Oleh: Rey Ftiriyani, A.Md.KL.
Wacana-edukasi.com, OPINI–Aksi demonstrasi, hingga berbagai aspirasi yang disuarakan rakyat sampai hari ini. Ribuan mahasiswa dan Gen-Z tumpah ruah menyuarakan “17+8 Tuntutan Rakyat”, 17 tuntutan jangka pendek dan 8 reformasi jangka panjang. Spanduk warna-warni, mural jalanan, teriakan orasi tentang reformasi parlemen, penarikan militer dari ranah sipil, transparansi anggaran, hingga perlindungan kebebasan sipil, masih terus digaungkan para Gen-Z. Gema protes ini tak hanya terdengar di pusat ibu kota, tetapi menjalar ke manca negara. Di Kathmandu, Nepal, anak-anak muda Gen Z juga turun ke jalan hingga memakan korban jiwa. Meskipun pemicu mereka berbeda namun semangat mereka sama, yaitu sama sama melawan kebijakan otoriter negara. Protes yang berakhir tragis itu, mengakibatkan 19 orang tewas ditembak polisi, ratusan luka-luka, dan Perdana Menteri KP Sharma Oli akhirnya lengser.
Dari sini dapat kita lihat benang merah yang sama, yaitu generasi muda bangkit sebagai penantang status quo. Namun realitanya negara tampak gagap merespons aspirasi yang makin berani di tengah kehidupan yang semakin sulit ini. Jika mahasiswa Indonesia menyoal ketidakadilan sosial, korupsi, dan “politik dagang sapi” sehingga melahirkan tuntutan 17+8, maka rakyat Nepal menghadapi persoalan kebebasan sipil yang lebih elementer, yaitu hak untuk bersuara di ruang digital. Dua kisah satu narasi, yaitu kekecewaan pada institusi negara yang dinilai eksklusif dan tidak berpihak pada rakyat (Kompas.com, 10/09/2025).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 195 anak yang diamankan di Polda Metro Jaya saat demo di DPR, Senin (25/8/2025). Para pelajar dari Jakarta, Tangerang, dan Bekasi itu mengaku ikut demo untuk menolak kenaikan gaji dan tunjangan DPR. Menurut Prof. Rose Mini Agoes Salim, selaku Psikolog Universitas Indonesia, fenomena meningkatnya jumlah anak di bawah umur yang ikut aksi demonstrasi bisa jadi ajang belajar menyampaikan pendapat, namun umumnya remaja rentan terprovokasi karena kontrol diri mereka belum matang. Rose menekankan pentingnya memastikan anak-anak benar-benar paham isu yang mereka perjuangkan sebelum ikut turun ke jalan (Republika.co.id, 02/09/2025)
Perubahan yang terus digaungkan oleh rakyat nampaknya tidak pernah membawa perubahan yang hakiki. Sering kali perubahan yang dimaksud hanyalah perubahan yang ada di permukaan saja, tetapi tidak mengubah struktur dasar dari sistem yang ada. Faktanya rakyat terus saja ditindas dengan pajak yang semakin melambung tinggi, pengangguran, hingga pejabat yang makin korup dan tidak beretika. Kondisi ini acap kali disikapi dengan seruan ganti rezim ataupun pecat pejabat, namun nyatanya tetap saja tidak mengubah sistem politik ataupun ekonomi saat ini. Justru yang ada semakin menghasilkan pejabat korup dan zhalim terhadap rakyat. Demikian juga kekerasan aparat, penegakan hukum yang lemah, hingga kecurangan dalam pemilu, ini semua diartikan sebagai kesalahan dalam penerapan demokrasi. Sehingga menimbulkan gerakan mahasiswa hingga profesor untuk memperbaiki sitem demokrasi. Mereka beranggapan bahwa penerapan demokrasi yang baik adalah solusi untuk penyelesaian carut marutnya situasi saat ini. Padahal nyatanya perubahan hakiki ini tidak akan pernah terwujud jika akar permasalahannya tidak diselesaikan.
Berbagai persoalan yang ditimbulkan saat ini adalah sebagai akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme dalam sistem politik demokrasi. Demokrasi bukanlah solusi perubahan hakiki melainkan sebaliknya, merupakan salah satu cara negara-negara besar mempertahankan hegemoninya. Perubahan menuju perbaikan demokrasi tentu berbanding terbalik dengan visi perubahan. Oleh karenanya, jika perubahan masih bersandarkan pada kerangka sistem demokrasi, maka perubahan yang diharapkan tidak akan bisa terwujud. Lantas, bagaimana perubahan yang hakiki bisa segera terealisasi.
Perubahan yang diharapkan tentunya perubahan nyata secara mendasar dan menyeluruh, inilah yang disebut perubahan totalitas. Tentu perubahan yang utama adalah dengan merubah ideologi sekuler menjadi ideologi Islam, karena Islam memiliki akidah yang sahih, sehingga melahirkan sistem hidup yang sahih pula. Akidah dan syariat Islam yang berasal dari Allah ﷻ merupakan jaminan bagi kebenaran Islam yang akan memberikan kebaikan bagi setiap umat. Perubahan yang dilakukan akan mengarah pada upaya melanjutkan kehidupan Islam melalui penerapan syariat Islam dalam institusi politik yaitu Khilafah Islamiyah. Untuk itu, perubahan totalitas membutuhkan beberapa persyaratan.
Diantaranya pertama, adanya kesadaran umat yang didasari atas keimanan bahwa hidup ini harus diatur oleh aturan dari Sang Pencipta manusia. Kesadaran tersebut terwujud dari pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang harus patuh sepenuhnya kepada Allah ﷻ yang disampaikan melalui syariat-Nya, lalu menjadikan Islam sebagai solusi komprehensif dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan serta keyakinan bahwa dengan penerapan syariat Islam, akan terwujud kehidupan yang rahmatan lil alamin. Kedua, adanya kesadaran umat bahwa kondisi yang rusak saat ini akibat penerapan hukum buatan manusia yaitu sistem sekuler kapitalisme. Sehingga harus diterapkan hukum hukum Allah melaui sistem Khilafah, apalagi sistem ini juga merupakan jalan perjuangan Rasulullah ﷺ, yang dicontohkan melalui dakwah pemikiran yang kemudian mengubah mind set berpikir manusia.
Ketiga, umat memiliki gambaran bagaimana mekanisme syariat Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan, seperti kemiskinan, pengangguran, pajak yang menindas, ketenagakerjaan, dan sebagainya. Penerapan syariat Islam kafah meniscayakan adanya Khilafah, kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan dakwah ke seluruh dunia. Kesadaran ini akan mendorong umat menuntut perubahan sistem, bukan hanya sekadar bergantinya penguasa. Keempat, meniscayakan adanya kelompok dakwah yang konsisten untuk mewujudkan kesadaran umat ini. Allah ﷻ berfirman, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).
Dalam Islam, rakyat berkewajiban untuk mengoreksi penguasa agar senantiasa menjalankan syariat Islam dan rakyat juga memiliki hak untuk memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat-Nya, bukan aturan buatan manusia. Maka, sudah selayaknya perubahan yang diharapkan akan terwujud dalam penerapan syariat Islam secara sempurna dalam realitas kehidupan. Sungguh, kekuasaan Islam (Khilafah) akan menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai perisai yang menjaga dan melindungi umat dari segala ancaman.
Views: 8


Comment here