Bahasa dan SastraCerpen

Tubuhku adalah Milikku (Bagian 2)

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anita S

Wacana-edukasi.com — “Apa iya, jodohku menungguku menjadi salihah?” Kupikir berulangkali perkataan Rahmah. Apalagi jika mengingat usia menginjak 27 tahun dan sampai hari ini aku belum menikah. Semakin puyeng kepalaku.

Di satu sisi aku ingin sekali mengikuti apa kata Rahmah, mensalihahkan diri agar layak mendapat suami salih. Di sisi lain aku juga gamang, aku yang selama ini bersikukuh pada paham tengah-tengah alias moderat harus melepaskan image yang telah membuatku nyaman, disukai banyak pihak, dan mudah bergaul dengan berbagai macam golongan. Selanjutnya belok kanan menjadi kelompok jilbaber yang fanatik dan identik dengan gamis dan kerudung syar’i. Apa aku sanggup mendengar kasak-kusuk mereka membicarakan perubahanku nanti?

Ah, kenapa ribet sekali, sih, dunia ini kalau ada perubahan sedikit saja? Mau jadi lebih salihah, kok, seribet ini? Harus menata hati, menata ucapan, menata perbuatan, akhlak, dan menahan telinga untuk tetap tegar di tempatnya.

Kugaruk kepalaku tanpa sadar hingga rambut lurusku menjadi acak-acakan. “Rindu, siapkah kamu dengan segala konsekuensi atas perubahanmu? Apa kata dunia jika mereka melihatmu dalam balutan jilbab syar’i? Apakah mereka akan mengatakan, ‘Aih kamu tambah cantik deh!’ Atau mereka akan mengatakan, ‘Sayang banget rambut kamu kan bagus atau tubuhmu kan sexy’. Aku bermonolog ria.

Bodho amat, toh bukan mereka yang ngasih aku makan dam mereka juga nggak ngasih aku jodoh. Lagi pula kalau aku gak punya duit mereka juga nggak akan ngasih aku hibah. Apa salahnya aku mencoba ikut ngaji sama Rahmah. Kalau baik, ya, kuambil, kalau gak sreg di hati, ya, tinggal berhenti. Gitu aja kok pusing.

*

“Assalamualaikum, selamat pagi,” sapaku pada teman-teman kerjaku.

“Waalaikumsalam, pagi, Rindu,” jawab mereka serentak.

Pagi yang cerah, secerah hariku di tanggal muda. Siang ini bagian keuangan akan membagikan gaji kami. Terbayang olehku deretan barang yang ingin kubeli setelah gajian nanti. Tak lupa juga deretan nama yang biasa menerima sedekah awal bulan saat aku gajian. Bukannya aku pamer gaes, kali aja ada yang mau meniru. Aku kan juga kecipratan pahala. Ikhlas sama tidak, urusanku sama Gusti Allah.

“Kak Rindu, nanti sore di mushola belakang rumahku ada kajian Ustadz Azam, lo.” Dengan gembira, Rahmah sampaikan berita itu padaku.

“Emang siapa Ustadz Azam?” Kunaikkan satu alisku agar Rahmah paham aku tak mengerti siapa gerangan yang sedang ia bicarakan.

“Ih, Kak Rindu belum tahu. Ustad Azam itu ustad gaul, ganteng, pinter, salih, tajir, dan cool abis orangnya. Beliau biasa memberikan kajian Syarah Kitab Nidzomul Ijtima’ie. Rahmah jadi semangat kalau beliau yang ngisi.”

Ini jilbaber kok masih jadi bucin sama ustadnya. Segitu ngefans sama yang namanya Ustadz Azam.

“Ra, kamu kok sama saja sama para K-Popers? Segitunya kalau ngefans sama ustadmu.” Rahmah mencebik.

“Eh, Kak Rindu, ngefans sama ustad itu beda dengan ngefans sama pemain drakor. Rasulullah pernah bersabda, ‘Anta ma’a man ahbabta’ artinya ngkau bersama dengan siapa yang engkau cintai. Kalau kita ngefans sama ustad yang salih, pinter ilmu agama, taat, rajin shalat tahajud, dan rajin berdakwah, maka nanti kita akan bersamanya di akhirat.”

“La, suamimu Hasan mau dikemanakan?” Aku heran juga dengan apa yang disampaikan Rahmah.

“Rahmah tetap sama Mas Hasan, lah. Kak Rindu ini bagaimana, orang Rahmah dan Mas Hasan sudah satu visi. Kita sama-sama tau kalau ngefans sama ustad, kita nanti di akhirat akan berkumpul bersama mereka yang punya amalan istimewa itu. Tapi, jangan dibayangkan ngumpulnya satu rumah. Maksudnya ngumpul itu di surga yang sama.”

“Ooo.” Bibirku manyun ke depan. Kupikir kumpul dengan Ustad Azam satu rumah. Ah, betapa bodohnya diriku dalam ilmu agama.

“Segitu gampangnya masuk surga?” tanyaku selanjutnya.

“Ya, iyalah, semua hal kalau kita tahu ilmunya memang mudah. Seperti kita-kita ini Kak, Kita mudah aja menata angka-angka dan huruf yang berjibun kedalam kolom-kolom debit atau kredit lalu dilaporkan kepada atasan sebagai landasan untuk mengambil keputusan. Demikian juga dengan surga, kalau kita tahu ilmunya dan siapa-siapa yang berhak memasukinya, mudah juga untuk bisa menjadi penghuninya.”

Aku menganggukkan kepala. Masuk akal sekali apa yang dibicarakan Rahmah.

“Ayo, Kak Rindu coba hafalin hadisnya, mudah, kok. Rahmah ulangi ya? Anta ma’a man ahbabta.”Pelan-pelan kucoba menghafal hadis yang hanya terdiri dari empat potong kata itu. Mudah juga untuk dihalalkan dan diresapi maknanya.

“Nanti sore jadi ikut ya, Kak? Jam empat, jadi nanti Kak Rindu gak usah pulang. Langsung aja ke rumahku. Mandi dan ganti baju di rumahku. Ntar kupinjami kerudungku.”

“Emang harus pake kerudung ikut kajiannya Ustad Azam?”

“Gak harus, sih, Kak. Cuma adabnya begitu, kira-kira kakak gak malu pergi ke mushola gak pakai kerudung.”

“Enggak,” jawabku tegas. Di musholahku biasanya ibu-ibu melepas mukenanya ketika sudah selesai shalat atau dzikir bersama.

“Beneran gak malu? Ntar kalau disemprit sama Ustadz Azam bagaimana?”

“Eh, disemprit juga? Ya, janganlah kalau begitu, malu. Ntar pinjam kerudungmu saja. Tapi jangan yang panjang-panjang seperti punyamu.”

“Beres, nanti kupinjami kerudungku waktu muda.”

*

“Wah, Kak Rindu tambah cantik.” Puji Rahmah kepadaku.

“Masa sih?” Kupastikan dia tidak membual.

“Coba deh Kak Rindu lihat dikaca. Tulang rahang Kak Rindu yang membentuk sudut siku-siku tertutup oleh kerudung, sehingga terlihat lebih tirus.”

Kuraba kulit wajahku. Benar apa yang disampaikan oleh Rahmah. Kerudung pasmina hitam yang kupakai memang semakin menampilkan keindahan bagian wajahku. Dengan bentuk hidung yang lumayan mancung, kulihat wajahku semakin sedap dipandang.

“Ayo Kak buruan, biar dapat tempat di depan. Ntar kalau di belakang suara Ustad Azam nggak kedengaran. Lebih dominan suara anak-anak bermain atau bercakap-cakap, tak jarang juga campur dengan suara tangisan mereka.”

Tanpa ada perlawanan dari diriku, aku mengekor Rahmah. Sampai di Mushola telah berbaris rapi beberapa wanita baik tua dan muda menunggu kajian dimulai. Karena datang agak terlambat, kami mendapatkan tempat di depan. Biasalah yang datang pertama justru mengambil tempat dibelakang. Mungkin, agar tak kelihatan ustadnya jika mereka ketiduran.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Cool man, suaranya merdu sekali. Kucoba mencuri pandang. Seorang lelaki memegang microfon membawakan acara. Wajahnya asli bening banget. Lelaki idamanku sekali.

Setelah membuka acara, ia menyerahkan microfon kepada seorang lelaki yang berusia sekitar tiga puluhan. Wajahnya adem dan tenang. Sepertinya ia telah berumah tangga beberapa tahun lamanya, penampilannya tenang dan menghanyutkan. Mungkin dia yang disebut Ustad Azam.

“Ra, apa ini Ustad Azam?” tanyaku dengan suara kukecilkan agar yang lain tidak mendengarkan. Terutama orang yang sedang kubicarakan. Rahmah mengangguk dengan cepat.

“Kalau yang membuka acara tadi siapa Ra?”

“Itu Ustadz Sholihin, Kak, masih single lo. Kak Rindu bisa daftar jadi calon istrinya.”

“Kik … kik … kik ….” Kami tertawa bersama. Sang ustadz yang ada di depan berdehem, kode keras untuk diam.

“Saudariku yang dimuliakan Allah, Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan dengan potensi yang berbeda-beda. Keduanya sama-sama diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepadanya. Bentuk ibadah yang Allah perintahkan kadang-kadang sama seperti shalat, puasa, zakat, haji, menuntut ilmu, bershodaqoh, berdakwah, dan lainnya. Terkadang bentuk ibadah itu berbeda sesuai dengan potensi gender atau jenis kelamin. Misalnya, kewajiban mencari nafkah bagi lelaki tidak untuk perempuan, kewajiban shalat Jumat bagi lelaki namun tidak untuk perempuan, juga kewajiban jihad bagi lelaki dan tidak bagi perempuan. Demikian juga sebaliknya, Allah membebankan kewajiban pengasuhan dan pendidikan anak-anak yang masih kecil kepada ibu atau pihak perempuan tidak kepada laki-laki. Bukankah kondisi ini sangat pas dengan fitrah perempuan yang penuh perhatian, penuh kasih sayang, dan cerewet.”

“Eh, Kok begitu? Mengapa Ustadz Azam mengatakan cerewet sangat sesuai dengan fitrah mengasuh anak-anak?” kataku dalam hati.

“Ibu-ibu dan saudariku pasti penasaran mengapa fitrah perempuan yang cerewet itu sangat sesuai dengan kewajibannya mengasuh dan mendidik anak-anak? Ibu -ibu perlu tahu, mendidik anak-anak tidaklah mendadak. Tidak pula bisa dikatakan sekali diajari mereka langsung hapal dan bisa menerapkan. Faktanya, untuk menanamkan sebuah kebiasaan yang baik bagi anak-anak butuh diingatkan berkali-kali. Nah, pekerjaan ini butuh banget tuh dengan karakter cerewet. Yang punya karakter ini adalah wanita. Jadi, pas bukan jika perintah Allah untuk mengasuh dan mengasuh anak-anak melekat pada wanita dengan karakter kewanitaannya?”

“Betul,” jawab seluruh jamaah kompak. Aku pun ikut membenarkannya.

“Jadi kalau Allah subhanahu wata’ala mewajibkan wanita untuk berpakaian yang menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan sebenarnya perintah ini juga sudah pas banget dengan potensi kewanitaan. Setiap inci dari tubuh wanita itu menarik. Jika dipandang akan menyebabkan darah lelaki mengalir ke ubun-ubun dengan cepat. Kalau dia gak kuat iman, bisa langsung di-smack down. Sehingga, jika ditutup maka dia akan terlindungi dari kobaran syahwat lelaki asing. Apalagi lelaki hidung belang.”

“Ah, itu kan karena otaknya saja yang kotor, kalau tubuhnya wanita, ya, haknya dia. Sesuai dengan tingkat keimanan dan ketakwaannya,” ujarku pelan.

“Lebih jauh lagi, menutup aurat secara sempurna adalah sebuah bukti ketaatan seorang wanita kepada Allah. Bukti cintanya kepada sang Pencipta.”

Eh, kok nyambung terus pertanyaanku dengan jawabab Ustadz Azam? Apa kami sehati? Atau ini memang kode Ilahi?

Menit berikutnya aku tak bisa lagi berkonsentrasi pada apa yang disampaikan Ustadz Azam. Kewajiban menutup aurat sebagai bukti ketaatan seorang muslimah kepada Allah cukup menganggu benakku. Selama ini aku belum melakukannya. Aku hanya menutup aurat ketika shalat dan membaca Al-Quran.

Kalau memang ini adalah sebuah kewajiban, sudah berapa banyak catatan dosa yang kubuat ketika aku tidak menjalankannya. Suara merdu Ustadz Sholihin ketika membaca surat An Nur ayat 31 yang berisi perintah menutup Aurat semakin membuatku gelisah. Layaknya orang kerasukan jin yang dibacakan Al-Qur’an.

“Ya Allah sungguh aku tidak tahu jika engkau memerintahkan kepada kami untuk menutup aurat dengan sempurna,” ucapku dalam hati.

Tak disangka air mataku mengalir tanpa permisi. Tentu saja pemandangan ini menarik mata orang-orang yang ada di dekatku termasuk Ustad Azam. Untung saja Rahmah dengan cekatan memberiku tisu, sehingga aku bisa segera menghapus caira bening yang keluar dari sudut mataku ini.

Hatiku tetap galau meskipun acara pengajian sudah usai. Mau melepas kerudung pasmina yang kupinjam dari Rahma rasanya enggan. Jelek-jelek begini aku adalah tipikal orang yang ingin terlihat baik di mata Allah.

“Ra, pinjam kerudungnya dulu ya. Lusa kukembalikan sekalian kucuci.” Sebuah senyum mengembang di wajah Rahmah. Ia hanya mengangguk dengan ringan.

“Kalau Kak Rindu suka dengan modelnya, ambil aja, Kak. Rahma punya banyak.”

Aku membulatkan mata. Begitu mudah wanita muda ini memberikan barangnya kepadaku. Asal kalian tau saja, kerudung pasmina hitam yang kupakai ini bermerek Zoy*. Harganya tahu sendiri, kan, tidak murah.

“Sudahlah kak, anggap saja ini hadiah dariku. Tapi maaf kerudungnya sudah pernah kupakai sekali. Pas ngadep calmer.” Rona merah menyembul di pipinya. Mungkin kerudung ini membawa kenangan indah saat dia bertemu dengan Hasan dan keluarga.

“Semoga kerudung ini juga mengantarkan Kak Rindu bertemu dengan calon suami. Kik … kik … kik …. ” Tawanya yang renyah membuatku tak sungkan membawa kerudung ini pulang.

“Semoga saja calon suamiku ada dipengajian hari ini,” ucapku tanpa sadar.

“Eh, maksud Kak Rindu yang mana?”

(Bersambung)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 14

Comment here