Opini

Istilah “Politisi Ikan Lele” Muncul Kembali, Demokrasi Perlu Dievaluasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Ummu Hanif (Pengamat Sosial Dan Keluarga)

wacana-edukasi.com– Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa buruknya penanganan pandemi Covid-19 tidak hanya disebabkan oleh dampak sosial dan ekonomi semata, tapi juga oleh ‘politisi ikan lele’. Menurut Mu’ti, istilah Politisi Ikan Lele adalah ungkapan yang dipinjamnya dari Buya Syafi’I Ma’arif untuk menunjuk pada mereka yang senang tampil memperkeruh suasana dan mengadu domba.

“Saya menyebut politisi ini tidak selalu mereka yang menjadi pengurus partai politik, tetapi orang yang pikirannya selalu mengaitkan berbagai keadaan itu dengan politik, berbagai persoalan dipolitisasi,” kata Mu’ti seperti dikutip Suara.com dari situs resmi PP Muhammadiyah, Kamis (5/8/2021).

Menurut Mu’ti, politisi ikan lele itu adalah politisi yang semakin keruh airnya maka dia itu semakin menikmati kehidupannya. Untuk itu, kata dia, sekarang ini banyak sekali orang yang berusaha memancing di air keruh dan memperkeruh suasana.

Sementara itu, anggota DPR RI Fraksi PDIP Arteria Dahlan turut mengomentari pernyataan bernada kritis Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang menyinggung figur ‘politisi ikan lele’ di tengah pandemi Covid-19. Menurutnya, apa yang disampaikan Abdul Mu’ti merupakan seruan moral yang cukup pedas.

“Sederhananya, beliau menyampaikan seruan moral yang cukup pedas namun cukup obyektif dan rasional kalau kita bijak menerimanya,” kata Arteria kepada wartawan seperti dikutip Suara.com, Sabtu (7/8/2021).

Sebenarnya, keberadaan politisi ikan lele ini, hanya satu dari sekian karakter politisi di negeri ini. Tampak nyata, para politisi hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk meraih keuntungan pribadi, bahkan tanpa malu mengambil dana masyarakat dengan jalan korupsi. Sebagaimana disampaikan Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, bahwa parpol saat ini erat dengan praktik korupsi akibat lemahnya transparansi dan kaderisasi di dalam tubuh parpol, juga lemahnya keuangan partai (www.republika.co.id, 04/08/2021).

Pertanyaannya, bisakah dalam sistem demokrasi kapitalistik hari ini lahir politikus yang jujur dan bersih? Bukankah Mahfud MD sendiri sebelumnya menyatakan, saat biaya politik makin mahal, elite juga makin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi, hingga malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga?
Tren tindak pidana korupsi para wakil rakyat melaju naik. Hal ini terjadi karena setiap orang yang akan duduk di kursi legislatif atau eksekutif dituntut membeli suara. Sehingga bagi mereka yang berhasil dalam pertarungan akan memikirkan cara mengembalikan modal yang dikeluarkan. Pada akhirnya, korupsi menjadi jalan pintasnya.

Sementara itu, partai politik sendiri memang bersikap pragmatis. Parpol gagal mendidik para kader partai, jadilah mereka hanya memikirkan diri dan partainya. Mereka tidak lagi menjadi penyambung aspirasi rakyat, apalagi memperjuangkan nasib umat. Padahal hakekat partai politik adalah institusi pemikiran (kiyan fikri), parpol merupakan organisasi yang menanamkan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang benar para kadernya. Kader partai inilah yang kemudian akan menancapkannya pada masyarakat untuk menggantikan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan rusak yang telah ada sebelumnya.

Islam akan dijadikan dasar dalam menilai sesuatu dan memberi solusi atas berbagai persoalan yang ada di masyarakat, termasuk mengarahkan tujuan yang hendak diwujudkan. Partai juga akan mampu melihat peta politik hari ini yang dikuasai oleh sistem demokrasi kapitalisme liberal, serta membaca setiap tantangan dan hambatan. Kelayakan pemimpin dalam memimpin parpol dan penentuan kelayakan rekrutmen anggota parpol didasarkan pada kematangan fikrah dan thariqah yang disandarkan pada ideologi Islam. Dengan demikian, partai akan terhindar dari berkumpulnya orang-orang yang didasarkan syahwat politik dan berebut kekuasaan semata. Terhindar pula dari politikus “ikan lele” dan “kutu loncat”. Sebaliknya, yang akan muncul adalah para politikus sekaligus negarawan dengan akidah Islam yang matang, serta pemimpin politik yang kreatif, inovatif, cinta dan dicintai umat.

Keidealan partai politik dan politisi seperti yang dipahami dalam sistem Islam, jelas sangat sulit terwujud dalam sistem demokrasi kapitalis seperti saat ini. Maka, jika masyarakat ingin keluar dari “iblis”nya sistem di negeri ini (mengambil istilah Mahfud MD), maka saatnya umat kembali menyusun kesatuan pemikiran dan perasaan untuk mengambil aqidah Islam sebagai landasan dalam berpolitik. Dan berjuang sekuat tenaga untuk merealisasikan sistem Islam dalam kehidupan, agar tercipta lingkungan yang kondusif tumbuhnya partai politik dan politisi yang ideal.

Wallahu a’lam bi ash showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 11

Comment here