Oleh: Halizah Hafaz Hts, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Praktisi Pendidikan)
wacana-edukasi.com, OPINI– Pada hari Sabtu, 29 Juni 2024, peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 Tahun 2024 berlangsung dengan tema “Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas.” Menko PMK Muhadjir Effendy menyatakan bahwa keluarga merupakan penentu dan kunci dari kemajuan suatu negara. Sehingga, pemerintah berupaya untuk menyiapkan keluarga Indonesia yang berkualitas dan memiliki daya saing. Pemerintah berusaha keras untuk membuat keluarga Indonesia yang unggul dan bersaing sejak masa prenatal (masa sebelum kehamilan), masa kehamilan, dan 1.000 hari pertama kehidupan manusia. (Kemenkopmk.go.id, 30-06-2024)
Maka dari itu upaya untuk mempersiapkan para perempuan terus dilakukan, seperti berawal dari remaja putri, dengan pemberian tablet tambah darah untuk memastikan mereka sehat dan siap hamil setelah menikah, bimbingan perkawinan bagi calon pengantin, pengecekan kesehatan sebelum menikah, pengecekan kadar HB darah, cek lingkar lengan, dan perawatan gizi untuk ibu dan bayi selama 1.000 hari pertama kehidupan. Jika kita perhatikan dengan cermat, peringatan Harganas tahun ini tetaplah menjadi seremonial seperti tahun-tahun sebelumnya. Kita tidak pernah membayangkan masalah keluarga di Indonesia serumit ini.
Munculnya kasus dan krisis generasi yang berasal dari keluarga hanyalah fenomena gunung es, pasalnya kasus yang lebih buruk dan tidak terungkap sangat mungkin jauh lebih banyak dari ini. Bagaimana tidak? Bayangkan posisi perempuan atau ibu di tengah keluarga memiliki peran yang sangat penting. Jika posisinya tidak ditempatkan sebagaimana mestinya, berbagai ketimpangan justru terjadi dimana-mana. Dengan kata lain, ketika seorang wanita “dipaksa” keluar dari rumah untuk bekerja atau berkarier, posisinya sebagai tulang rusuk juga akan “dipaksa” menjadi tulang punggung.
Ada kemungkinan bahwa tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan pengatur rumah tangga akan terganggu. Belum lagi peran ibu sebagai penanggung jawab dalam urusan mendidik dan menanamkan akidah bagi anak-anaknya. Memang, hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh). Tidak hanya itu, untuk remaja putri pun jika mereka tidak memahami posisi dan peran strategis istri serta ibu, maka akan banyak kesulitan yang dihadapi sehingga bisa berdampak pada rendahnya mental health pada diri mereka.
Sukelarisme Akar Masalah
Solusi dari pemerintah tampak sekali tidak ubahnya hanya sekadar solusi duniawi, tetapi meminggirkan aspek akhirat. Keluarga harusnya menjadi tempat pertama untuk anak-anak dan setiap anggota keluarga dalam mengenal Sang Pencipta mereka. Sayangnya, rusaknya pemikiran di tengah keluarga telah menjalar ke diri seluruh anggota keluarga.
Dengan begitu, setiap solusi yang ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan masalah keluarga tidak akan pernah mencapai akar masalahnya. Untuk itu, Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim harus menerima bahwa akar masalah dari semua ini adalah sekularisme yang didukung oleh sistem demokrasi-kapitalisme yang tegak di negeri kita. Landasan sekularisme menjadikan negara tidak akan menerapkan aturan bagi rakyatnya yang mayoritas muslim.
Khilafah Membangun Keluarga Ideal
Institusi terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Awal sebuah generasi terbentuk ada pada keluarga. Karena itu, bangunan keluarga yang ideal adalah keluarga yang kuat serta mampu menghasilkan generasi yang kuat dan bahkan mampu membangun peradaban yang mulia. Sistem kapitalisme sekuler telah merampas bangunan keluarga ideal sekaligus menyesatkan setiap keluarga muslim. Dengan munculnya berbagai kebijakan negara yang menghilangkan peran ayah sebagai pemimpin dan membebaskan perempuan dari aturan Islam, serta rusaknya arti birrul walidain akan menghancurkan bangunan keluarga tersebut. Jika keluarga hancur maka sama dengan penghancuran agama Islam itu sendiri.
Banyak tokoh-tokoh besar dalam negara Islam yang lahir dari bangunan keluarga ideal seperti Abdullah bin Abbas ra., Abdullah bin Umar ra., Abdullah bin Amru ra., Abdullah bin Zubair ra., Imam Syafi’i, hingga generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih. Maka dengan itu, Allah berfirman dalam QS. At-Tahrim ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Sehingga, kita membutuhkan Khilafah sebagai negara yang menerapkan aturan Allah secara kaffah untuk mewujudkan firman Allah di atas. Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah, kita seharusnya percaya bahwa hanya aturan Allah saja yang dapat mengatur hidup kita. Adanya Khilafah akan mewujudkan fungsi negara sebagai pengayom dan penyelenggara aturan kehidupan. Sebab dalam Khilafah, pemerintah adalah pelaksana hukum syarak.
Ada empat hal yang berperan menjadi penyokong ketahanan keluarga menuju bangunan keluarga ideal, yaitu pendidikan yang terdiri atas pendidikan di keluarga (informal), pendidikan formal dan nonformal agar menghasilkan generasi berkarakter Islami yang siap berdakwah. Kemudian, konsep pengelolaan ekonomi berupa riayah (mengurus) dan menjamin distribusi harta merata secara individu per individu. Lalu, pemberdayaan individu berpijak pada posisi seorang hamba di hadapan hukum syarak, tanpa mengabaikan dakwah sebagai poros hidup. Serta sistem sanksi ditegakkan menurut syariat sehingga otomatis mampu mencegah dan menjerakan pelaku kejahatan.
Dengan demikian, tidak ada sistem lain selain Khilafah yang dapat menyuburkan manusia-manusia bertakwa dan tetap berpegang pada hukum syarak, sehingga mereka tumbuh menjadi manusia yang siap membangun keluarga dan peradaban. Khilafah juga menjamin penuh adanya kontrol sosial dalam masyarakat agar terjadinya dakwah.
Views: 9
Comment here