Opini

Tetap Ngotot Kontestasi, Rezim Tak Punya Empati

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Intan Ayu (Aktivis Muslimah)

wacana-edukasi.com– Genderang perang telah ditabuh. Panggung kontestasi politik mulai memanas. Meskipun pemilu presiden dilaksanakan tahun 2024, tetapi di tahun 2022 ini manuver-manuver politik sudah mulai dilancarkan. Salah satunya adalah mulai mencari pasangan kontestasi untuk maju ke perhelatan akbar pemilihan presiden. Seperti yang dilakukan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Dilansir dari kompas.com, sinyal untuk bisa bekerja sama dalam pemilihan presiden 2024 secara terbuka disampaikan oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto saat menerima kunjungan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani pada Minggu (4/9/2022) kemarin. Keduanya bahkan menyatakan akan terus membangun komunikasi politik.

Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa Prabowo telah mengumumkan kesediaannya maju sebagai capres dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Jumat (12/8/2022).

Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro menilai peluang duet antara Prabowo Subianto dan Puan Maharani menjadi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2024 bisa saja terjadi.

Di sisi lain, Pertemuan antara Ketua DPP PDIP Puan Maharani dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada Ahad, 4 September 2022, dinilai bisa mengancam ambisi Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar untuk menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2024. Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro menyatakan bahwa PDIP tak mungkin melepas kursi presiden atau wakil presiden jika mereka jadi bergabung dengan koalisi Gerindra dan PKB. (Tempo.co)

Adapun Gerindra sebelumnya telah resmi membingkai koalisi pra-pilpres bersama dengan PKB dalam wadah Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR). Terbentuknya koalisi KIR dibaca sebagai landasan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin untuk menjadi cawapres mendampingi Prabowo. Sebab, jatah capres sudah menjadi ‘kapling’ Gerindra yang resmi memajukan kembali nama Prabowo. (Tempo.co)

Agung menilai duet nasionalis-religius seperti ini telah terbukti memenangkan Pilpres 2014 dan 2019, ketika Jokowi memilih JK dan Ma’ruf Amin yang keduanya merepresentasikan Islam moderat. Hal ini tidak salah jika kembali diuji dalam Pilpres 2024 melihat situasi politik saat ini tak jauh berbeda, sebagai efek polarisasi dari dua Pilpres sebelumnya. (Tempo.co)

Sungguh miris. Di saat rakyat sedang kelimpungan mengatasi dampak domino kenaikan BBM, para petinggi negara malah sibuk mematut diri mencari pasangan kontestasi. Juga sibuk me-make up diri agar nampak layak kembali mendapat kepercayaan rakyat.

Fakta di atas menunjukkan bahwa kontestasi dalam sistem demokrasi hanya lahirkan pemimpin yang minim empati, begitu sibuk untuk meraih kursi kekuasaan sehingga kewajiban utama yaitu mengurus rakyat sukses terpinggirkan. Dari sini, rakyat harus mulai membuka mata dan pemikiran ketika akan memillih seorang pemimpin, yaitu mesti sosok yang bertanggung-jawab serta amanah dalam meriayah. Sayangnya sosok itu tidak bisa diharapkan ada jika sistem Islam belum diterapkan secara kaffah (menyeluruh). Dalam Islam, seorang pemimpin bukan hanya berkuasa tapi juga menjadi penanggung jawab urusan masyarakat luas. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang harus terus dipegang oleh kaum muslimin, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.”(HR Muslim dan Ahmad).

Maka ketika amanah sudah diembankan, tidak akan ada lagi keraguan dari umat karena yakin bahwa Allah akan senantiasa dihadirkan pada hati para pemimpin, sehingga mereka akan menjalankan semua kewajibannya secara maksimal.

Demokrasi Lahirkan Pemimpin Haus Kekuasaan

Fenomena kontestasi dalam sistem Demokrasi sudah bukan hal yang asing lagi terdengar, bahkan itulah tujuan mereka para perebut kekuasaan yang menghalalkan berbagai cara untuk memikat hati rakyat. Posisi pemimpin rakyat menjadi ajang perlombaan para politikus yang haus kekuasaan, dengan berdalih ingin mensejahterakan rakyat demi mendapat kursi.

Pada faktanya saat ini pemimpin yang lahir dari sistem Demokrasi bukan untuk mengurusi rakyat melainkan justru melahirkan kebijakan yang menzalimi dan mengambil hak rakyat.

Pemilihan umum selalu digadang-gadangkan sebagai kisah sukses praktik demokrasi di Indonesia. Padahal itu merupakan bentuk keserakahan mereka.

Fenomena yang tidak mengherankan lagi di sistem Demokrasi yang dipenuhi lingkaran oligarki membuat para pejabat makin kaya sedangkan rakyat makin melarat.

Seperti yang kita ketahui bahwa Politik Demokrasi hanya berasaskan manfaat dan kepentingan, tidak ada yang benar-benar berjuang untuk rakyat. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu, setelah itu para pemimpin seakan tutup telinga pura-pura tuli.

Pemimpin yang lahir dari sistem Demokrasi mustahil akan menjadi pengayom rakyatnya, justru meninggalkan masalah lama tanpa solusi dan menimbulkan masalah baru. Buktinya saat kondisi ekonomi rakyat sulit, para elit makin gencar menonjolkan ambisinya bertarung di pilpres. Ini adalah bukti betapa kejamnya demokrasi yang menghalalkan segala cara demi kemenangan.

Saatnya Umat Bangkit Melawan Kezaliman

Dalam melawan kemungkaran, dibutuhkan kesadaran memahami politik dengan benar. Munculnya varian politik yang amat kuat pada dasarnya didorong oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan politik umat Islam saat ini. Karena kondisi sedemikian ini, politik kemudian menjadi salah satu tugas penting umat Islam, untuk bisa bangkit dari kemunduran agar terhindar dari komoditas politik pragmatis.

Rasulullah saw. bersabda, “Dengarkan, apa kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku nanti akan ada pemimpin-pemimpin, barangsiapa yang memasuki (berpihak kepada) mereka lalu membenarkan kedustaan mereka serta menolong kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan tidak akan mendatangi telagaku. Barangsiapa tidak memasuki (berpihak kepada) mereka, tidak membantu kezaliman mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka, ia termasuk golonganku, aku termasuk golongannya dan ia akan mendatangi telagaku.” (HR Tirmidzi, al-Nasa’i, dan al-Hakim)

Sangat jelas bahwa umat Islam harus melawan kezaliman dan menegakkan keadilan. Namun semua itu hanya bisa terwujud dengan menegakkan hukum-hukum Allah SWT di muka bumi ini.

Saatnya Umat paham akan pentingnya politik Islam, yaitu politik yang tidak memisahkan antara agama dan urusan kehidupan, riayah su’unil ummat, bahkan politik dalam Islam akan mengurusi seluruh urusan umat tanpa memikirkan kekuasaan, kerena sejatinya kekuasaan hanya milik Allah SWT, dan manusia tidak memiliki kekuasaan sama sekali.

Wallahu a’lam bi shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 20

Comment here