Opini

Meski Banjir Kritik, Proyek IKN Tak Terusik

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Sartinah (Pemerhati Masalah Publik)

Menyerahkan pengelolaan aset negara kepada swasta atau asing juga akan membuat negeri ini terjajah, baik secara politik maupun ekonomi.

Wacana-edukasi.com— ‘Anjing menggonggong kafilah berlalu.’ Peribahasa ini tampaknya cocok disematkan kepada para pemegang kuasa negeri ini. Bagaimana tidak, saat pandemi belum usai, utang menggunung, bahkan APBN sekarat, pemerintah tetap ngotot membangun ibu kota baru. Derasnya hujan kritik, nyatanya tidak menggoyahkan hasrat pemerintah sedikit pun.

Dikutip dari tempo.co.com (2/9/2021), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) tetap dilaksanakan, meski pandemi masih menghadang. Suharso menargetkan pemindahan ibu kota terlaksana pada 2045. Saat ini, menurutnya, pembangunan tersebut telah sampai pada tahap land development dan persiapan penataan kota. Setidaknya dibutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 tahun untuk pembangunan Ibu Kota baru.

Program pemindahan Ibu Kota yang terkesan ngotot dan terburu-buru tak ayal menuai beragam kritik. Di antaranya dari Pengamat Politik INDEF, Ahmad Heri Firdaus. Menurutnya, untuk saat ini pemerintah seharusnya fokus pada pemulihan ekonomi, membuka lapangan kerja seluas-luasnya, dan mengentaskan kemiskinan. Bukan justru membangun ibu kota baru di tengah pandemi.

Megaproyek Fantastis di Tengah Kondisi Ekonomi yang Kritis

Proyek pembangunan Ibu Kota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, tampaknya tak bisa lagi dibendung. Padahal, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah, terlebih di masa pandemi. Dari karut-marutnya penyelesaian wabah, hingga dampak buruk pandemi terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat.

Sayangnya, pemerintah seolah menutup mata terhadap berbagai krisis tersebut. Demi dalih pemerataan pembangunan dan ekonomi, megaproyek IKN seolah menjadi ‘harga mati’ yang tidak bisa diganggu gugat. Padahal, kondisi APBN saat ini bisa dibilang minus. Jika proyek ini dipaksakan, ke depannya rakyatlah yang akan menanggung derita. Sebab, APBN yang terus defisit akan ditutup dengan pajak dan utang. Akhirnya, rakyatlah yang akan diburu untuk membayar pajak demi membiayai negara.

Apalagi jika menilik pembiayaan proyek IKN yang terbilang fantastis, yakni sebesar Rp466,98 triliun. Pemerintah pun menegaskan jika biaya pembangunan IKN tidak akan ditanggung sepenuhnya oleh APBN. Ada tiga skema pembiayaan yang telah dirancang pemerintah. Yakni melalui APBN, Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), serta melalui pihak swasta. Rinciannya adalah APBN akan membiayai Rp91,29 triliun, melalui KPBU Rp252,46 triliun, dan Badan Usaha akan mendanai Rp123,23 triliun. (cnbcindonesia.com, 6/9/2021)

Skema pembiayaan tersebut memperlihatkan bahwa porsi swasta jauh lebih besar ketimbang APBN. Padahal, sudah menjadi rahasia umum jika swasta ataupun asing ikut bermain dalam proyek-proyek vital, sejatinya bahaya tengah mengancam negara. Di samping itu, porsi APBN yang lebih kecil dibanding swasta, justru menunjukkan ketidakmampuan negara dalam membangun objek-objek vital. Akibatnya, negeri ini akan kehilangan kewibawaan, tidak mandiri, dan minim kedaulatan.

Menyerahkan pengelolaan aset negara kepada swasta atau asing juga akan membuat negeri ini terjajah, baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik, kebijakan negara akan mudah didikte oleh segelintir pemilik modal. Sementara secara ekonomi, sumber daya alam akan dijarah dan dikuasai pengelolaan SDA-nya. Hal ini wajar, sebab penguasaan dan pengelolaan oleh swasta atau asing hanyalah berbasis keuntungan, bukan riayah. Jika demikian, bukankah kondisi ini sama halnya dengan penjajahan?

Seyogianya, dana yang besar tersebut bisa dimaksimalkan untuk mengatasi pandemi dan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Bukan justru sibuk memaksakan pindah ibu kota. Sebab, pandemi Covid-19 yang nyaris terjadi selama dua tahun telah berdampak buruk terhadap ekonomi rakyat. Dimana tingkat kemiskinan semakin tinggi, pengangguran bertambah, kesejahteraan menurun, dan masih banyak lagi dampak pandemi terhadap masyarakat.

Kesalahan prioritas dalam mengurus rakyat tak lepas dari penerapan sistem kapitalisme-neoliberal. Sistem batil ini telah melegalkan penguasaan sumber daya alam oleh individu, swasta, maupun asing. Tak heran, meski sumber daya alam melimpah, negara tetap tak mampu membangun infrastrukturnya secara mandiri. Bahkan, melimpahnya SDA juga tidak mampu membuat negeri ini terbebas dari jeratan utang. Jika tak mampu secara mandiri membangun infrastruktur, lantas mengapa masih ngotot membangun ibu kota baru yang tidak urgen untuk saat ini?

Prioritas Riayah dalam Islam

Infrastruktur dalam Islam menjadi perhatian besar seorang penguasa atau khalifah. Sebab, infrastruktur merupakan fasilitas umum yang dibutuhkan oleh setiap individu masyarakat. Sehingga pembangunannya pun dilakukan semata-mata demi kemaslahatan, sebagai bagian dari riayah kepada rakyat.

Namun, demi terwujudnya kemaslahatan, negara akan memilih skala prioritas dalam mengurus rakyatnya. Yakni, mendahulukan mana yang urgen yang dibutuhkan rakyat. Misalnya saja pada saat pandemi mengancam. Negara akan memprioritaskan untuk penanganan wabah, pemulihan kesehatan, serta pemenuhan dan pendistribusian kebutuhan dasar rakyat secara merata.

Sedangkan untuk pembangunan objek vital seperti Ibu Kota Negara (IKN), Islam mengharamkan peminjaman utang luar negeri. Termasuk keharaman menyerahkan pengelolaannya kepada swasta, apatah lagi asing. Sebab, ibu kota merupakan eksistensi sebuah negara yang harusnya dibangun secara mandiri. Selain itu, tidak ada yang gratis bila berurusan dengan swasta ataupun asing. Di samping mengandung riba, utang luar negeri akan membuat negara kehilangan kemandirian dalam meriayah rakyatnya.

Dengan ditopang oleh sistem politik dan ekonomi yang tangguh, khilafah akan mampu membangunnya secara mandiri. Hal ini dilakukan agar pemanfaatannya pun mandiri dan semata-mata demi kemaslahatan rakyat. Untuk alokasi pembiayaannya diambil dari kas baitulmal dari pengelolaan harta milik umum, seperti tambang, minyak, dan gas. Jika kas baitulmal dalam keadaan kosong, negara dapat memungut pajak (dharibah) dari kaum muslim yang laki-laki dan mampu. Pemungutan pajak seperti ini pun hanya bersifat temporal.

Sejatinya, sengkarut kepengurusan rakyat hanya mampu diselesaikan oleh sistem Islam. Dari rahimnya pula, lahir para penguasa yang bekerja semata-mata demi mengemban amanah sebagai raa’in dan junnah. Di bawah sistem sahih ini, negara benar-benar memproteksi seluruh aset-aset milik umat dari penguasaan swasta ataupun asing. Rasulullah saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Wallahu ‘alam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 7

Comment here