Surat Pembaca

Marak Perlindungan Anak, Bukti Lemahnya Perlindungan Negara

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Kasus kekerasan anak kembali menjadi sorotan publik. Kali ini anak selebgram Hifdzan Silmi Nur Emyaghnia atau akrab disapa Aghnia Punjabi menjadi korban kekerasan pengasuhnya dengan inisial IPS (27 tahun). Aghnia Punjabi mengunggah foto sang putri berinisial JAP (3 tahun) dengan mata kiri lebam, telinga memar serta guratan luka di pipinya.

Menurut Kompol Danang Yudanto selaku Kasat Reskrim Polresta Malang Kota, alasan IPS melakukan kekerasan terhadap korban adalah kesal karena anak berusia tiga tahun itu menolak untuk mendapatkan pengobatan, serta alasan lain seperti anggota keluarga tersangka yang sakit. (Kompasiana.com, 06 April 2024).

Berulangnya kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa anak-anak tidak mendapat perlindungan dan keamanan bahkan dalam keluarga. Hal ini semakin ditegaskan dengan data yang menunjukkan banyaknya kasus kekerasan anak. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), 16.854 anak menjadi korban kekerasan pada tahun 2023. Untuk jumlah kekerasan fisik terhadap anak tercatat sebanyak 4.025 kejadian, ada pula 3.800 kekerasan psikis pada anak yang terjadi pada 2023.

Data menunjukkan bahwa anak-anak di negeri ini tidak menerima perlindungan yang harus diberikan oleh keluarga, masyarakat, dan negara. Kondisi ini merupakan sebuah keniscayaan ketika kehidupan diatur tidak menggunakan syariat Islam, namun diatur oleh sistem yang berlandaskan materi yaitu sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini membuat keluarga, masyarakat maupun negara tidak memahami kewajiban mereka dalam memberikan perlindungan hakiki untuk anak, salah satu buktinya legalisasi UU PKDRT maupun UU Perlindungan Anak yang bahkan sudah mengalami dua kali revisi, namun mandul dalam menyolusi kasus kekerasan terhadap anak bahkan tetap marak terjadi. Inilah buah penerapan sistem kapitalisme sekuler, sistem ini hanya memberikan kehidupan yang buruk bagi anak-anak.

Sangat berbeda dengan perlindungan anak yang diatur oleh sistem Islam. Islam memahami benar potensi dan kebutuhan anak-anak. Anak secara fitrah berhak atas perlindungan dan kasih sayang dimana pun mereka berada, baik di keluarga, masyarakat, atau negara.

Dalam Islam, semua orang harus memahami pentingnya melindungi anak-anak karena mereka adalah generasi yang akan mengisi peradaban. Kemudian Islam mewajibkan seorang ibu yang baik menjalankan peran sebagai madrasah pertama bagi anak-anak nya. Peran ibu yang demikian sangatlah strategis untuk mencetak generasi berkualitas. Untuk mengasuh, mendidik, menjaga, dan merawat anak-anak di rumah adalah tanggung jawab ibu.

Islam pun mewajibkan seorang ayah sebagai qawwam dalam rumah tangga yang wajib mencari nafkah serta menjaga agar keluarganya senantiasa taat kepada Allah, sehingga terwujudlah sinergi antara ayah dan ibu dalam mendidik, mengasuh, melindungi, mencukupi gizi anak dan menjaga mereka dengan landasan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala. Konsep ini memberikan perlindungan pertama bagi anak-anak. Perlindungan selanjutnya, diwujudkan oleh masyarakat. Faktanya, masyarakat adalah tempat anak tumbuh dan berkembang. Karena itu, sistem sosial Islam mewajibkan masyarakat untuk mengawasi perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Sehingga amar makruf nahi munkar menjadi kebiasaan bagi masyarakat untuk dilakukan.

Kemudian keberadaan negara mutlak dibutuhkan dalam perlindungan anak, karena itu Islam mewajibkan negara hadir sebagai ra’in atau pelayan dan junnah atau perisai rakyatnya. Termasuk menggunakan berbagai cara untuk melindungi anak. Selanjutnya sistem ekonomi Islam akan menjamin secara langsung kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan setiap anak yaitu melalui jaminan lapangan pekerjaan bagi ayah mereka. Selain itu, negara akan menjamin kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara langsung, gratis dan berkualitas tinggi. Sehingga anak-anak akan merasakan kesejahteraan didalamnya.

Pendidikan Islam pun memiliki kemampuan untuk menghasilkan generasi yang berkarakter Islam dan berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Atha’ bin Khalil dalam kitabnya Usus at-Ta’lim fi Daulah Al-Khilafah.

Kemudian, negara akan memastikan bahwa pelaku kejahatan anak akan dihukum dengan sewajarnya melalui sistem sanksi Islam. Dalam Islam, keinginan untuk melindungi anak-anak bukan semata-mata karena kondisi fitrah belaka. Namun lebih dari itu, sebab memberikan perlindungan kepada anak-anak merupakan perintah Allah. Karenanya, perlindungan anak dalam Islam didasari atas dorongan akidah Islam.

Allah Taala berfirman dalam QS. an-Nisa ayat 9 bahwa, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”.

Namun, semua ini hanya akan menjadi gagasan jika negara tidak menerapkan Islam secara nyata. Oleh karena itu, keberadaan institusi Khilafah Islamiyyah menjadi sebuah kebutuhan sebagai wujud perlindungan anak yang hakiki.

Amellia Putri
Mahasiswi, Aktivis Muslimah

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 9

Comment here