Opini

Ketika Rahim Demokrasi Terus Melahirkan Para Penista Agama

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Niswa (AtivisDakwah)

Wacana-edukasi.com Di saat kaum muslimin tengah sibuk menjemput kemuliaan di bulan Ramadan ini, tetapi ada saja yang mengusik keberadaan kaum muslim. Seolah hendak menyulut kemarahan di bulan suci ini, dalam video yang diunggahnya, youtuber yang bernama Joseph Paul Zhang menistakan agama Islam, mulai dengan mengaku sebagai nabi ke-26, umat Islam dibodohi oleh para ulamanya, hingga menghina Allah SWT. Tak tanggung-tanggung, ia pun menantang bahkan berjanji akan memberikan sejumlah uang kepada siapa saja yang bisa melaporkan dirinya ke pihak kepolisian sebagai penista agama (fokusatu.com, 18/04/2021).

Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Agus Andrianto, mengatakan bahwa Joseph Paul Zhang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penodaan atau penistaan agama pada tanggal 19 April 2021, dan memastikan Joseph masih berstatus sebagai Warga Negara Indonesia. Adapun keberadaan Joseph saat ini berada di Jerman (Tempo.co, 20/04/2021).

Kasus penistaan agama terutama yang berhubungan dengan agama Islam ini bukanlah hal yang pertama terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Pengulangan kasus yang sama dari masa ke masa, seolah menunjukkan bahwa kampanye toleransi beragama yang sering diteriakkan oleh para petinggi bangsa hari ini, ternyata tidak sanggup untuk menghentikan tindakan-tindakan penistaan agama di negeri demokrasi ini dengan dalih kebebasan berpendapat.

Demokrasi menjamin kebebasan berbicara.
Menurut Advokat muslim, Ahmad Khozinudin, S.H., berulang kali penistaan agama yang terjadi adalah akibat dari sanksi yang tidak tegas dari pemerintah yaitu hanya lima tahun penjara. Selain itu, norma yang mengatur penistaan agama juga masih terlalu longgar. Ada adagium kebebasan berbicara, termasuk didalamnya kebebasan menista agama (mediaumat.news, 19/04/2021).

Sebab sejatinya, sistem demokrasi yang merupakan anak kandung dari sistem sekuler yang memisahkan antara kehidupan dengan agama, menjamin kebebasan berbicara. Maka, atas dasar itulah kemudian lahir orang-orang yang berani berbicara meskipun ujaran yang disampaikan menyimpang dari ajaran agama dan akhirnya menjurus kepada penistaan agama.

Kalaupun ada Undang-Undang atau peraturan yang membatasi tentang kebebasan berpendapat, hal tersebut tidak akan mampu membungkam lisan para penista agama untuk terus melakukan aksinya karena ringannya sanksi yang diberikan dan relatifnya pembuktian dalam kategori penistaan agama.

Terlebih lagi, kebijakan yang lahir dari sistem demokrasi merupakan hasil dari akal manusia yang terbatas dan mempunyai kecenderungan serta sarat akan kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Dengan kecenderungan tersebut, akhirnya terjadi tebang pilih dalam penerapan kebijakan dalam penistaan agama. Sehingga untuk menghentikan terulangnya kasus penghinaan agama juga diperlukan peran negara yang dapat bertindak tegas terhadap siapa pun yang pelaku penghinaan agama tanpa kecuali.

Berbeda dengan Islam, syariat islam merupakan seperangkat aturan yang berasal dari Allah Sang Pencipta dan Sang Pengatur seluruh alam semesta. Sehingga segala aturan yang diberlakukan bersifat tegas dan berlaku untuk seluruh umat, tanpa terkecuali.

Adapun hukuman bagi para penghina agama Islam adalah diperangi dan dibunuh, hal ini didasari oleh TQS. Al-Baqarah ayat 193, yang artinya: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi, dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”

Sehingga, sepanjang kepemimpinan Daulah Islam-yang menyandarkan segala aturannya berdasarkan syariat Islam-hampir tidak dijumpai kasus penistaan agama, karena berlaku sanksi yang tegas dan keras bagi para pelakunya.

Bahkan, dengan kekuatan politiknya, Daulah Islam juga mampu menghentikan munculnya orang yang menghina Islam dan Rasulullah bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Sultan Abdul Hamid II, ketika memerintahkan Inggris untuk membatalkan pementasan sebuah drama teater yang diambil dari karya Voltaire (seorang pemikir Eropa) di mana di dalamnya terdapat penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW yang berjudul Muhammad atau Kefanatikan.

Awalnya Inggris menolak permintaan khalifah dengan alasan bahwa pementasan tersebut merupakan bagian dari kebebasan di Inggris. Mendengar penolakan tersebut, Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan perintah kepada umat Islam dan mengumumkan pernyataan perang terhadap Inggris. Setelah mendapatkan ancaman tersebut, Inggris pun akhirnya membatalkan pementasan.

Fakta sejarah tersebut telah jelas memberikan gambaran kepada kita sebagai umat muslim akan pentingnya sebuah Negara yang menerapkan Islam dan menjadikannya sebagai dasar negara dalam mengatur segala aspek kehidupan bermasyarakat. Dengan negara yang melindungi Islam dan kepentingan kaum muslimin, maka pelecehan terhadap ajaran agama Islam dapat dihentikan.

Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh kaum muslim berjuang untuk menegakkan kembali syariat Islam. Sebab hanya dengan penerapan syariat Islam dalam bingkai Daulah Khilafah, penista agama tidak lagi lahir dan berkembang.

Wallohualam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 4

Comment here