Oleh : Deny Rahma (Komunitas Setajam Pena)
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA–Program unggulan yang diusung Presiden Prabowo, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG), masih menuai kontroversi hingga saat ini. Program ini resmi dilaksanakan pada 6 Januari 2025 dengan tujuan mengurangi stunting, meningkatkan kualitas belajar, mendukung ekonomi lokal, dan melahirkan generasi sehat serta unggul. Sasarannya mencakup anak-anak prasekolah hingga sekolah menengah, ibu hamil, dan ibu menyusui. Peluncurannya dilakukan serentak di 26 provinsi di Indonesia dengan target penerima manfaat mencapai 82,9 juta jiwa.
Sejak peluncurannya, sejumlah kontroversi muncul di kalangan publik. Mulai dari persoalan pendanaan, pemangkasan anggaran, menu yang dinilai belum memenuhi standar gizi, penggunaan wadah berbahan non-halal, hingga kasus keracunan massal. Salah satu kasus terbesar terjadi di Kabupaten Lebong, Bengkulu, di mana 427 anak terdampak. Kasus serupa juga menimpa 20 anak di Lampung Timur.
Dikutip dari laman Tirto.id (27/08/2025), Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Khamidah Yuliati, mencatat sebanyak 135 siswa dan 2 guru mengalami gejala diare setiap harinya usai mengonsumsi MBG. Kasus ini terjadi di SMP Negeri 2 Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Kasus-kasus tersebut menimbulkan pertanyaan besar: apakah negara benar-benar siap dengan program sebesar ini? Jika dianalisis lebih dalam, masalah MBG tidak hanya terletak pada teknis pelaksanaan, tetapi juga pada orientasi kebijakan. Program ini terlihat sangat ambisius, namun terkesan tergesa-gesa dan belum disiapkan secara matang.
Terjadinya keracunan berulang di berbagai daerah menunjukkan adanya kelalaian negara dalam menyiapkan standar operasional prosedur (SOP) yang matang, memastikan kualitas rantai pasok, dan mengawasi Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) secara ketat. Distribusi makanan dilakukan secara massal dengan pengawasan terbatas, sehingga kualitas dan keamanan pangan sulit dijamin. Akibatnya, kesehatan bahkan nyawa siswa menjadi taruhannya. Niat baik yang seharusnya melindungi generasi malah berpotensi mencelakakan mereka.
Di awal pelaksanaan, banyak beredar video yang memperlihatkan menu makanan MBG yang kurang diminati oleh anak-anak sekolah. Rasa dan variasi menu dianggap kurang menarik sehingga tidak jarang makanan terbuang percuma. Hal ini membuat efektivitas program semakin rendah, sebab tujuan pemenuhan gizi tidak tercapai. Pemenuhan gizi seharusnya tidak dipaksakan melalui pendekatan seragam, karena setiap keluarga memiliki kebiasaan makan, kebutuhan gizi, dan selera yang berbeda.
Dari sisi anggaran, program MBG justru berpotensi menjadi beban besar bagi keuangan negara. Dana yang dialokasikan sangat besar untuk menargetkan lebih dari 80 juta penerima manfaat dan dilaksanakan setiap tahun. Jika kualitas MBG tidak segera diperbaiki, program ini hanya akan menjadi beban tanpa hasil yang signifikan. Alih-alih meningkatkan kualitas SDM, justru berisiko menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah karena dianggap hanya sekadar memenuhi janji politik.
Uraian di atas menunjukkan bahwa MBG cenderung menjadi program populis. Ia lebih menonjolkan citra politik daripada memastikan keberlanjutan dan kualitas pelaksanaan. Program ini ibarat “jualan” kampanye yang harus segera diwujudkan pasca kemenangan. Pemerintah memang dapat mencatatnya sebagai pencapaian, tetapi jika realisasinya masih jauh dari ideal, dampak positifnya akan minim bahkan bisa kontraproduktif.
Tak heran jika hal seperti ini terjadi, karena negeri ini masih menggunakan sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Jika ada peluang, maka akan dieksekusi dengan berbagai cara, tanpa memandang siapa yang dirugikan. Tanggung jawab terhadap rakyat sering kali luput atau diabaikan karena yang lebih diutamakan adalah keuntungan (cuan).
Berbeda dengan Islam, yang aturannya berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam Islam, tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat sangat besar. Pemimpin adalah ra’in (penggembala) yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kesejahteraan rakyatnya.
Dalam sistem Islam, negara tidak hanya dituntut memberikan layanan, tetapi memastikan kesejahteraan rakyat terpenuhi secara sistematis dan berkelanjutan. Sistem Islam mengatur distribusi pangan agar merata, harga-harga tetap stabil, rakyat memiliki daya beli yang cukup, lapangan kerja terbuka luas, dan gaji pekerja dibayarkan secara layak sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
Selain itu, negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya. Pelayanan kesehatan harus tersedia dengan biaya terjangkau bahkan gratis, disertai edukasi kesehatan yang tepat, khususnya terkait pemenuhan gizi. Dengan cara ini, kasus stunting maupun gizi buruk dapat dicegah sejak dini tanpa membahayakan rakyat.
Untuk pendanaan program-programnya, negara Islam tidak bergantung pada utang luar negeri atau pajak yang mencekik rakyat, melainkan mengelola sumber daya alam melalui Baitul Mal. Dengan sistem ini, kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan tanpa menjadikan mereka “korban percobaan” dari program yang tergesa-gesa. Semua ini hanya dapat terwujud jika negara menerapkan sistem Islam, yakni khilafah. Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 25


Comment here