Opini

Marak Perundungan Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Zahra Tenia (Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Aksi perundungan anak kembali terjadi. Kali ini menimpa seorang anak di Kabupaten Bandung, tepatnya di Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay. Seorang bocah yang sedang asyik bermain, dikeroyok, ditendang, dan dipaksa minum tuak serta merokok oleh teman-temannya. Tak hanya itu, ia juga dimasukkan ke dalam sumur (CNNIndonesia.com, 26/06/2025).

Aksi serupa juga terjadi di kawasan Cicendo, Bandung. Sebanyak enam siswa SMP memukuli temannya secara bergiliran. Bahkan, salah satu dari mereka sempat mengancam akan membunuh korban (Kompas.com, 10/06/2025).

Anak adalah perhiasan dunia. Orang tua mana yang tidak sedih ketika buah hatinya menjadi korban perundungan? Dengan segenap daya dan upaya, orang tua menjaga anak. Namun, saat di luar rumah, anak justru diperlakukan secara tidak manusiawi.

Anak juga merupakan aset generasi masa depan. Sayangnya, sistem pendidikan saat ini justru mencetak pelaku kekerasan dan kejahatan. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas kondisi ini?

Output Pendidikan Sekuler

Maraknya perundungan hari ini merupakan hasil dari sistem pendidikan kapitalis yang diterapkan saat ini. Sekularisme yang menjadi asas sistem ini telah merusak seluruh tatanan kehidupan. Manusia dijauhkan dari fitrahnya dan tidak memahami tujuan hidupnya.

Dalam sistem pendidikan kapitalis, pelajaran agama hanya diberikan sebatas kebutuhan spiritual pribadi—yakni hubungan manusia dengan Tuhan. Agama tidak memiliki peran penting dalam mengatur urusan kehidupan lain seperti bermasyarakat dan bernegara.

Anak-anak dididik untuk menguasai ilmu semata demi kesuksesan duniawi. Tidak pernah ditanamkan bahwa ilmu yang diperoleh kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Ukuran kebahagiaan adalah tercapainya kenikmatan jasmani atau materi sebesar-besarnya.

Akibatnya, mereka jauh dari akhlak dan adab. Yang dianggap penting hanyalah kemampuan. Merasa lebih unggul, lebih pintar, atau lebih kuat menjadi dorongan untuk melakukan perundungan. Dengan perilaku demikian, mereka merasa puas dan bahagia.

Beberapa ahli psikologi menyatakan bahwa anak-anak yang tidak memahami tujuan hidup cenderung melakukan kekerasan. Seperti yang diungkapkan Ibu Elly Risman:

“Anak zaman sekarang sering merasa hampa karena kehilangan figur, nilai, dan makna. Ia pun mencari jati diri lewat pengakuan kadang dengan tindakan negatif.”

Tak hanya pendidikan, keluarga saat ini pun jauh dari perannya sebagai lembaga pertama pembentuk generasi yang baik dan berkualitas. Masalah ekonomi sering kali menjadi akar berbagai persoalan. Kemiskinan melahirkan konflik rumah tangga hingga perceraian, dan anak-anak menjadi korbannya.

Tanpa figur teladan, tanpa tempat mengadu dan bersandar, anak akhirnya melarikan diri dari rumah. Mereka menyalurkan rasa kecewa melalui tindakan-tindakan yang melanggar norma agama maupun masyarakat.

Selain faktor pendidikan dan keluarga, abainya negara dalam mendidik generasi juga sangat kentara. Tayangan negatif yang lolos sensor dan game-game merusak fitrah anak menjadi bukti lemahnya pengawasan. Kontrol yang minim dan sanksi yang tidak tegas menjadikan perundungan terus berulang. Atas dalih “masih anak-anak”, hukum pun tumpul dan sering kali diabaikan.

Islam Memuliakan Anak

Islam memandang anak sebagai amanah yang harus disyukuri dan dijaga sebaik mungkin. Dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim, Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

“Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Ayat dan hadis di atas menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap keluarga, termasuk anak. Anak tidak hanya dipandang sebagai aset masa depan dunia atau penjaga di hari tua, tetapi juga sebagai investasi akhirat.

Karena itu, Islam menekankan pentingnya pendidikan agama sejak dini, bahkan sebelum pernikahan. Dalam sistem pendidikan Islam, anak dipahamkan visi dan misinya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Bahwa hidup adalah untuk beribadah kepada Allah. Maka ilmu yang dipelajari harus berguna untuk kehidupan dan pertanggungjawaban akhirat. Anak tidak akan terjebak dengan iming-iming dunia yang menyesatkan.

Pendidikan agama diberikan di seluruh jenjang pendidikan dari SD hingga universitas secara gratis. Negara berperan penting dalam menyediakan fasilitas pendidikan dan kurikulum yang berbasis syariat Islam. Negara juga hadir melindungi anak-anak dari paparan negatif, baik dari media daring maupun luring.

Selain itu, negara menyediakan fasilitas untuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang anak-anak, seperti perpustakaan, sarana olahraga, serta ruang-ruang pengembangan minat dan kreativitas.

Khatimah

Masalah perundungan anak bukan semata karena kenakalan anak atau buruknya pendidikan. Ini adalah dampak dari penerapan sistem kapitalis yang rusak. Diperlukan peran semua pihak guru, keluarga, masyarakat, dan negara yang memiliki visi dan misi yang sama dalam mencetak generasi berkualitas dan berkarakter Islam.

Semua itu hanya bisa terwujud jika syariat Islam ditegakkan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, di bawah naungan negara Khilafah Islamiyyah. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya imam itu adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Umat Islam harus sadar bahwa berpaling dari syariat Islam adalah sumber malapetaka. Sudah saatnya umat melakukan revolusi untuk mengganti sistem kapitalis yang cacat dengan sistem Islam yang sempurna. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here