tahu, sekali lagi hal tersebut adalah urusan orang lain.
Ya, urusan rumah tangga orang lain memang tak sepatutnya kita ikut campur. Tetapi perlakuan ibunya terhadap Cahaya, di luar naluri seorang ibu yang penyayang. Mana ada seorang ibu tega memukul anaknya yang telah susah payah ia kandung, dilahirkan, dan dibesarkan.

Ibu mana yang tega berkata kasar hingga menyakiti fisik anaknya, hanya karena hal sepele. Fitrah ibu adalah sebagai pelindung anak-anak mereka.

Tentu saja hal ini tidak lepas dari pemahaman dan pola pikir masyarakat, ditambah tidak adanya perlindungan negara terhadap keluarga apalagi anak-anak. Fitrah yang dimiliki oleh seluruh makhluk-Nya.

Memang, sikap sang anak yang menggemaskan dan terkadang menyulut emosi orang tua adalah hal wajar sebagian bentuk ingin diperhatikan dan dimanja. Namun, kebanyakan orang tua tidak peka dan tidak mampu menangkap sinyal dari sang anak. Alhasil, mereka diperlakukan dengan kasar, dimarahi hingga disakiti fisiknya. Seharusnya orang tua menyadari bahwa anak adalah darah daging, belahan jiwa orang tua, dan aset berharga keluarga.

Di tangan orang tualah, anak-anak tersebut ingin dijadikan seperti apa, sebab anak adalah amanah dari Sang Pencipta.

“Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani.” (HR. Bukhari-Muslim)

Saat ini, kekerasan orang tua terhadap anak ataupun sebaliknya sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan setiap hari ada saja media cetak maupun elektronik menyajikan berita serupa. Namun sayang, tidak satu pun solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Alih-alih selesai, justru kasusnya terus meningkat.

Kekerasan orang tua terhadap anak akan diproses apabila memenuhi unsur dalam undang-undang negara. Akan tetapi, aturan tersebut tidak berkorelasi dengan aturan agama. Sebuah aturan yang lahir dari sistem yang tidak bersumber dari Rabb-nya, sebagai akibat dari dipisahkannya aturan agama dalam kehidupan, melahirkan orang-orang yang berperilaku tak manusiawi. Hingga merenggut nurani, bahkan wanita yang seharusnya melindungi anak-anak mereka justru menyakiti buah hatinya.

Pun, lingkungan tidak bisa berbuat banyak, justru sebaliknya, memberi andil meningkatnya jumlah kasus kekerasan. Kalau pun ada yang menolak kekerasan tersebut, akan tetapi tidak berani untuk bertindak. Hanya bisa berdoa agar aturan saat ini segera berganti kepada aturan yang bersumber dari Ilahi. Yang mampu mengembalikan fitrah seorang ibu yang lemah lembut dan penuh kesabaran, dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya menjadi generasi hebat, dambaan umat, menjadi pelopor, menyongsong peradaban yang gemilang.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 77

Comment here