Surat Pembaca

Lika-Liku Sertifikat Halal

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi com, SURAT PEMBACA– Belum juga selesai dengan “perseteruan” perubahan logo halal, karena dinilai sulit dibaca serta dianggap hanya menonjolkan satu etnis saja yaitu jawa. Kali ini sertifikasi halal sedang digembor-gemborkan kembali. Bahkan untuk produk yang belum tersertifikasi akan dikenakan sanksi.

Dikutip dari CNN Indonesia, (8/1/23) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) RI menyatakan bahwa pada 2024, produk yang beredar wajib bersertifikasi halal.

Memang Hal tersebut nampak bagus secara kasat mata. Apalagi penggunaan produk halal adalah kebutuhan bagi setiap muslim. Sayangnya, untuk mendapatkan sertifikat halal, produsen perlu merogoh kocek yang cukup dalam.

Situs kemenag (13/01/23) menjelaskan bahwa mekanisme serta biaya proses sertifikasi halal terdiri dari komponen biaya pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen, pemeriksaan kehalalan produk oleh LPH, penetapan kehalalan produk oleh MUI, sampai dengan penerbitan sertifikat halal. Dimana total biaya bagi usaha menengah produk makanan dengan proses/materiel yang sederhana adalah sekitar Rp8 juta. Sedangkan untuk proses yang lebih kompleks bisa lebih dari itu.

Pemerintah saat ini memang memberikan fasilitas berupa sejuta sertifikat gratis bagi pelaku UMK. Namun, jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah UMKM di Indonesia yang berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM mencapai 65,47 juta. Dengan fasilitas sertifikat gratis sebanyak satu juta, berarti ada 64,47 juta UMKM yang harus membayar untuk mengurus sertifikat halal.

Lebih baik sertifikat halal atau haram?

Mekanisme sertifikasi halal penuh dengan liku-liku. Padahal alangkah lebih mudah jika yang di sertifikasi itu produk yang haram. Sehingga umat muslim dengan mudah mengetahui produk haram dan menjauhinya.

Contohnya, pedagang makanan keliling, seperti cilok, cuangki, bakso, dll., sulit bagi mereka untuk melakukan sertifikasi. Ketika Abang tukang cilok lewat depan rumah tidak punya sertifikat halal Kemenag, lantas menjadikan ciloknya tidak halal? Tidak begitu, kan?

Selain itu, pengujian produk juga tergolong rumit karena satu produk bisa memiliki banyak varian yang masing-masing harus diuji.

Inilah wajah asli negara kapitalisme, yang hanya mementingkan keuntungan materi saja. Sehingga proyek apapun yang dijalankan, rakyatlah yang terkesan menjadi sasaran pemalakan melalui berbagai cara. Untuk mendapatkan sertifikat halal susahnya minta ampun.

Berbeda cerita jika yang diterapkan dalam negara adalah sistem Islam. Seruan untuk mengkonsumsi produk halal datang langsung dari sang pencipta manusia. Allah SWT berfirman dalamnya QS Al-Baqarah: 168, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”

Ayat inilah yang menjadi dasar dalam sistem Islam untuk menugaskan para qadi hisbah melakukan patroli secara rutin ke setiap pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Qadi ini bertugas mengawasi semua produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga mencegah kecurangan serta kamuflase. Sehingga dapat dipastikan hanya produk halal dan aman yang beredar di tengah masyarakat.

Mekanisme sederhana yang ditawarkan islam dengan menepelkan logo haram pada produk yang menggandung zat haram juga diedarkan khusus di kalangan nonmuslim. Mekanisme ini akan efektif di imbangi pengawasan distribusi bahan pangan di pasar, seperti daging, lemak, minyak, dsb.

Dengan mekanisme label haram, bukan label halal, produsen tidak terbebani waktu dan biaya untuk mengurus administrasi yang rumit. Produksi berbiaya melangit akan terhindarkan. Pelaku usaha tenang, rakyat sebagai konsumen juga tidak gamang. Kesederhanaan mekanisme sertifikasi akan membuat masyarakat tenang dalam mengkonsumsi suatu produk.

Semua ini hanya akan terjadi jika satu negara menerapkan Islam bukan hanya sekedar ibadah tapi Islam Kaffah dalam suatu institusi yang sering disebut Khilafah.

Ummu Hadid

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 11

Comment here