Bahasa dan SastraCerpen

Goresan Pena Nenek

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Ana Mujianah

Ara kembali menitikkan air mata. Kristal bening jatuh membasahi pipi ranumnya. Setiap kali ia membaca tulisan di Rubrik Motivasi sebuah media online. “Meraih Surga yang Hakiki”. Judul yang tertera di sana.

Oleh karenanya, mari kita renungkan sejenak! Untuk apa kemewahan dunia yang kita cari? Saat kembali, semua itu tak ada artinya lagi. Hanya amal ibadah yang akan menemani hari-hari sepi di alam kubur nanti. Maka, manfaatkan waktu selagi muda. Jangan sampai menyesal di sisa usia. Ketika tubuh sudah renta, dan tak bisa lagi berbuat apa-apa.

Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis : Suryani, S.Pd
(Anggota Forum Komunikasi Guru Muslimah)

Paragraf akhir artikel tersebut. Beberapa hari ini sukses mengaduk-aduk emosi gadis itu. Menyisakan tanya yang membuatnya resah dan gelisah. Menggoyahkah benteng jati diri yang selama ini ia bangun. Tentang sebuah cita-cita dan tujuan hidup.

**
Malam itu, seusai menunaikan salat magrib, ada chat masuk di ponsel Ara. Aisyah, guru mengaji neneknya mengirim link sebuah artikel. Ara yang tak begitu akrab dengan Aisyah, membuka link tersebut setengah hati. Namun seketika, bola mata indahnya membulat sempurna. Mendapati nama penulis yang tertera. Suryani, S.Pd.

“Nenek?” gumam gadis itu lirih, penuh selidik. Rasa penasaran mengalahkan keengganan hatinya. Mendapati nama nenek yang dirindukannya ada di sana. Ara meresapi aksara demi aksara yang tertuang dalam goresan pena motivasi itu. Hingga sampailah di paragraf akhir, tangisnya pecah tak tertahan. Kenangan sosok nenek tercinta yang telah pergi menghadap Rabbnya, sebulan lalu, kembali hadir memenuhi ruang hatinya.

Untaian nasihat penuh makna dari bibir renta sang nenek terus terngiang. Yang senantiasa mengingatkan dirinya agar tak sibuk mengejar dunia. Ya, Ara memang sangat sibuk. Profesinya sebagai seorang designer muda telah menyita banyak waktu gadis bermata coklat itu. Tak jarang hari Ahad pun ia harus lembur jika ada klien yang minta design segera. Berulang kali nenek mengajak Ara untuk ikut kajian bersama Aisyah, tapi Ara selalu beralasan belum ada waktu.

“Ara … hidup ini hanya sebentar. Jangan kau habiskan hanya untuk mengejar dunia, Nak!” Nasihat nenek ketika itu.

“Menjadi designer terkenal itu cita-cita Ara sejak dulu, Nek. Ara tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.” Gadis itu selalu berkilah setiap kali nenek mengingatkannya.

**
Waktu pun terus berjalan. Membawa usia yang kian menua. Mengantarkannya mendekati ajal yang datang tiba-tiba. Nenek Ara semakin renta. Namun untaian nasihat dan doa tak henti dilafazkannya. Memupuk harap untuk cucu tercinta. Agar Allah memberikan hidayah dan petunjuk-Nya.

Namun Ara masih bergeming. Gadis itu semakin larut dengan pekerjaannya. Demi ambisi mengejar karir dan cita-cita. Yang selalu ia banggakan sebagai sebuah kesuksesan hidup.

Ara terbiasa melakukan apapun sesuai pandangannya sendiri. Karena kesibukan kedua orang tuanya, nyaris tak pernah terdengar untaian nasihat dari mereka. Seakan cukup tanggung jawab sebagai orang tua sekadar memenuhi kebutuhan materi semata. Beruntung masih ada nenek. Yang tak pernah lelah untuk menasihati cucu tercinta. Meskipun tak jarang Ara mengabaikannya.

Setelah pensiun mengajar, Nenek Sur, panggilan akrab nenek Ara, memang lebih banyak di rumah. Sehingga ada banyak waktu untuk memperhatikan Ara. Agar gadis itu tidak semakin jauh melangkah. Melupakan akhirat karena sibuk mengejar dunia.

Semenjak kenal Aisyah,  guru honorer di tempat mengajarnya dulu, hari-hari Nenek Sur pun lebih banyak dihabiskan untuk belajar Islam bersama Aisyah. Nenek Sur sangat tawaduk. Sehingga beliau tak pernah berkecil hati meskipun sang ustazah masih seusia cucunya. Beliau sangat menghargai siapapun yang datang untuk menyampaikan ilmu.

Keterbatasan usia dan kondisi kesehatan tak pernah menjadi penghalang baginya. Nenek Sur juga aktif berdakwah. Beliau pun selalu menyempatkan waktu menulis opini dan untaian nasihat sebagai bentuk kontribusi mendakwahkan Islam yang bisa dilakukannya. Ara pun sering mendapati neneknya tidur hingga larut malam.

“Nek, kalau sakit jangan maksain diri menulis. Istirahatlah!” Tegur Ara suatu ketika.

“Ara … selama nenek masih mampu, nenek tidak ingin termasuk hamba-Nya yang lalai dalam menjalankan amanah. Nenek tidak ingin Allah murka karena kelalaian nenek. Jika dengan menulis nenek bisa mendakwahkan Islam, maka nenek akan berusaha untuk terus menulis. Karena inilah yang akan menjadi hujjah di hadapan Allah kelak,” jawaban neneknya waktu itu. Yang membuat hati Ara tersentak seketika. Hingga ia terus memikirkannya.

Seakan ada petir menyambar di tengah gelapnya awan. Membawa kembali kesadaran Ara yang selama ini hilang. Neneknya, yang renta dan penuh keterbatasan saja masih berusaha untuk bisa mendakwahkan Islam. Bagaimana dengan dirinya? Sibuk dengan urusan dunia. Mengejar apa? Hati kecil gadis itu pun mulai bertanya.

**
Ara tersadar dari lamunannya. Mata indahnya kian sembab. Dipenuhi bulir bening yang semakin deras. Bergegas gadis itu berwudhu dan menunaikan salat Isya. Lalu duduk bersimpuh menengadahkan tangan dengan penuh kepasrahan meminta kepada Sang Maha Pencipta. Memohon ampun atas segala khilaf dan dosa. Berharap petunjuk dan hidayah Allah masih terbuka untuknya.

Ara seakan menemukan jati dirinya yang baru. Tanpa ragu, ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.

“Assalamualaikum, Aisyah.”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh. Ada yang bisa saya bantu, Ara?” Jawaban di ujung telepon genggam yang meneduhkan.

“Aisyah … aku pengin belajar Islam. Tolong … ajari aku!”

“Masya Allah … Tabarakallah …. ” Kalimat syukur dan doa langsung terdengar di seberang sana. Menandakan betapa bahagianya sang pemilik suara mendapati satu saudara muslim tertunjuki hidayah.

“Insya Allah … dengan senang hati saya akan bantu semampu yang saya bisa. Semoga Allah meridai dan memudahkan setiap langkah Anti dalam mempelajari Islam.”

“Terima kasih banyak, Aisyah. M-maafkan … aku!”

“J-jika … selama ini sering mengabaikanmu.”

Ara tak sanggup lagi berkata-kata. Deraian air mata tak mampu lagi ia tahan. Menumpahkan segala rasa yang menyesakkan dada. Antara sesal dan bahagia.

**
Malam pun kian pekat. Menandakan fajar segera tiba. Ara membuka kembali goresan pena sang nenek. Menyelipkan janji dalam hati. Bahwa ia akan berusaha memperbaiki diri dan meluruskan kembali tujuan hidupnya. Agar tak sibuk mengejar dunia hingga melupakan akhirat. Seperti untaian nasihat nenek dalam goresan penanya.

Tamat.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 46

Comment here