Oleh : Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Meskipun viral perbincangan tentang haji Thoriq dua bulan. Tapi di momen ibadah haji tahun ini bukan hanya itu yang ramai. Melainkan terkait semrawutnya pelayanan ibadah haji mencuri perhatian banyak mata negeri plus enam dua ini. Tentu yang paling merasakan peserta jamaah haji kurang nyaman dalam prosesnya.
Memang betul Indonesia termasuk negara yang memberangkatkan rombongan haji dengan kuota besar dan pemberangkatan haji tahun ini bukanlah yang pertama kali. Tapi kenapa pelayanan yang didapati nampak kurang adanya evaluasi. Jelas ini menjadi PR besar terkait pengurusan ibadah haji yang harus segera dibenahi.
Banyaknya pengaduan dan kecaman dari para jamaah juga Tim Pengawas Haji ditunjukkan pada Kemenag. Melansir CNN Indonesia, kritik dari Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR mengungkapkan kondisi akomodasi para jemaah memprihatinkan khususnya di Mina. Mulai dari tenda jemaah haji Indonesia yang minim kapasitas hingga layanan toilet yang membuat para jamaah antre berjam-jam.
Selayaknya pengaduan yang tiap tahun dikritisi bisa diakomodasi dengan baik. Para jemaah yang bersabar menunggu antrean keberangkatan haji sampai belasan bahkan ada yang puluhan tahun sangat berharap dapat melaksanakan ibadah haji dengan khusyuk mulai dari keberangkatan sampai pelaksanaannya. Namun dengan kejadian yang berulang ini seolah para jemaah harus memaklumi ketika mendapati pelayanan serta akomodasinya semrawut.
Di sisi lain adanya pemberitaan diduga kuota tambahan Haji Reguler dialihkan ke Haji Plus tentunya menimbulkan tanda tanya besar, kenapa bisa demikian? Bagaimana para calon jemaah haji yang mendengar jika kabar ini benar adanya? Masa antri mereka bukanlah sehari, sebulan ataupun setahun, melainkan ada yang sampai belasan tahun.
Untuk pelaksanaan ibadah haji periayahan sudah selayaknya optimal dan komperhensif. Namun, ketika melihat realita penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang memandang semua hal berdasarkan asaz manfaat bahkan tidak menggunakan agama (red:Islam), apakah akan mampu amanah tanpa celah dikomersilkan?
Jelas akan sangat berbahaya jika penyelenggaraan ibadah tak luput dari ajang bisnis kelompok tertentu. Dampaknya sangat jelas yang dirugikan adalah para jemaah haji. Mereka sudah sungguh-sungguh mempersiapkan ibadah haji sejak jauh hari, tapi ada saja oknum yang memanfaatkan hal ini untuk meraup keuntungan.
Adapun usulan untuk membuat pansus kecil kemungkinan kurang optimal menyelesaikan persoalan sebab akar masalahnya itu ada di paradigma pelayanan haji di alam sistem kapitalisme yang memandang segala hal berdasarkan asaz manfaat dan cuan. Bahkan ibadah haji tak luput dari kapitalisasi, hal ini sungguh ironi.
Besar peluang adanya celah memanfaatkan kuota jamaah yang besar ini untuk dimanipulasi dengan cara menjualnya ke keberangkatan tanpa antre di mana keuntungan dari penjualan adalah uang yang nominalnya besar begitu menggiurkan.
Bagi sebagian masyarakat memandang bahwa harus ada pihak eksternal dan tidak terpusat di Kemenag saja untuk mengurus pengelolaan haji. Hal ini dinilai mampu menjadi solusi jika permasalahan tidak terakomodirnya pelaksanaan haji yang terus berulang. Dilansir Siaranindonesia(dot)com, Asosiasi Penyelenggara Haji, Umrah dan Inbound Indonesia (ASPHURINDO) meminta pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama untuk menambah kuota haji bagi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) sebesar 30 persen atau sebesar 33 ribu untuk musim haji tahun 2025 M / 1446H.
Dikatakan oleh Ketua Bidang Haji ASPHURINDO Ali Makki berharap DPR tidak menganaktirikan PIHK. Bagaimanapun, PIHK juga sebagai penyelenggara yang memberangkatkan jamaah haji Indonesia ke Tanah Suci. Maka harapannya, tambahan kuota yang diberikan Kemenag ke PIHK tidak perlu menjadi persoalan apalagi DPR sampai membentuk tim Pansus Haji.
Beliau menyatakan, “DPR juga sebaiknya turun ke travel-travel, biar tahu bagaimana sulitnya penyelenggara, mengurus perizinan, tingginya bank garansi, akreditasi yang melelahkan dan lainnya,” tambahnya.
Namun, apakah solusi dengan membagi tugas periayaan alias pengelolaan ibadah haji dengan pihak di luar pemerintah/negara ke depannya akan mampu menyelesaikan secara tuntas problematika semrawutnya pelayanan? Atau akan hanya menjadi solusi tambal sulam sebab asas hidup hari ini masih berkutat pada mencari keuntungan alias kapitalisme? Bagaimana seharusnya tata kelola haji yang tepat?
Perlunya disadari buah komersialisasi pengurusan sebagai akibat dari penerapan sistem kapitalisme yang masih menghegemoni saat ini menghasilkan penyelenggaraan ibadah haji yang tak luput dari ajang bisnis kelompok tertentu. Maka dampaknya besar kemungkinan para jamaah tidak bisa mendapatkan kenyamanan dalam beribadah di tanah suci menjadi realita pahit yang harus dijalani dan berulang tiap tahunnya.
Jika telah nampak carut marutnya penyelenggaraan haji dengan sistem yang matrealistis, layakkah sistem tata kelola haji hari ini dipertahankan? Adakah sistem alternatif yang mampu menyelesaikan problematika ini secara tuntas?
Politik Islam dan Haji
Islam bukan sekedar agama, tapi juga sebuah sistem yang akan menetapkan negara sebagai rain alias pelayan rakyat, bertugas mengurus rakyat dengan baik sebab pertanggung jawabannya sampai ke akhirat. Sehingga kenyamanan dalam proses menunaikan beribadah haji bukan lagi utopis. Hal ini telah dibuktikan selama Islam tegak sebagai sebuah sistem negara mampu mengoptimalkan pelayanan penyelenggaraan haji dari masa ke masa.
Sebagaimana sejarah pemberangkatan ibadah haji di masa kekhilafahan Utsmani. Dikutip dari tulisan KH. Hafidz Abdurrahman, MA (Khadim Ma’had Syaraful Haramain), Khalifah membentuk Amirul Haj, dan menjadikan haji layaknya Muktamar Islam Akbar (acara besar). Khalifah sebagai pemimpin negara betul-betul mempersiapkan keberangkatan para calon jamaah haji dengan kemudahan yang diberikan negara pada rakyatnya terkait akomodasi yang terjangkau bahkan tidak diperlukan visa sebab negeri-negeri muslim yang terpecah hari ini, dahulunya menjadi bagian dari wilayah yang masuk Daulah Islam. Semua dimudahkannya termasuk sarana transportasi diberikan tanpa adanya komersilisasi.
Semua kemudahan sebab Ibadah haji yang merupakan bagian dari rukun Islam tentu menjadi prioritas yang akan dijaga pelaksanaannya oleh negara. Maka di sini Politik Islam dan Haji tidak bisa terpisahkan. Negara dengan kepemimpinan sistem Islam mengamanahkan pemimpin tidak hanya mengurusi ekonomi, sosial dan hukum tapi juga termasuk mengakomodir ibadah haji.
Di dalam hadis disebutkan, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)
Khalifah sebagai pemimpin melakukan pelayanan tanpa unsur bisnis ataupun mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua amanah pelayanan terhadap rakyat termasuk pada jamaah haji adalah kewajiban bagi negara.
Amanah menjadi ciri pemimpin dalam Islam, karena dibangun atas kesadaran akan adanya hari penghisaban kelak. Selain itu, Islam juga memiliki mekanisme/ birokrasi yang sederhana dan praktis serta professional sehingga memberi kenyamanan pada rakyat. Maka jelas politik Islam mampu memudahkan pelaksanaan ibadah haji bukan sekedar utopis. Sebab sepanjang sejarahnya Islam sebagai sistem kemajuan teknologi dikerahkan untuk memudahkan umat dalam beribadah.
Jauh berbeda dengan kondisi hari ini di sistem yang tidak Islami alias sekuler-kapitalis seringkali dijumpai penguasa merekap pengusaha begitupun sebaliknya. Hingga akhirnya membuat tugas para pemegang amanah tidak sesuai menjalankan perannya. Juga mengkondisikan umat sibuk mengejar dunia sebab sistem kapitalisme-sekuler mengkondisikan hidup berdasarkan materi bukan keimanan.
Wallahu’alam bishowab.
Views: 5
Comment here