Cerpen

Sahabatku, Comblangku

blank
Bagikan di media sosialmu

SAOleh : Ghania E.R.

wacana-edukasi.com– Aku masih merenungi tawaran Ustadz Zaky. Layakkah aku menikah dengan putra beliau, Ustadz Fikri? Aku hanyalah anak kemaren sore yang belajar Islam lebih baik. Selama ini, aku hanya mencukupkan diri sholat dan puasa. Padahal, ada banyak hal yang diatur oleh Islam. Rasanya belum pantas jika aku harus hidup berdampingan dengan seorang ustadz yang jam terbang dahkwahnya begitu tinggi. Sementara ilmuku masih seujung kuku.

Pantas saja, setiap berpapasan di tempat pengajian, Ustadz Fikri tampak salah tingkah. Kadang merasa lucu melihat beliau yang berupaya terus menundukan pandangan. Antar lawan jenis memang sudah seharusnya saling menundukkan pandangan. Dalam Islam disebut dengan istilah ghodul bashor. Tapi bagiku yang baru ngaji, masih terasa susah. Aku pun masih sering cengengesan. Astaghfirullahal ‘adzim…

Jadi bingung mau milih pinangan siapa. Meski rasa tak layak, tapi menolak lelaki soleh yang baik ilmu agamanya bukankah berdosa? Disisi lain, chat Pak Pras yang menyatakan ingin menikahiku belum kujawab. Tika bilang, aku bakal nyesel kalau nolak dosen Matematika itu. Selain cool, ganteng, pinter, beliau juga sopan dan ramah. Sholat beliau pun selalu tepat waktu. Meski aku sendiri sebenarnya tak terlalu mempedulikan tampang. Bagiku, semua orang soleh, kegantengannya setara. Eh, kok jadi dilematis gini. Dalam waktu yang hampir bersamaan, dua lelaki soleh hadir ingin meminangku. Aduuuh…

“Heh, ngelamun mulu dari tadi. Jadi pergi tidak nih?” ucap Tika mengejutkanku.

“Eh, jadilah. Dandan elu tuh yang kelamaan. Gue nungguin sampai ketiduran. Giliran lagi enak mimpi naik menara Eiffel, malah elo bangunin,” ucap gue kesel.

Entah sampai kapan kebersamaan kami ini. Suka duka bersama tapi kadang gemas kalau liat Tika yang hobi ngeles. Dia sahabat sejatiku. Kami bertengkar hampir tiap hari, tapi tak pernah sakit hati. Orang bilang kami kembar, Tika-Tiar. Tinggi dan berat badan kami pun sebelas dua belas. Kami lebih sering pergi dan berakifitas bersama. Selera kami pun beda tipis, termasuk dalam hal cinta. Urusan pendidikan, dari SD sampai kuliah masih setia bersama. Ngekos pun bersebelahan kamar. Kami kembar, tapi lain ayah lain ibu. Bedanya mungkin dari sisi kulit Tika putih sementara aku berkulit sawo matang.

***

“Eh, stop Tik,” ucapku. “Haduh, jalannya dah kelewatan. Harusnya kita ambil tikungan yang sebelah sana.” Aku pun menunjukan jari kearah belakang.

“Itu yang ada rumah bercat biru, Tik,” kataku sambil kembali menunjuk arah.

“Elu dari tadi ya, gue perhatiin ngelamun mulu. Masa sampai kelewatan sampai sejauh ini sih?” gerutu Tika.

Aku cuma mesem. Tika pun memutar motor matic yang kami tumpangi. Melaju menuju arah yang aku tunjuk. Tika memang baru kali ini sampai di pantai Salju. Pasir putih di pantai yang masih perawan itu sangat bersih dan halus seperti salju.

“Aaaagh… akhirnya sampai juga.” Aku turun dari motor perlahan.

Mendengar deru ombak dan desiran angin laut di pagi hari sungguh menenangkan hati. Seperti biasa, Tika langsung menyeburkan badannya ke air laut. Ia memang hobi berenang. Tika tak bisa menahan diri untuk duduk diam melihat air tawar maupun laut. Ada puluhan anak-anak berenang di pantai. Sementara aku, hanya duduk diam di pasir putih membasahi kaos kaki. Entah berapa puluh kali belajar berengang tapi bodi ini tak mau mengapung.

***
Tetiba kepala ini berasa dingin. Padahal matahari mulai muncul.

“Tika!” Aku berteriak sekuatnya.

Sementara Tika tertawa dan melarikan diri. Dua botol air mineral berisi air laut bercampur pasir ia siram di atas kepalaku.

“Hahahaha. Makanya, jangan terlalu banyak ngelamun. Sadar ew, udah hampir dua jam elu duduk disitu,” kata Tika sambil tertawa lebar menuju kamar mandi untuk membilas badan.

Kutengok jam di gadget. Astghfirullahal’adzim, ternyata benar sudah hampir dua jam duduk diam. Air laut telah membasahi kaus kaki dan badan bagian bawah. Hanya bagian kepala dan badan bagian atas yang kering. Tapi, itu sebelum Tika menyiramku. Sekarang, sekujur tubuhku sudah basah kuyup. Kutengok kanan kiri sudah banyak anak-anak yang pulang. Suasana sepi, mataharipun semakin tinggi. Kumaju beberapa langkah, membiarkan setengah badan ini terendam air laut. Agh… segarnya.

Aku merasa seperti anak kecil. Dengan posisi telungkup, membiarkan ombak menghantam punggung dan seluruh tubuh. Akupun tertawa sendiri. Segar dan mengasyikkan. Segala penat dan lelah serasa terlepas. Tak berapa lama, Tika nampak melenggang memakai gamis biru langit. Ih, cantik, tapi…

“Tika. Eh, tunggu. Itu baju gue!” teriaku.

Aku langsung berdiri, berusaha berlari mengejar Tika. Namun, ia seolah tak peduli dan berjalan lurus menuju tempat parkir motor. Rasa gemas melihat salah satu kebiasaan buruknya itu. Memakai barang orang tanpa permisi. Aku pun menarik gamis manis itu.

“Eits, ini kan baju gue, kok elu pakai? Trus, gue pakai apa dong?” ucapku menahan emosi.

“Lha, bukannya kemaren elu yang bilang. Muslimah tak boleh keluar rumah kecuali memakai hijab syar’i? Pakai gamis longgar dan kerudung? Trus, elu tega, gue pakai celana levis dan tshirt tadi?” jawab Tika.

Akupun melongo. “Iya si, tapi ga kayak gini juga caranya. Kan bisa bilang baik-baik,” gumamku.

Tika masih tampak cuek dan langsung menyalakan motor. Rasanya pengin ku remas dia. Tapi kalau difikir lagi, ada benarnya juga. Aku pun kembali membonceng di belakang. Membiarkan jilbab dan khimar yang basah kuyup kering sendiri terkena angin dan matahari. Butuh waktu sekitar setengah jam perjalanan untuk sampai di kos-kosan.

Meski kami sering bersama, tapi Tika belum tergerak hatinya untuk ikut pengajian. Isrinya Ustadz Zaky sering mengisi pengajian di mushola komplek kos-kosan. Melihat Tika mau memakai hijab, aku cukup merasa senang sebagai sahabat. Sesampai di kamar kos, aku bersegera membilas badan. Uft, segarnya…

Baru saja duduk santai, terdengar handphone berdering. Panggilan masuk tiga kali dari Pakdhe Fatah yang merupakan waliku saat ini. Sejak kecil, Pakdhe yang merawat dan mengurusku. Entah kenapa, hingga usia hampir kepala empat, Pakdhe masih melajang. Dengan pekerjaannya sebagai buruh bangungan, Pakdhe semakin hari tampak semakin lemah dan tua. Ayah dan ibuku pun tak tau dimana. Aku hanya mengingat kejadian terakhir kedua orang tuaku, mereka berkelahi sengit kemudian pergi tanpa kabar.

“Assalamu’alaikum, Pakdhe,” ucapku.

“Waalaikum salam, dari mana saja tadi? Telepon sampai tiga kali tidak diangkat?” kata Pakdhe Fatah.

“Maaf Pakdhe, tadi ada urusan sedikit dengan Tika. Tadi, waktu Pakdhe telepon, saya masih diatas motor. Sampai kos-kosan langsung mandi,” jelasku.

“Ini, Pakdhe mau bicara. Tadi, dosen kamu yang namanya Pak Pras itu menelepon Pakdhe. Katanya mau menikah denganmu. Kalau kamu memang merasa cocok, ya, Pakdhe setuju saja. Kelihatannya Pak Pras itu orangnya baik dan bertanggung jawab. Tadi Pak Pras juga bilang kalau kalian sudah saling mengenal dengan baik sejak lama. Jadi, Pakdhe sudah menerima lamaran Pak Pras. Selanjutnya, Pakdhe menunggu tanggal nikahnya. Jangan lama-lama ya? Udah dulu ya, Pakdhe ada kerja banyak. Assalamu’alaikum.”

“Belum sempat kujawab, belum juga meminta klarifikasi, tapi dah ditutup,” gumamku.

Huft. Kok jadi gini? Ada feeling yang tidak mengenakkan. Kira-kira, Pak Pras dapet nomor kontak Pakdhe dari siapa ya? Aku scrool kebawah melihat chat Whatsapp. Astaghfirullahal’adzim. Ternyata aku sendiri yang mengirim kontak Pakdhe ke nomor Pak Pras? Lho, kok ada chat balasan gini?

[Insha Allah Mas, saya terima tawaran menjadi pendamping hidup Mas Pras]

Ada balasan emoticon senyum? Lha, ini chat kapan? Aku tak merasa mengirim chat norak beginian. Rasa jantung ini berdegup kencang. Tiba-tiba kepala ini serasa berdenyut, serasa tertindis batu. Penuh pertanyaan dan bingung apa yang harus kulakukan.

Tanpa kusadari, Tika memperhatikanku dari pintu kamar. Ia nampak cengengesan dan mengedipkan mata. Belum sempat kutanya, ia sudah duluan menjawab.

“Abis, elu kelamaan si balas chatnya Pak Pras. Nanti kalau ada wanita lain yang merebut hati si dosen ganteng baru nangis lo,” seloroh Tika.

Reflek, kulempari Tika dengan bantal dan boneka yang ada di atas kasur. Hari ini Tika memang sudah keterlaluan. Ngerjain aku sampai model begini. “Tika!!!!” teriakku.

Sementara orang yang kuteriaki berlari kencang hingga bayangannya tak nampak lagi. Kuambil nafas dalam-dalam. Berupaya berfikir jernih dan realistis. Huft.

Akhirnya, aku menyadari, cuma Tika yang memahami kondisiku. Mungkin ia lebih tau banyak tentangku daripada diriku sendiri. Tika pun tau jika selama ini aku memendam rasa dengan Pak Pras. Dosen muda nan soleh, incaran para akhwat di kampus. Meskipun aku berusaha memendam rasa itu. Memang sudah saatnya pula aku menikah. Setidaknya mengurangi beban Pakdhe Fatah.

“Bismillah. Semoga pernikahan ini menjadikan kehidupanku lebih tenang,” kataku lirih.
***

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 23

Comment here