Opini

Kebijakan Ambigu Mengenai PTM, Korbankan Generasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Sonia Padilah Riski (Muslimah Kalimantan Barat)

Penanganan Covid-19, sejauh ini masih dibebankan pada masing-masing daerah hingga tak jarang beberapa daerah memiliki solusi sendiri terkait permasalahan tersebut terutama pendidikan yang juga terkena imbasnya.

http://Wacana-edukasi.com — Pembelajaran Tatap Muka (PTM) kembali menjadi wacana hangat di kalangan orang tua. PTM kembali diperbincangkan dalam beberapa waktu terakhir, dari tingkat pelajar hingga mahasiswa menjalani Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) . Di awal tahun 2022, wacana ini semakin diperkuat dengan keputusan kemendikbud untuk melanjutkan PTM dengan beberapa persentase pertemuan (25%, 50%, hingga 100%).

Di Banten PTM dibatasi 25% untuk tingkat SMA-SMK. Arahan tersebut sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Banten. Di Kota Bogor, PTM dihentikan usai puluhan siswa dan guru terpapar COVID-19. PTM Di DIY dibatasi 50%, rencana tersebut sudah mencapai kesepakatan dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota DIY lainnya. Puluhan Sekolah DKI sempat ditutup, dikarenakan sepanjang Januari 2022 puluhan sekolah di DKI Jakarta ditemukan kasus COVID-19 di sekolah. Tercatat sebanyak 90 sekolah yang terdiri atas jenjang TK, SD, SMP, SMA, SMK hingga Pelatihan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ditutup sementara. (Detik. Com, 02/02/2022)

Penanganan Covid-19, sejauh ini masih dibebankan pada masing-masing daerah hingga tak jarang beberapa daerah memiliki solusi sendiri terkait permasalahan tersebut terutama pendidikan yang juga terkena imbasnya.

Bahkan setelah dievaluasi pun arahan dari Kemendikbud kegiatan PTM harus tetap dijalankan dan disesuaikan dengan masing-masing daerah. Bukan hanya pemerintah daerah yang bingung akan ketidakjelasan arah kebijakan ini, orang tua murid juga terkena imbasnya. Mereka juga dibuat bingung dengan keputusan pemerintah yang tidak memberi kejelasan bagaimana nasib sekolah anak-anak mereka.

Target Kemendikbud yang ingin mencapai kegiatan pembelajaran tatap muka tetap dijalankan dan harus dengan protokol kesehatan, nyatanya malah membuahkan korban di beberapa daerah.

Evaluasi demi evaluasi terus dilakukan, tapi pada nyatanya kegiatan pembelajaran terus dijadikan ajang uji coba di tengah pandemi. Korban pun tak terelakkan lagi. Sebenarnya, bagaimana pemerintah dalam mengelola pendidikan terutama kegiatan belajarnya ditengah pandemi?

Arah Pendidikan yang Belum Jelas

Pandemic Covid-19 memberikan dampak yang begitu besar dalam kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia. Pendidikan, ekonomi, kesehatan menerima dampak yang paling besar dioantara sektor lainnya.

Kebijakan di sektor pendidikan, selama pandemi nyatanya selalu berubah-ubah. Disesuaikan dengan kondisi, begitulah jalannya pendidikan selama ini. Arah pendidikan sebelum pandemi pun tidak memberikan hasil yang jelas bagi generasinya. Pelajar/ mahasiswa selalu dituntut untuk mendapatkan nilai yang memuaskan tanpa mendapatkan ilmu yang bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Padahal tujuan dari pendidikan adalah mendapatkan ilmu yang bisa diterapkan untuk kehidupan terutama kehidupan akhirat. Tapi, pada kenyataannya pendidikan saat ini tidak mengarahkan generasinya pada hal tersebut melainkan hanya ditargetkan untuk mendapatkan materi duniawi.

Berbagai kebijakan yang muncul ini pun, membuat orang tua selalu bingung akan sistem pendidikan dan pengarahan yang harus dilakukan. Pasalnya pendidikan yang mereka terima dulu sangat jauh berbeda dengan pendidikan yang diterima generasi saat ini. Begitu pula dengan pelajaran-pelajarannya, beberapa orang tua yang mengeluh kesulitan untuk mengajarkan anak-anaknya.

Sistem pendidikan, selalu dijadikan ajang trial and error. Tidak ada kejelasan dalam arah pendidikan saat ini, begitupula dengan target-target yang dihasilkan. Lebih parahnya, generasi saat ini ditargetkan hanya untuk pencapaian materi semata.

Kapitalisme: Tujuan Utama untuk Produk Pendidikan

Pencapaian dari pendidikan saat ini tak jauh dari pencapaian materi atau kesenangan semata. Tak heran karena landasan yang digunakan adalah kapitalisme, yang mengedepankan materi semata. Kapitalisme yang sudah mendarah daging pada kehidupan, membuat sebagian besar manusia juga memandang bahwa pendidikan itu adalah batu lonjakan untuk mencapai materi yang melimpah.

Cara berpikir seperti ini pun semakin didukung kebijakan-kebijakan Kemendikbud yang mengarahkan agar generasi saat ini hidupnya berpusat pada pencapaian materi. Seperti halnya konsep Kampus Merdeka, SMK (yang sudah mengarahkan pelajarnya, agar bisa bersaing dengan pekerja lainnya), selain itu SMA yang sistemnya pendidikannya difokuskan hanya untuk jurusan-jurusan saja.

Sehingga tak heran, jika arah pendidikan belum ada kejelasan yang pasti. Di balik semua itu, tujuan untuk pencapaian materi tidak terlepaskan dari arah pendidikan ini. Kapitalisme tidak bisa diharapkan untuk menghasilkan generasi-generasi yang pemikir, yang bisa berkontribusi untuk umat, dan melahirkan karya-karyanya.

Khilafah dan Produk Pendidikan yang Dihasilkan

Jika Kapitalisme adalah sistem yang menghasilkan generasinya hanya untuk pencapaian materi, berbeda halnya jika dalam sistem Islam. Khilafah atau sistem Islam yang menggunakan Al-Qur’an dan As-sunah sebagai landasan kehidupannya baik dalam ranah regional hingga ke nasional.

Arah pendidikan dalam Islam, sangat jelas dibandingkan dalam kapitalisme. Khilafah mengarahkan generasinya untuk mendapatkan tsaqafah-tsaqafah Islam yang menunjang kehidupannya. Dalam bahan ajar yang digunakan juga, tidak diarahkan hanya untuk pencapaian duniawi melainkan bagaimana ilmu yang sudah mereka terima bisa dimanfaatkan umat bahkan menjadi amal jariyah bagi penemunya. Karena Islam lah, generasinya tidak hanya memikirkan untuk mendapatkan ijazah semata.

Meskipun dalam keadaan pandemi, tujuan dalam pendidikan Islam tidak akan berubah dan tetap bertujuan pada pemahaman Islam. Pendidikan tidak dijadikan sebagai ajang trial and error, yang malah mengakibatkan kebingungan di kalangan orang tua.

Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam, sedangkan kepribadian Islam dibentuk oleh akliyah dan nafsiyah Islam, maka kebijakannya pun harus diarahkan untuk membentuk akliyah dan nafsiyah Islam. Jadi, saatnya kembali pada Islam, agar tecipta sistem pendidikan yang mampu mencetak generasi unggul.

Wallahu ‘alam Bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 5

Comment here