Oleh: Intan H. A. (Pegiat Literasi)
Wacana-edukasi.com — Di tengah kehidupan yang sedang pailit, dan rakyat tengah menjerit akibat covid-19 yang menghantam perekonomian. Lagi, publik dibuat tercengang oleh ulah para pejabat publik yang nakal. Kali ini, kasus korupsi menjerat Menteri Sosial, Juliari Batubara.
Kasus korupsi ini diawali dengan adanya pengadaan bansos penanganan covid-19 berupa paket sembako untuk warga miskin dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua periode.
Perusahaan rekanan yang menjadi vendor pengadaan bansos diduga menyuap pejabat Kementrian Sosial lewat skema fee Rp 10.000 dari setiap paket sembako yang nilainya Rp 300.000 (kompas.com, 9/8/2020).
Miris. Di saat negeri ini tengah dihantam wabah covid-19 yang menimbulkan sekelumit persoalan hidup yang menimpa rakyat. Kasus korupsi masih saja menghampiri para pejabat. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib rakyat yang terabaikan.
Bantuan sosial yang seharusnya disalurkan untuk meringankan beban rakyat, malah diselewengkan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan keadaan. Seharusnya para pejabat hadir sebagai pengayom dan meringankan penderitaan rakyat saat ini. Namun sayang, mereka malah melakukan tindakan yang merugikan negara dan juga menyengsarakan rakyat.
Tidak dipungkiri bahwa sistem kapitalisme meniscayakan para penguasa bisa saja melakukan tindakan korupsi. Tersebab, biaya demokrasi tidaklah murah, sehingga melahirkan para penguasa yang korup.
Para politisi yang berhasrat ingin duduk ditampuk kekuasaan, akan memanfaatkan dana yang ditawarkan oleh para kapital dalam rangka memuluskan keinginannya. Di sinilah episode pun dimulai. Para politisi akan terjerat hutang yang cukup besar beserta bunganya kepada para kapital (cukong), yang mereka sendiri pun tidak sanggup membayarnya dengan gaji yang diperolehnya. Dikarenakan hal tersebutlah mereka tergiur untuk mengambil jalan pintas menambah pundi-pundi rupiah, yakni dengan cara korupsi.
Berantas Korupsi Jangan Setengah-setengah
Lembaga komisi pemberantasan korupsi yang didirikan tahun 2002, nyatanya belum mampu sepenuhnya memberantas tindakan korupsi yang menjangkiti para pejabat publik.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan, terdapat 169 kasus korupsi selama periode semester satu tahun 2020. Hal ini ia katakan berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICW sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2020. “Kasusnya ada sekitar 169 kasus korupsi sepanjang semester satu 2020,” kata Wana melalui telekonferensi, Selasa (29/9/2020). Dari 169 kasus korupsi yang disidik oleh penegak hukum, kata Wana, 139 kasus di antaranya merupakan kasus korupsi baru (kompas.com, 29/9/2020).
Selain data di atas, bahkan ada data yang yang lebih mencengangkan yakni Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara terkorup di Asia. Ironis. Seakan kasus korupsi sudah membudaya di negeri ini. Sehingga para penguasa tidak lagi memiliki rasa malu untuk melakukan penyelewengan terhadap dana rakyat, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Solusi Permanen Memberantas Korupsi
Faktor yang menyebabkan tindakan korupsi terus merajalela adalah penerapan sistem kapitalisme-sekularisme. Asas pemisahan agama dari kehidupan yang diusung dalam sistem ini, mengikis rasa takut akan pertanggung jawaban dihadapan Allah kelak.
Berbeda halnya jika sistem Islam yang diterapkan. Islam mengharuskan seorang pejabat yang berkuasa memiliki ketakwaan kepada Allah Swt. Hal ini dilakukan dalam rangka social control dalam diri individu para pejabat. Selain itu, pendidikan tsaqofah Islam, mulai dari akidah hingga hukum syara’ diberikan sebagai dasar dan modal penting bagi para penguasa dalam mengendalikan diri, emosi, termasuk meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritualnya.
Di samping itu, kontrol masyarakat diperlukan. Amar makruf nahi mungkar yang dilakukan rakyat sangat dibutuhkan, agar kesalahan yang terjadi tidak menjadi kebiasaan. Pemberian gaji yang layak pada para pejabat pun akan diberikan oleh negara. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah saw.
“Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR Abu Dawud)
Jika masih ditemui para pejabat publik melakukan tindakan korupsi, maka negara akan memberlakukan tindakan tegas berupa sanksi ta’zir yang hukumannya akan ditentukan oleh hakim, baik diambil hartanya, dicopot dari jabatannya atau dipublikasikan kesalahannya di hadapan publik.
Inilah aturan-aturan yang diberikan oleh Islam dalam rangka memberantas tindakan korupsi. Ketika Islam kembali diterapkan dalam kehidupan, maka tidak mustahil tindakan korupsi dapat diberantas sampai ke akar-akarnya. Sebab, Islam tindak pernah pandang bulu dalam menerapkan hukumnya.
Wallahu’alam bishshawab
Views: 0
Comment here