Surat Pembaca

Demonisasi Pernikahan Dini

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com– Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ulfa Mawardi menyebut Kalimantan masih menjadi yang tertinggi jumlah perkawinan anak. Empat provinsi yang ada di pulau ini semuanya berada di atas rata-rata nasional (www.timesindonesia.co.id, 02/09/2022).

Porsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun data Tahun 2019 menurut provinsi menempatkan keempat provinsi di Kalimantan berada di zona merah. Provinsi Kalimantan Selatan, bahkan berada di nomor satu dengan prosentase 21,2 persen. Disusul Kalimantan Tengah dengan 20,2 persen. Kalimantan Barat berada di posisi empat dengan 17,9 persen. Kalimantan Timur agak lebih baik karena prosentasenya hanya 12,4 persen. Kaltim ini pun berada di atas rata-rata nasional yaitu 10,82 persen.

Ulfa pun menjelaskan bahwa arahan presiden terkait Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak salah satunya adalah pencegahan perkawinan anak. Pada tahun 2024, perkawinan anak di Indonesia ditargetkan turun hingga 8,74 persen. Banyak faktor yang menjadi penyebab perkawinan anak diantaranya ekonomi dan kemiskinan, budaya dan agama, ketidaksetaraan gender, regulasi, geografis, dan akses pendidikan.

Upaya pencegahan perkawinan anak terjadi tertuang dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Di pasal 7 tertulis usia perkawinan yang diizinkan jika laki-laki dan perempuan sudah berusia 19 tahun. Meski ada permohonan dispensasi melalui pengadilan pada ayat lain di pasal tersebut, namun pendapat kedua mempelai tetap mutlak harus diperhatikan.

Direktur Pelaksana Daerah PKBI Kaltim Muran Gautama menyebut banyak dampak buruk kesehatan bagi anak yang dinikahkan dini. Dia menyebut faktor yang mempengaruhi pernikahan dini antara lain pemahaman nilai-nilai agama, lingkungan pergaulan, pubertas, dan pengetahuan seks, alat reproduksi belum siap menerima kehamilan sehingga menimbulkan berbagai komplikasi, kehamilan dini dan gizi tidak terpenuhi bagi dirinya sendiri, resiko anemia dan meningkatkan angka kejadian depresi, resiko terkena penyakit menular.

Ternyata di negeri ini masih terjadi demonisasi ajaran Islam terkait pernikahan. Menikah tentu membutuhkan ilmu dan kesiapan. Namun, mengkritik praktik pernikahan dini remaja yang dilakukan tanpa ilmu atau karena faktor lain seperti hamil di luar nikah, dan faktor sosial maupun ekonomi, misalnya, tentu bukanlah pijakan yang sahih untuk menghukumi praktik pernikahan dini yang sebenarnya dibolehkan oleh syariat. Disatu sisi realitanya memang miris, namun bukan dengan pembatasan usia nikah solusinya, tapi selesaikanlah akar masalahnya di pergaulan bebas, arus media nirfilter, pendidikan yang sekuler dan masih banyak lagi problem yang bermuara pada buruknya sistem negara saat ini.

Publik harus cerdas dalam mencermati pusaran opini agar tak reaktif dan pragmatis dalam merespons isu. Amat pandai para tokoh bahkan intelektual sekuler menyajikan karya ilmiah sekalipun yang digulirkan namun sarat solusi pragmatis ala sekulerisme. Hal ini membutuhkan kepekaan agar publik tak mudah ikut arus dalam pusaran narasi sesat dan demonisasi yang tujuannya tak lain mengobok-obok syariat, padahal Allah serta Rasul-Nya telah menjelaskan mengenai hal tersebut dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah SAW.

Jika saat ini negara mampu untuk merumuskan kebijakan terkait perlindungan anak, bukan perkara sulit tentunya bagi negara untuk merumuskan kebijakan yang melindungi masa remaja dengan menerapkan aturan interaksi antara laki-laki dan perempuan, termasuk turut serta melakukan edukasi tentang pernikahan begitu seorang anak beranjak balig.

Seorang muslim yang akan menikah, wajib ‘ain baginya untuk mengetahui hukum-hukum seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami istri, talak, rujuk, dan sebagainya. Kesiapan nikah dalam tinjauan fikih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal: kesiapan ilmu, kesiapan materi/harta, dan kesiapan fisik/kesehatan. Untuk mengakhiri serangan terhadap syariat pernikahan ini, diperlukan pemberlakuan syariat Islam secara sistem kehidupan Islam kaffah agar semua elemen masyarakat bisa merasakan secara langsung bagaimana indahnya Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Zawanah FN.
Pontianak-Kalbar

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 17

Comment here