Bahasa dan SastraCerpen

I’m A Journalist

blank
Bagikan di media sosialmu

Penulis: Ummu Haneem

At The Hotel

“Sherly, ajak suamimu masuk ke kamar. Kalian beristirahatlah dulu.”

“Baik, Kek.”

“Sher … suaminya diajakin, to!” perintah sang kakek.

Sherly menggandeng lengan Alex untuk kedua kalinya dengan canggung. Keduanya masuk ke dalam lift menuju kamar 202. Adalah hal yang wajar jika dirinya tampak canggung karena selama ini yang ada di benaknya hanyalah kerja, kerja, dan kerja. Dia belum pernah terlibat hubungan asmara dengan siapa pun. Justru dirinya takut jika perkara asmara dapat membuat karirnya menjadi redup. Sungguh dia tidak mau hal itu terjadi.

“Ehem … hari ini sudah dua kali lengan ini digelandang oleh seorang jurnalis cantik bermata lentik. Sungguh suatu kehormatan dan kebanggaan,” ujar Alex kepada istrinya.

Sherly yang menyadari akan perbuatannya langsung refleks melepas tangannya. “Dengar, ya … aku melakukannya karena permintaan Kakek. Aku terpaksa melakukannya. Kamu jangan ke-Ge Er-an seperti itu,” jawab Sherly dengan nada jutek. Beruntunglah yang di dalam lift hanya mereka berdua saja. Jadi, tidak ada siapa pun yang mendengarkan perbincangan keduanya.

“Jangan jutek begitu Nyonya Alex. Anda harus bertutur kata yang baik, apalagi pada suami. Okay?” Alex berbicara demikian sambil mencondongkan wajahnya kepada sosok perempuan bertubuh langsing yang ada di depannya. Alhasil, Sherly langsung gelagepan.”

“Oke, fix. Kamu selama ini belum pernah berdekatan dengan kaum adam. Meski kamu mengenakan niqob, namun aku yakin dibalik itu wajahmu pasti tampak merah merona.”

“Kamu … menggodaku terus dari tadi. Si … siapa yang bilang kalau aku tidak pernah berdekatan dengan cowok?”

Pada saat yang sama, lift terbuka. Mereka telah sampai di lantai 9, tempat di mana kamar 202 berada. Alex bersegera keluar dari lift menuju kamarnya. Dirinya tampak puas karena berhasil membuat istrinya menggerutu lagi.

“Wait … kamu belum menjawab pertanyaanku.” Sherly mengikuti suaminya sambil berlari-lari kecil, namun karena mengenakan high heels, tak sengaja dirinya terpeleset. Sherly memijit-mijit kakinya yang terasa nyeri.

Alex menoleh ke arah suara orang terjatuh. “Oh, ternyata dia yang jatuh.” Mau tidak mau akhirnya dia kembali dan memberikan pertolongan kepada sang istri.

“Kamu pakai high heels? Hati-hati, lantainya licin. Kalau kamu tidak terbiasa memakainya, lebih baik sepatunya dilepas saja.”

“Apa kamu bilang? Kamu mengejekku.” Dibalik niqobnya Sherly memanyunkan mulutnya.

“Sudahlah, aku gendong saja. Kakimu terkilir. Lihat tampak membiru. Dari pagi memaksa diri pakai sepatu ini. Dilepas saja ya?” Alex membuka sepatu sang istri dan memintanya untuk memegangi sepasang sepatu tersebut. Kemudian, Alex membopong istrinya di depan dada.

“Turunkan aku! Aku malu. Nanti ada orang yang melihat kita.”

Alex tidak menjawab permintaan istrinya yang bawel. Dia terus membopong istrinya menuju kamar 202. “Alhamdulillah, sudah sampai. Buka pintunya!“

“Turunkan aku!” Sherly memaksa diturunkan, kemudian membuka pintu kamarnya. Sementara, sang suami senyum-senyum memandangnya.

“Kenapa aku bisa menikah dengan perempuan sebawel ini? Pikirannya mirip dengan aktivis gender. Semoga saja dia tidak termasuk salah satu pejuangnya.”

“Jangan melihatku seperti itu!” Sherly berkata demikian sambil masuk ke dalam kamar. Meski kakinya terasa nyeri, dia memaksa diri untuk berjalan sendiri. Sherly meletakkan sepatunya di lantai dan membuka cadarnya, kemudian duduk di tepi ranjang tempat tidur. Dia memijit-mijit kakinya kembali.

“Sini kupijat kakimu sebentar.” Alex menawarkan pijitan dan berjongkok memijat kaki sang istri, sementara Sherly pun merasa tak ada pilihan lain, kecuali pasrah. Dirinya hanya diam seribu bahasa saat suaminya memijat kakinya yang terkilir.

“Sudah selesai. Bagaimana rasanya sekarang? Apa sudah terasa lebih baik?” tanya Alex.
Sherly menggerak-gerakkan kakinya.

“Alhamdulillah, sudah tidak sakit lagi.”

“Ayo, sholat berjamaah.”

“Sekarang?”

“Iya, My Love. Kapan lagi?”

Wajah Sherly merona mendapati panggilan mesra dari suaminya. Ada suatu perasaan yang tak biasa yang menghinggapi relung hatinya.

“Kenapa masih bengong? Ayo, segera sholat!” Sherly tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara Alex yang mengajaknya menunaikan salat Zuhur berjemaah.

“Kamu sholatlah dulu. Aku mau menghapus riasan make up-ku dulu.”

Alex sudah selesai menunaikan salat Zuhur, kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur. Sungguh persiapan pernikahan cukup menguras tenaga dan pikirannya. Tak berapa lama, dirinya pun terlelap memasuki lautan mimpi.

“A … ada ke coach …. tolong … ada kecoa. Masak iya di hotel semegah ini ada binatang kecil ini?” Sherly berteriak histeris, sehingga membangunkan Alex.

“Suara siapa itu? Kenapa ada suara wanita?” Alex masih setengah sadar saat bergumam demikian.

“Pergi kamu … hei, jangan ke sini!” Sherly masih berteriak-teriak di dalam kamar mandi.
“Just a moment. Where am I? Oh, that voice is from … my wife.” Alex bergegas menuju kamar mandi dan membuka pintu kamar mandi begitu saja tanpa bilang permisi atau yang lainnya. Begitu pintu dibuka, dirinya tertawa karena mendapati Sherly naik di atas dudukan closet yang tengah ditutup.

“What are you doing? Are you okay?” tanya Alex kepada Sherly.

“Look, over there. I am afraid.” Alex melihat ke arah dinding bercat putih yang ditunjuk oleh Sherly dan melihat seekor kecoa menempel di sana.

“Are you afraid with this animal? Oh my God … you’re very funny. You’re so brave to face the criminals, but you’re afraid with this.” Alex memungut kecoa tersebut.

“Turunlah … aku mau membuangnya ke dalam closet.”

“Okay, thanks.” Sherly mengarahkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang berukuran 3×3 meter tersebut barangkali ada kawanan binatang lainnya.

“Apa masih lama? Sudah sholat?”

“Belum… Aku kesulitan melepas rok panjang ini. Tadi pagi aku dibantu oleh penata rias. Tapi sekarang ….”

“Biar aku bantu.“

“Are you kidding?” Sherly terbelalak dan melangkah mundur. Takut terjadi apa-apa padanya.

“Astaghfirllah … i just want to help you.”

“I don’t want you to help me.”

“Okay, It’s up to you.” Alex keluar dari kamar mandi dan menghela nafas panjang.

“Hufftt … ya, Allah mudahkanlah hamba untuk menetralisir semua ini. Hari pertama pernikahan ini begitu melelahkan. Ditambah, harus menghadapi sosoknya yang bawel. Ampun dech.

Tok … Tok … Tok …

“Ya, sebentar.” Alex membuka pintu kamar dan didapatinya seorang perempuan berdiri di luar.

“Mas, maaf saya adalah penata rias mbaknya. Saya ingin membantu mbaknya untuk berganti pakaian.

“Alhamdulillah, syukurlah Anda datang tepat waktu. Silahkan masuk, Bu.”

“Baik, terima kasih. Di mana mbaknya?

“Dia masih di kamar mandi. Anda ketuk saja pintunya.”

“Baik mas.”

*

Kring! Gawai Sherly berbunyi. Dia meraihnya dan menjawab sebuah panggilan yang masuk.

“Sher, ajak suamimu turun. Kita makan malam bersama di restoran yang ada di hotel ini.” Kakek Hermawan langsung menutup teleponnya.

“Ta … halo? Yach, sudah dimatikan. Padahal aku bilang tapi, Alex tidak ada di kamar. Okelah, aku turun sendiri saja. Perutku lapar sekali.”

Sherly turun ke lantai dasar menggunakan lift.

“Hmmm… Kemana dia, ya?” lift berhenti.

Sherly keluar berjalan menuju tempat yang telah disebutkan oleh kakeknya.

“Malam, Kek, bagaimana kabar Kakek?” Sherly menyapa sang kakek.

“Di mana Alex? Kenapa dia tidak datang bersamamu?

“Entahlah, Kek. Tadi dia bilang mau ke luar sebentar. Tapi sampai sekarang dia belum juga kembali. Sherly sudah tinggalkan pesan di secarik kertas di kamar. Kuharap dia membacanya.”

“Oke. Kita makan dulu saja.”

“Baik, Kek.”

“Selamat malam, Kek. Maaf Alex datang terlambat.”

“Syukurlah kamu sudah ke mari. Ayo, kita makan dulu. Nanti baru berbincang-bincang lagi.”

“Siap, Kek.” Jawab Alex yang kini duduk di samping sang istri.

Hidangan yang tersaji di meja makan adalah aneka menu seafood, makanan favorit Alex. Apalagi, cumi bakar asam manis. Benar-benar mampu memanjakan lidahnya.

“Dari mana Kakek tahu kalau saya suka seafood?” tanya Alex.

“Nak Alex suka seafood juga? Berarti sama dengan Sherly. Terutama cumi-cumi, Sherly sangat suka sekali menu yang satu itu.”

“Hmmm … Alex juga penggemar cumi-cumi Kakek.”

“Uhuk … uhuk ….” Sherly terbatuk-batuk saat mendengar penuturan Alex. Kemudian, segera meminum air putih yang ada di depannya.

“Pantas saja Allah takdirkan kalian berjodoh. Oke, that’s good. I’d like to hear it.”

“Kakek, sudah cukup mengobrolnya. Kita makan dulu saja.” Sergah Sherly.

“Oke. But … kamu … kenapa tidak mengambilkan makan untuk Alex. Ayo donk layani suamimu dengan baik. Mulai hari ini kamu sudah sah sebagai Nyonya Alex. Jadi, kamu harus melayani suamimu dengan baik.”

“Iya, Kek.” Sherly merasa tersudutkan.

“Hmmm … dia kan bisa mengambil makanan sendiri. Seperti anak kecil saja minta dilayani,” gumam Sherly dalam hati.

Sementara itu, Alex memperhatikan mimik wajah sang istri dan menahan geli. Dari raut muka yang ditunjukkan oleh Sherly, Alex tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak mau melakukannya. Dia hanya terpaksa karena sang kakek yang memintanya.

“Wanita itu memang unik. Sepertinya PR-ku banyak sekali untuk merubahnya,” batin Alex.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 2

Comment here