Oleh: Neti Ernawati (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI–Bandung tengah menjadi sorotan. Kasus perundungan yang terjadi di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung pada bulan Mei 2025 lalu, viral di sosial media, Minggu 22 Juni 2025. Korban adalah siswa SMP berusia 13 tahun yang dipaksa masuk ke dalam sumur karena menolak meminum alkohol. Pelaku perundungan diketahui berinisial MF (20) dan dua pelaku lainnya yang masih di bawah umur. Kasus perundungan tersebut dikabarkan akan diselesaikan dengan perdamaian (detik.com, 01/07/25).
Kasus perundungan tersebut disoroti oleh Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani. Dirinya menilai, kasus tersebut sebagai kasus pidana dan harus ditindak secara administratif dan hukum. Sehingga penting bagi Kementerian PPPA, KPAI, dan aparat penegak hukum untuk melakukan kerjasama dalam penyelesaiannya (rri.co.id, 27/06/25).
Miris, ketika perundungan yang mengarah pada tindakan kriminal kian bertambah dengan rentang usia pelaku yang masih di bawah umur. Pada tahun 2023 saja, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mencatat angka kasus perundungan yang cukup besar, yakni sekitar 3.800 kasus (suarasurabaya.net, 02/03/24). Sayangnya, terdapat banyak kasus perundungan justru berakhir dengan perundingan jalur damai, tanpa sanksi administratif atau pidana.
Sistem Sekuler Liberal Kapitalis Ciptakan Fenomena Gunung Es
Fenomena gunung es pun muncul seiring dengan sedikitnya kasus yang terungkap dalam ribuan kasus yang tak terekspos. Hal ini lahir akibat buruknya sistem sekuler liberal kapitalis yang diterapkan saat ini. Sistem tersebut telah membuat tatanan kehidupan masyarakat, pendidikan, regulasi, hingga sistem hukum mengalami banyak kegagalan dalam menciptakan keamanan dan kedamaian.
Sekularisme telah melahirkan pendidikan pola pikir yang jauh dari tuntunan agama. Anak tidak mendapatkan pendidikan secara benar tentang zat dan perbuatan yang halal dan haram, seperti tentang alkohol dan perundungan. Banyak anak yang tidak mengerti tentang tanggung jawab, konsekuensi atas perbuatan, dan penghargaan atas diri orang lain. Pendidikan ala sekularisme telah kehilangan ruhnya, hanya sebatas teori dan tidak mampu dipraktikkan dengan baik oleh anak.
Sekularisme dan liberalisme telah mewujudkan masyarakat yang anti sosial. Masyarakat mulai meninggalkan kontrol sosial sebagai bentuk amar makruf kepada lingkungan. Kepedulian menjadi sesuatu yang mengganggu bagi beberapa kalangan yang mementingkan privasi. Sehingga kontrol sosial semakin sulit untuk dilakukan.
Definisi anak dalam sistem sekuler liberal pun tidak sesuai dengan definisi anak sesuai kaidah Islam. Dalam sistem sekuler liberal, anak didefinisikan sebagai manusia dibawah umur delapan belas tahun, yang masih membutuhkan perlindungan dan kasih sayang. Konsep ini acap kali menyebabkan pelaku kriminal yang masih dibawah umur tidak dapat dipidanakan dan hanya mendapat sanksi rehabilitasi.
Pengaruh buruk kapitalisme turut mengubah pola pikir masyarakat terhadap segala sesuatu yang kemudian ditentukan dengan standar materi. Dimana kerugian fisik maupun non fisik dapat diselesaikan dengan imbal balik uang sebagai solusi damai. Hal ini menimbulkan minimnya rasa takut pada pelaku ketika berniat melakukan perundungan. Ditambah lagi jika pelaku memiliki orang tua dengan tipe tidak ingin anaknya menderita. Alhasil, anak dengan kasus kriminalitas tinggi sekalipun akan ditolong semaksimal mungkin agar lepas dari jerat hukuman.
Sistem hukum yang tidak menjerakan dan justru membuat pelaku kriminal semakin terasah sisi kriminalnya, jelas membutuhkan perbaikan. Perbaikan ini tidak cukup hanya dengan penyusunan regulasi atau sanksi. Dibutuhkan perubahan mendasar pada segala lini kehidupan, termasuk pada sistem yang diemban.
Islam Mampu Atasi Perundungan
Islam sebagai agama pedoman kehidupan memiliki tatanan sistem kehidupan yang mampu menekan angka perundungan. Dalam Islam, perundungan adalah perbuatan yang haram dilakukan. Pemahaman ini bukan hanya diberikan secara teori, namun benar-benar ditanamkan kepada pribadi generasi Islam, bersama dengan nilai-nilai pendidikan Islam yang lain sejak usia dini. Tahapan pendidikan tersebut meliputi pendidikan dalam lingkup keluarga melalui peran orang tua sebagai panutan. Dilanjutkan pendidikan dalam lingkup masyarakat melalui kontrol sosial dalam wujud amar makruf. Kemudian berakhir pada pendidikan pada tingkat negara, dimana negara akan memastikan pendidikan yang baik untuk anak agar menjadi generasi bangsa yang sholih, yang kokoh secara intelektual dan spiritual.
Setiap anak akan dididik untuk memahami bahwa perbuatan manusia akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Pertanggungjawaban ini tidak muncul sesuai dengan pencapaian umur manusia. Islam menjadikan baligh sebagai titik awal dimulainya pertanggungjawaban seorang manusia. Ketika seorang anak telah menginjak usia baligh, maka setiap perbuatannya akan dicatat malaikat. Dimana setiap perbuatan buruk akan mendapat imbalan dosa, sedang perbuatan baik akan berbuah pahala.
Islam menjadikan negara memiliki otoritas dalam membentuk regulasi dan sistem hukum yang adil dan tegas. Hukum ditegakkan tidak dengan standar umur tapi sesuai pencapaian status anak yaitu usia pra baligh atau sudah baligh. Sanksi hukum bersifat tegas, tidak pandang bulu. Tidak ada pula dispensasi karena telah ada perundingan damai antara pelaku dan korban.
Hukum dan undang-undang dibuat sesuai syariat Islam. Sehingga keadilan yang akan dicapai bukan keadilan dalam persepsi manusia, tetapi keadilan yang mutlak sesuai tuntunan syariat Allah SWT. Semua mekanisme untuk mencapai keadilan dan kedamaian tersebut hanya dapat terlaksana dalam negara yang menerapkan Islam secara kaffah. [WE/IK].
Views: 4


Comment here