Oleh: Vitriyani
wacana-edukasi.com– Nuansa rumah sakit yang begitu sangat khas terhampar jelas didepan pandanganku. Dengan langkah pasti aku ayunkan kakiku menuju ruang ICU. Ruang dimana kakak tercintaku dirawat disana selama tiga hari ini.
Sesaat kemudian netraku menangkap sosok laki-laki berusia 40an yang sesekali menyeka kedua bola matanya. Menyadari kehadiranku, dia langsung bergegas berdiri dan menghampiriku.
“Nay.. ” Lirihnya dengan tatapan berlapiskan bekas airmata yang ia seka tadi. Jujur, ini kali pertama aku menyaksikan sendiri ada makhluk bernama laki-laki bisa menangis.
“Bagaimana kondisi mbak As mas? Adakah perkembangan? ” Tanyaku pada mas Rendra, suami dari mbak Askia.
“Belum Nay… ” Jawabnya singkat, tapi terdengar sangat berat.
Aku paham, mbak Askia adalah sosok istri yang sangat ia cintai. Sepuluh tahun sudah mereka menanti hadirnya sang buah hati. Dan harusnya hari ini adalah hari yang paling bahagianya, karena ia berhasil melahirkan anak yang sangat mereka idam-idamkan selama ini.
Tiga hari lalu, mbak Askia mengalami pendarahan hebat. Ia mengalami kontraksi sebelum jadwal operasinya. Mbak Askia langsung dibawa ke rumah sakit langganannya, rumah sakit yang selama ini ia periksa kehamilannya secara rutin.
Namun, pada saat operasi berlanjut, ketika bayi sudah dikeluarkan, rahim mbak Askia tidak bisa menutup, jadi dokter melakukan pengangkatan rahim demi menghindari kejadian yang lebih parah. Ini pun ternyata mengakibatkan pendarahan yang tidak mau berhenti. Seketika mbak Askia pun langsung dirujuk ke rumah sakit pusat dalam kondisi koma.
Lalu bayinya? Namanya Almahyra Alfathunnisa, nama yang mbak Askia berikan jauh sebelum mbak Askia masuk rumah sakit.
Kami sepakat untuk membawanya kerumah kemarin sore, ada ibu yang masih kuat menjaga dan merawat bayi mbak Askia.
***
Aku menatap pintu ruang ICU yang tertutup rapat. Tak seberapa lama kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Aku dan mas Rendra langsung berdiri, dan bergegas menghampirinya.
“Bagaimana dok, kondisi istri saya? ”
“Alhamdulillah, bisa dibilang ini kondisi yang jauh lebih baik, nanti akan saya suruh perawat menambahkan nutrisi melalui selang makannya.. ”
Mas Rendra yang tadinya berwajah sendu, seketika langsung berubah sumringah.
Ia menatapku setelah dokter berlalu dari hadapan kami. Tatapan yang memang tak seperti biasanya.
“Makasih Nay… Sudah menjadi bagian yang menguatkanku dalam kondisi yang terpuruk seperti saat ini.. ” Ucap mas Rendra.
“Memang sudah seharusnya begitu kan mas? Mbak As adalah kakakku, begitu juga dengan mas Rendra.. ” Aku yang berusaha lebih tegar dari suami kakakku itu.
Hening.
Ddrttt… Ddrttt..
Ponselku minta diangkat, aku segera mengeluarkan ponselku dari tas mungilku.
“Hallo… Assalamu’alaikum?? Nay..?? ” Sapa seseorang dari seberang sana.
“Wa’alaikumsalam mas Rey? .. ”
“Gimana kondisi Askia, Nay? ”
“Alhamdulillah mas Rey, kata dokter sudah lebih baik, nanti atau besok rencana mau dikasih nutrisi melalui selang infusnya”
“Alhamdulillah yaa Allah, .. Jaga diri baik-baik yaa Nay, nanti malam aku kesana.. ”
“Iyaa mas.. ”
Kututup telepon mas Reyhan, ia adalah kakak sulungku, sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak.
Aku menimang-nimang ponselku, sesekali melihat kearah mas Rendra. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya, kalau mas Rendra ternyata punya sisi selemah itu. Padahal mas Rendra yang ku kenal melalui cerita mbak Askia adalah sosok yang tegas dan kaku juga berwibawa. Ini adalah pertama kali aku bisa dekat dengan mas Rendra, aku berusaha menjaga pandangan karena walau bagaimanapun ia adalah kakak iparku, dan itu bukan termasuk mukhrimku.
***
Kulirik arlojiku yang bertengger di pergelangan tangan kiriku. Sudah jam empat, tapi mas Rendra juga belum kembali. Selama inikah kalau dia sholat? Entahlah, satu yang pasti yang aku tahu kata mbak Askia, mas Rendra adalah sosok yang sangat khusuk dalam beribadah.
Mas Rendra banyak berubah, tentunya berubah ke arah yang lebih baik. Awal pernikahan dulu, mas Rendra bisa dibilang seseorang yang sulit untuk diajak sholat. Dengan ketelatenan dan kesabaran mbak Askia, akhirnya mas Rendra pelan-pelan bisa menjadi lebih baik.
“Nay? ” Tepat satu langkah didepan aku duduk, aku yang dalam posisi menunduk fokus dalam pikiranku sendiri, mendongak sesaat, sepersekian detik kedua netraku langsung beradu pandang dengan lawan bicaraku.
“Mm.. Sudah mas sholatnya? ” Aku sedikit tergagap dan langsung berdiri.
Karena aku tak terbiasa bicara dengan lawan jenis, kecuali kakak kandungku, aku menjadi seseorang yang mudah grogi memang setiap kali ada orang yang lebih dekat bicaranya.
“Sudah Nay, kamu pulanglah dulu atau mau sholat dulu.. Biar aku yang jaga kakakmu disini.. ”
“Iya mas, aku sholat dulu saja.. Sekalian aku pamit yaa.. Kasihan ibu di rumah nggak ada yang gantikan jaga Alma… Assalamualaikum. . ”
“Wa’alaikumsalam, hati-hati Nay dijalan… ”
Baru beberapa langkah, mas Rendra memanggilku.
“Nay? ”
Aku menengok ke arah mas Rendra.
“Ya mas? ”
Lagi-lagi ia menatapku penuh makna.
“Makasih.. Sudah mau menjaga anakku.. Tanpamu mungkin aku tidak akan bisa sekuat ini.. ”
Aku tersenyum.
“Iyaa mas.. Anak mbak Askia adalah anakku juga, jadi memang sudah menjadi kewajibanku untuk ikut menjaganya.. ”
Aku menjauh dari pandangannya, menuju mushola untuk menunaikan sholat Ashar dan selanjutnya adalah pulang.
***
Perjalanan pulang ke rumah memakan waktu kurang lebih satu jam. Dan ditengah perjalanan aku merasa tidak enak, entahlah perasaan gelisah tiba-tiba muncul begitu saja. Bayangan mbak Askia yang terbujur lemah dalam ketergantungan selang-selang itu, tiba-tiba muncul dalam benakku.
Baru saja tiba didepan rumah, ponselku berbunyi. Sebelum aku angkat tapi malah mati duluan. Aku lepas helmku, dan melirik sebentar ponselku.
Glek..!
Aku kaget, mas Rendra menelponku beberapa kali. Perasaan takut mulai menyusuri sekujur tubuhku. Aku langsung telepon balik nomer mas Rendra.
Klik..
Diangkat oleh pemilik nomer. Tapi hanya suara sesenggukan yang terdengar jelas. Aku semakin tak karuan dibuatnya.
“Mas?? ”
“Nayyy…. ” Suara mas Rendra lirih, kemudian diiringi dengan tangisan. Sumpah demi apapun, aku merasa ngilu mendengar kakak iparku menangis.
“Nayy… Mbakmu Nay…. Bisakah kesini lagi… ”
“Kenapa mas dengan mbak As?? ” Aku sudah tidak sabar lagi, mendengar penjelasannya.
“Askia sudah tiada Nayyyyy…… ” Dan dalam sekejap aku terduduk lemas di samping motorku.
Ya Allah yaa Robby…. Secepat inikah mbak As meninggalkan semua yang telah diraihnya? Dan Alma, yahh bayi mungil itu tidak bisa melihat ibunya lagi untuk selamanya. Lalu mas Rendra? Rasa sesak kembali menyeruak dalam hatiku yang paling dalam. Aku yakin saat ini mas Rendra begitu sangat terpuruk pastinya.
****
Aku tiba dirumah duka pukul sepuluh malam, ada mas Reyhan dan istri serta kedua anaknya yang ikut dalam perjalanan tadi. Ibu tidak ikut, karena menemani Alma yang masih sangat mungil dan masih merah. Walaupun memang aku lihat sebelum berangkat tadi, ibu nampak sembab, ada sesuatu yang berusaha ia sembunyikan. Kehilangan anaknya memang hal yang sangat- sangat menyedihkan, sama ketika almarhum bapak dulu meninggal dalam kondisi kritis karena serangan jantung.
Langkahku kian gontai melihat suasana tangis tangisan yang ada di dalam ruang tamu.
“Jangan menangis didepan mbakmu, tunjukkan kalau kamu bisa kuat dalam menghadapi kenyataan ini.. ” Bisik mas Reyhan memapahku memasuki ruang tamu.
Mas Rendra berhambur ke arah kami. Memeluk mas Reyhan, dengan isakan tangisnya. Entah apa yang dikatakan mas Reyhan aku tidak begitu mendengar. Kedua mataku langsung tertuju ke arah peti berberukuran 2 meter dengan warna putih bersih.
Deg!
Aku harus kuat, tidak boleh menangis. Aku menatap wajah mbak Askia yang sudah terbungkus kain kafan. Jujur, masih banyak hal yang ingin ku tanyakan padanya, banyak hal yang belum aku mengerti tentangnya. Ketika seminggu yang lalu mbak Askia dengan tatapan memohon padaku. Aku tidak menyangka itu bakal menjadi permohonan terakhir mbak Askia.
“Jadi ibunya anakku ya Nay, kalau misal nanti aku nggak bisa bertahan… ”
“Ihh apaan sih mbak, .. Kalo lagi hamil jangan suka ngomong yang aneh- aneh deh.. Ntar ada malaikat lewat gimana kalo diaminkan… ”
” Nay, nay.. Aku tuh realistis, maksudku ini anggap wasiatku padamu.. ”
“Mbakk… ”
“Lha iya kan Nay, ini operasi pertamaku, besok kalau misal sesuatu terjadi padaku, pokoknya aku serahkan padamu.. Okee?? ”
“Nggak akan terjadi apa-apa mbak, percaya dan yakin mbak bisa melewatinya. Ini yang ditunggu tunggu mbak dan mas Rendra kan.. Mbak itu harusnya optimis jangan malah ngelantur yang nggak jelas.. ”
Entahlah waktu itu aku merasa mbak Askia agak berbeda, dia yang dewasa menjelang kelahiran anaknya malah seolah seperti orang lain bagiku.
Aslinya dia begitu sangat dewasa dalam segala hal, bahkan dia yang selalu menyemangatiku disaat aku down karena banyak cibiran untukku. Aku yang berusia 35 tahun juga belum menikah. Bukannya karena pemilih, namun memang belum ada seseorang yang mampu bertahan dalam hatiku. Mbak Askia satu-satunya orang yang dengan telaten membuatku kembali bangkit.
Aku mengelus wajah dingin mbak Askia. Aku ingin memeluknya dan ingin marah padanya. Kenapa harus pergi disaat semua orang butuh dia. Kenapa waktu itu harus bicara ngelantur yang nggak jelas. Sesak rasanya melihat wajah pucat mbak Askia.
Aku mendoakan mbak Askia sebentar sebelum sesaat kukecup kening mbak Askia.
‘Aku janji mbak, aku akan menjaga Alma dengan sepenuh hati… Aku akan menganggap Alma sebagai anakku. Surga tempatmu mbak Askia.. ‘ batinku seraya menatap wajah diam kakak tercintaku.
(𝘋𝘢𝘯) 𝘚𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘶𝘮𝘢𝘵 𝘢𝘥𝘢 𝘢𝘫𝘢𝘭𝘯𝘺𝘢. 𝘈𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘢𝘫𝘢𝘭 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨, 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 (𝘣𝘦𝘳𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢) 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘯𝘥𝘶𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘫𝘶𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘸𝘢𝘭𝘢𝘶𝘱𝘶𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘢𝘵 (QS. Al A’raaf :34)
Selesai
Views: 77
Comment here