Opini

Kejahatan Siber Ancam Bonus Demografi

Bagikan di media sosialmu

Oleh Anita Rachman

Wacana-edukasi.com, OPINI–Sebanyak 36 juta lebih keluarga di Indonesia yang terdata di Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKN memiliki anak remaja berumur 10-24 tahun (tempo.co, 09/11/2025).

Mirisnya, pada rentang usia tersebut ketergantungan pada gadget cukup tinggi. Disampaikan Menteri Kependudukan dan Pembangunan (Kemendukbangga)/ Kepala BKKBN, Wihaji, dari survei State of Mobile 2024, durasi rata-rata penggunaan gawai di Indonesia paling tinggi di dunia, mencapai 6,05 jam per hari. Padahal menurutnya, penggunaan gawai yang terlalu massif di usia remaja menjadikan mereka rentan terhadap ancaman siber. Terbukti dari hasil survey National Center on Missing and Explotyed Children (NCMEC), Indonesia menempati peringkat keempat secara global dan kedua di ASEAN dalam jumlah kasus pornografi anak di ruang digital (antaranews.com, 09/07/2025).

Hal senada disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifatul Choiri Fauzi. Kasus terhadap perempuan dan anak menunjukkan lonjakan dalam beberapa waktu terakhir dan menurutnya sebagian besar pemicunya adalah media sosial atau gadget. Pada 01 Januari 2025 tercatat 11.800 kasus dan dari awal Januari hingga 7 Juli 2025 totalnya menjadi 13.000 kasus (tempo.co, 11/07/2025).

Mengatasi hal ini pemerintah merancang berbagai regulasi. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.17/2025 tentang Tata Kelola Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak. PP ini mengatur platform digital untuk menyediakan fitur sesuai usia dan tingkat resiko anak (tempo.co, 09/07/2025).

Begitu pula perluasan Instruksi Presiden (Inpres) No.5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong sinkronisasi antar lembaga dalam penguatan kampanye antikekerasan dari mulai sekolah hingga lingkungan kerja (tempo.co, 11/07/2025).

Selain itu Kemendukbangga/BKKBN merilis Super App Keluarga yang berisikan konten-konten pendidikan reproduksi bagi remaja serta pembangunan keluarga (antaranews.com, 09/07/2025). Namun hingga detik ini, berbagai solusi pemerintah masih belum mampu menahan animo remaja untuk mengakses gadget mereka.

Di sisi lain, sekalipun pemerintah tampak bekerja keras memblokir berbagai website ‘berbahaya’ dan mengkampanyekan ‘digital sehat’, konten-konten merusak masih dibiarkan berseliweran. Media sosial tetap dibanjiri tontonan tidak mendidik yang berpotensi merusak akidah umat dan bisa diakses siapa saja termasuk anak dan remaja.

Konten influencer mengumbar aurat, bebasnya laki-laki dan perempuan bergaul, bahkan pacaran sudah menjadi tontonan biasa. Bahkan edukasi sex aman menggunakan kondom pun dikampanyekan. Opini childfree, FOMO, flexing, gaming dan lain-lain menjadi tren di kalangan remaja. Konten yang membahayakan akidah pun tak dicegah beredar. Seperti konten bermuatan islam moderat yang dalam pratiknya cenderung ke arah liberal (bebas) dengan dalih mengikuti arus moderinasi dan perkembangan zaman.

Berbagai program dan regulasi tentu sangat dibutuhkan. Namun yang tidak kalah penting adalah mengetahui dulu akar permasalahannya. Akar permasalahan ketergantungan remaja pada gadget hari ini adalah karena prinsip kebebasan berekspresi yang lahir dari sistem sekularisme. Dimana aturan agama dipisahkan dari kehidupan yang kemudian di jadikan asas seluruh aspek kehidupan.

Dalam aspek pendidikan, kurikulumnya berbasis sekuler. Anak didik difokuskan menguasai ilmu pengetahuan yang sifatnya duniawi. Motivasinya sebatas mengejar prestasi dan gelar tinggi untuk bisa bersaing mencari materi. Orientasinya adalah sukses yang diukur dengan cuan dan cuan lagi. Sementara itu, berapa porsi pendidikan agama yang diterima anak-anak kita di sekolah hari ini?

Wajar, generasinya jauh dari pemahaman agama yang utuh dan menyeluruh. Wajar mereka tak paham standar halal dan haram dalam amal perbuatan. Termasuk dalam menggunakan gadget dan menikmati konten di media sosial. Semuanya mengikuti kesenangan dan hawa nafsu.

Sekularisme juga menjadi nafas dalam membuat kebijakan. Menkomdigi, Meutya menyampaikan, panduan dari ITU akan sangat penting untuk memastikan kebijakan tetap inklusif, berpandangan ke depan, dan selaras dengan standar global. Jelas yang jadi standar bukan agama, bukan halal haram, tapi opini global.

Apalagi arus digitalisasi ditengarai membawa banyak keuntungan materi, sehingga aspek keselamatan generasi luput dari perhatian. Maka, konten apapun selama mendatangkan cuan, akan tetap dibiarkan. Hanya akan diatur dengan fitur dan aplikasi atau dibatasi dengan regulasi dan kampanye.

Walhasil, bonus demografi terancam kejahatan siber tidak terelakkan lagi. Mereka menjadi generasi yang lemah, rapuh, mudah terpuruk, hidup galau kosong tanpa visi. Padahal mereka adalah potensi emas penerus generasi dan pembentuk peradaban. Inilah hasil penggunaan teknologi tanpa ilmu dan iman, sebuah konsekuensi dari menerapkan sistem sekuler kapitalisme.

Solusi satu-satunya dalam menyelesaikan permasalahan gadget pada remaja ini hanya bisa ditemukan dalam sistem Islam. Di dalam Islam, keyakinan terhadap Allah sebagai al-Khaliq al-Mudabbir (pencipta dan pengatur) menjadi asas pengaturan seluruh aspek kehidupan tanpa kecuali. Namun perlu diperhatikan bahwa sistem ini memerlukan sinergi tidak hanya di level individu, tetapi juga level keluarga, sekolah, masyarakat hingga negara.

Tiap-tiap individu diharuskan memiliki iman dan takwa yang kokoh yang mampu membentengi mereka dari berbagai konten merusak. Di sini butuh peran keluarga dalam membangun pendidikan akidah yang kuat di rumah. Kemudian diperkuat di lembaga pendidikan yang berbasis Islam, yang fokus mencetak generasi berkepribadian Islam, hingga memastikan segala amal perbuatannya terikat dengan hukum syara.

Di sisi lain, dibutuhkan masyarakat yang memiliki pemahaman agama (Islam) yang benar. Masyarakat ini secara alami akan menjalankan perannya dalam melakukan kontrol sosial, amar ma’ruf nahyi munkar. Mereka tidak akan pernah diam ketika melihat kemaksiatan.

Lebih dari itu, peran negara tidak kalah penting yakni dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh (kafah). Penerapan Islam kafah tidak akan sedikitpun memberikan celah bagi konten unfaedah apalagi merusak untuk tumbuh dan berkembang, sekalipun mendatangkan keuntungan. Seluruh konten yang beredar harus berada dalam koridor syara dan mengajak pada kebaikan. Seluruh kebijakan yang diambil pemerintah pun wajib berdasarkan hukum Allah yaitu Al-Qur’an dan sunnah, dengan halal-haram menjadi standar tanpa kompromi.

Negara berfungsi pula membangun sistem teknologi digital yang mandiri tanpa tergantung pada teknologi asing, yang memungkinkannya melakukan kontrol penuh terhadap filterisasi konten-konten ‘sampah’. Agar terwujud sistem informasi yang aman dan sehat bagi seluruh lapisan masyarakat, bebas dari kekerasan dan pornografi.

Kondisi ideal semacam ini tentu saja hanya dapat terwujud dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu khilafah. Dalam khilafah, negara benar-benar berperan sebagai junnah (pelindung dan penjaga rakyat). Pengembangan teknologi termasuk dunia siber akan diarahkan untuk menjaga kemuliaan manusia dan keselamatan dunia dan akhirat. Solusi pasti dari permasalahan gadget pada remaja hari ini adalah sistem Islam kafah!

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here