Oleh: Endang Rahayu
Wacana-edukasi.com, OPINI–“Orang yang cuman mental bilang bubarin DPR, itu adalah orang tolol sedunia.”
Demikian pernyataan anggota DPR Sahroni menyikapi wacana pembuabaran DPR yang ramai di media sosial. Wacana pembubaran ini adalah buntut dari kebijakan negara menaikkan tunjangan anggota DPR disertai berbagai pernyataan yang dianggap konyol dari beberapa oknumnya. sontak ucapan Sahroni yang menyebut tolol bagi orang yang menhendaki DPR dibubarkan menjadi tajuk di berbagai media utama. Tentu menjadi pertanyaan, apakah mungkin membubarkan DPR? Atau memang benar pernyataan Sahroni bahwa ide ini bisa disebut ‘tolol’?
Demokrasi dan Cacatnya
Berdasarkan UUD 1945 pasal 7 C, pernyataan “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.” menegaskan bahwa kedudukan presiden dan DPR adalah sejajar sehingga pembubaran DPR baik oleh rakyat atau presiden tidak diatur secara sah. Untuk itu perlu disadari bahwa narasi membubarkan DPR bermakna pembubaran terhadap konsitusi. Jika narasi ini tidak diikuti dengan pemahaman dan pandangan yang mendalam tentang apa yang diinginkan oleh rakyat setelahnya. Kekosongan ide dan arah perubahan menjadikan gerakan rakyat rentan disusupi kepentingan segelintir orang.
Rakyat perlu memahami bahwa sistem hari ini tegak di atas sistem politik demokrasi yang menjadikan trias politika sebagai landasannya. Hilangnya fungsi legistalatif menjadikan praktik check and balance dianggap tidak berjalan atau cacat. Inilah yang dianggap sedang terjadi. DPR tidak lagi melaksanakan fungsi mewakili suara masyarakat.
Perlu diketahui sejak awal, demokrasi tidak didesain untuk menghadirkan penguasa yang mengakomodasi kepentingan rakyat. Dalam hal kampanye pemilihan pemimpin kerap kali rakyat disajikan berbagai jargon dan julukan yang eyecatching dan mudah diingat semata karena itu cara itu lebih mudah memperkenalkan calon pada rakyat. Kampanye ini jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dana kampanye legislatif 2024 dari PDI sudah mencapai Rp 183.861.799.000 (tempo.co, 27/8/25). Belum lagi dengan partai-partai lain. Dana ini digunakan untuk meningkatkan popularitas demi menaikkan elektabilitas mereka. Kondisi ini sejalan dengan situasi pemikiran rakyat yang masih sangat rendah, sehingga suara orang gila bisa setara dengan suara ahli agama. Maka, tak perlu heran jika penguasa yang terpilih alih-alih mewakili urusan rakyat, malah sibuk memperkaya diri.
Keberadaan demokrasi dan permasalahan yang meliputi seluruh sistemnya hari ini justru mempertegas kecacatan sistem demokrasi. Cita-cita menjadikan trias politica untuk menjaga agar tidak terjadi dominasi kekuasan justru membuka celah KKN dan lobi-lobi politik. Persis yang disebut dan menimpa Socrates. Dalam buku Republik karya Plato, pemikiran Socrates diceritakan dengan membandingkan demokrasi dengan kapal. Menurutnya, akankah menyerahkan hak memimpin kapal kepada seseorang yang tidak ahli dan cakap dalam urusan laut dan kapal? Faktanya, demokrasi membuat penguasa yang dipilih bukan karena cakap, tetapi karena populer. Wajar, jika penguasa terpilih menetapkan kebijakan penuh gimmick, jauh dari kebutuhan masyarakat, dan terkesan kosong empati.
Meski wacana pembubaran DPR lahir dari kekecewaan pada berbagai oknum anggota DPR, sejatinya masalah ketimpangan dan ketidakadilan bukan hanya dipertontonkan oleh DPR, melainkan juga semua bagian dari perangkat negara. Sebut saja kementerian, kepala daerah, kejaksaan, hingga pejabat publik kerap kali memperlihatkan kezaliman yang luar biasa. Ini menjadi pertanda semua pilar demokrasi telah gagal memberikan keadilan bagi pemiihnya.
Bukan Sosialisme, Jawabannya adalah Islam
Di tengah kekecewaan yang memuncak terhadap demokrasi, sebagian orang menarasikan sosialisme sebagai antitesis kapitalisme untuk mengganti sistem. Ideologi usang yang sudah pernah terbukti gagal ingin dijadikan jalan keluar dari kebuntuan sistem. Satu hal yang tidak disadari rakyat Indonesia bahwa ada sistem alternatif yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat akan keadilan. Itulah sistem Islam.
Sebagian menyebutnya romantisme masa lalu, sebagian lain menyebut Islam bukan ideologi. Banyak masyarakat yang tidak memahami hakikat Islam sebagai jalan hidup dan ideologi. Umat Islam hari ini hanya menganggap Islam sebagai agama ritual yang aktivitasnya terbatas pada praktik-praktik ibadah mahdah. Demikan juga berbagai pemikiran mendasar dalam Islam hanya dibahas dalam buku-buku kajian para ulama dan ditamatkan di pesantren, tanpa pernah tahu bagaimana penerapanan dalam kehidupan bernegara.
Islam adalah Ideologi. Sebuah akidah akliyah yang memancarkan peraturan-peraturan. Kita bisa memperdebatkan mengenai definisi, tetapi Islam sebagai jalan hidup yang memuat berbagai aturan-aturan terperinci adalah fakta yang tidak bisa terelakkan. Islam memiliki konsep jelas terhadap alam semesta, manusia, dan kehidupan. Islam juga memiliki tatacara yang runut dan komprehensif untuk menjalankan konsep hidupnya tadi. Buktinya? cukup dengan membuka kitab Al -Quran dan berbagai hadis Rasulullah. Para ulama dan cendekiawan muslim juga banyak memperkaya penjelasan tentang konsep dan tatacara pelaksanaan Islam dengan sangat terperinci.
Ini saatnya membuka berbagai ruang diskusi mengenai solusi yang bisa diajukan untuk negeri ini. Kalau mau fair, jangan membatasi pembahasan hanya semata membenturkan kapitalisme dan sosialisme. Umat harus mengizinkan Islam memasuki ruang perdebatan sebagai ideologi, bukan hanya sebagai agama ritual. Membatasi Islam sebagai agama hanya akan menghalangi umat menemukan solusi atas narasi perubahan, terutama dalam menjawab kalau bukan DPR lalu apa? mengulang episode reformasi yang jusru membuka ruang liberalisasi lebih besar? harusnya tidak.
Views: 42


Comment here