Opini

Perang Angka Dunia dan BPS, Butuh Standar yang Akurat

blank
Bagikan di media sosialmu

Penulis: Asrianti, S.Si

Wacana-edukasi, OPINI–Dari banyaknya masalah yang dihadapi oleh negara-negara di dunia saat ini. Salah satu hal yang masih menjadi perhatian besar adalah persoalan kemiskinan yang tak kunjung usai, tak terkecuali di negara Indonesia. Potret kemiskinan terlihat cukup jelas.

Sekalipun pemerintah seringkali memberitakan adanya penurunan jumlah angka kemiskinan dari tahun sebelumnya. Namun, tidak sedikit masyarakat yang menyangsikan pernyataan tersebut. Apalagi setelah dibuat bingung terkait laporan Bank Dunia yang tertuang dalam Macro Poverty Outlook sejak bulan April lalu. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa 60,3 persen atau sekitar 171,8 juta jiwa jumlah Masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan global.

Ini adalah angka real berdasarkan laporan Bank Dunia. Sementara sebelumnya di dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri juga telah merilis laporan dan menyebutkan tingkat kemiskinan nasional terhitung sejak bulan September lalu hanya sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa. (Tempo.co,04-05-2025)

Perbedaan Standar Pengukuran Bank Dunia dan BPS

Adanya perbedaan standar pengukuran garis kemiskinan ini pada dasarnya bukan hal baru. Sebelumnya beberapa kali Bank dunia merilis laporan mengenai angka kemiskinan di Indonesia dan hasilnya berbeda dengan yang dilaporkan oleh BPS. Untuk mengurangi kemiskinan global, maka Bank Dunia memiliki beberapa kebijakan salah satunya melalui pantauan mereka terhadap tingkat kemiskinan tiap-tiap negara.

Hanya saja, mereka menggunakan cara tersendiri dalam pendekatannya. Bank Dunia misalnya, dalam penghitungan tingkat kemiskinan, maka digunakan International poverty line (USD 2,15 per kapita per hari) untuk negara dengan kemiskinan ekstrem. Selanjutnya untuk negara berpendapatan menengah ke bawah USD 6,5 per kapita per hari dan untuk negara berpendapatan menengah ke atas sebanyak USD 6,85 per kapita per hari.

Indonesia sendiri mengukur dengan melihat jumlah rupiah minimun yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan dasar. BPS bahkan menetapkan standar hidup hanya sekitar 20 ribu per hari yang sekaligus mendefinisikan bahwa orang yang tergolong miskin hanyalah mereka yang pengeluaran hariannya di bawah 20 ribu. Penentuan ini sontak menuai banyak kritik dari berbagai pihak.

Bila melihat perbedaan statistik tersebut tentu akan terlihat perbedaan persentase yang sangat besar. Sehingga wajar jika masyarakat dibuat ragu dan bertanya-tanya, manakah yang sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Bila pemerintah tidak mampu mendata jumlah orang miskin dengan benar, lalu bagaimana kita bisa berharap mereka akan mampu mengentaskan kemiskinan dengan baik?

Di balik perdebatan atas perbedaan standar ini masih ada pihak yang menganggap wajar, dimana Bank Dunia dianggap lebih fokus pada daya beli minimum agar seseorang bisa hidup layak secara global. Sementara lembaga BPS hanya terfokus pada konteks lokal yakni kebutuhan dasar masyarakat. Ditambah setelah Bank Dunia berdalih bahwa tujuannya dalam menetapkan standar garis kemiskinan tersebut adalah untuk menjadikannya sebagai alat pembanding yang seragam untuk tiap negara yang mereka survey.

Standar ini dianggap bukan untuk penggunaan secara lokal. Namun, hasil laporan Bank Dunia seolah menegaskan betapa kondisi masyarakat global saat ini jauh dari kata sejahtera. Berbagai cara telah dilakukan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan, tapi belum mampu menunjukkan tanda keberhasilan. Berbagai macam langkah dilakukan dalam hal pengentasan kemiskinan, tapi tetap saja tidak membawa dampak yang signifikan. Padahal Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam.

Semakin jelas bahwa standar yang digunakan oleh kedua lembaga ini sama-sama tidak dapat menggambarkan realitas yang sebenarnya. Buktinya masyarakat Indonesia masih tergolong sulit. Dengan pendapatan yang minim dan ditambah dengan harga berbagai kebutuhan pokok yang terus melonjak. Belum lagi dengan biaya tempat tinggal, biaya pendidikan anak, hingga kebutuhan kesehatan, semua mengalami kenaikan yang drastis. Masyarakat dengan pengeluaran yang dua kali lipat dari standar hidup yang disebutkan itu pun masih kesulitan memenuhi kebutuhannya.

Pada dasarnya persoalan ini bukan hanya pada perbedaan standar angka, bukan juga hanya sekadar perbedaan metode, tetapi justru substansi dibalik penentuan standar garis kemiskinan itu sendiri dalam kehidupan nyata. Bagaimana mungkin seseorang bisa dikatakan tidak miskin hanya karena melewati garis kemiskinan yang ditentukan oleh Bank Dunia ataupun BPS? Sementara faktanya, standar yang ditentukan itu tidak menunjukkan standar layak hidup seseorang.

Standar itu jelas hanya bersifat semu dan tidak mampu menggambarkan kesejahteraan yang nyata di masyarakat. Terbukti masih banyak masyarakat hidup dalam kondisi miskin. Kita seharusnya menyadari bahwa kesalahan pemerintah dalam menetapkan standar garis kemiskinan sekaligus menjadi cerminan dari kegagalan kebijakan penanganan kemiskinan yang selama ini diwacanakan. Mereka lebih sibuk mengurusi angka ketimbang menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Demikianlah fakta penerapan sistem kapitalisme.

Sistem kapitalisme lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dan pencitraan secara statistik dibandingkan mewujudkan kesejahteraan rakyat secara nyata. Permasalahan ini seharusnya bisa menjadi momentum untuk kembali mengevaluasi ulang cara kerja sistem ini.

Jaminan Kebutuhan dalam Sistem Islam

Berbeda dengan sistem Islam yang disebut Khilafah. Didalamnya terdapat pemimpin yang berfungsi sebagai ra’in (pengurus rakyat). Negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan mendasar dari semua rakyat, tanpa harus melihat status sosialnya. Setiap individu akan diperhatikan kesejahteraannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan mendasar mereka. Bukan lagi dengan memakai standar kemiskinan yang tidak akurat.
Ditambah lagi dengan adanya aturan yang tegas terhadap kewajiban penafkahan di dalam konteks keluarga.

Adapun bagi yang tidak mampu dan tidak dijamin oleh keluarganya, maka akan diambil alih oleh negara. Sistem Islam juga mendorong masyarakat untuk berbagi dengan sesama. Salah satunya dengan pengambilan dan penyaluran zakat dari umat muslim. Gambaran kepemimpinan yang sesungguhnya telah tercermin dalam sabda Rasulullah saw.,

“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Abu Nu‘aim).

Dengan kepemimpinan berasaskan sistem Islam, kesejahteraan masyarakat akan diperhatikan dengan baik. Namun, semua kebijakan tersebut tentu akan sulit terlaksana jika kita masih menggunakan sistem kapitalisme. Sebaliknya, semua itu akan terwujud jika negara ini menerapkan sistem Islam secara total.

Sepanjang sejarah, sejak Rasulullah saw. menjadi pemimpin negara dan dilanjutkan oleh para pemimpin setelahnya. Tidak ada lagi kalangan masyarakat yang mampu melahirkan kepemimpinan yang benar-benar amanah kecuali dalam negara yang menerapkan sistem Islam. Sehingga sudah saatnya kita menjadikan penerapan sistem Islam sebagai satu-satunya solusi dari semua permasalahan saat ini, termasuk dalam mengentaskan kemiskinan. []

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here