Opini

SKB 3 Menteri atau Al-Qur’an?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anita Rachman (Muslimah Peduli Peradaban)

Belum genap dua tahun masa pemerintahan Jokowi jilid II, telah keluar dua kali Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh instansi terkait. Pertama, diterbitkannya SKB 11 instansi dalam rangka menangkal radikalisme di kalangan ASN (Aparatur Sipil Negara), pada 12 November 2019. Meskipun dari awal bergulirnya narasi radikalisme hingga hari ini, belum jelas juga mengenai apa definisi dan tolok ukurnya.

Yang tertangkap publik, beberapa aktivis dakwah yang mendakwahkan syariat Islam secara kafah atau mengkritisi kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengannya, mendapatkan intervensi, kriminalisasi dan penangkapan. Simbol-simbol Islam seperti cadar dan celana cingkrangpun sempat dipermasalahkan. Seratus lima
puluh lima buku pelajaran agama Islam dirombak karena dinggap mengandung unsur radikalisme. Hingga adanya program penceramah bersertifikat yang menuai kritik dari banyak pihak.

Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, mengkritik surat keputusan bersama (SKB) 11 instansi pemerintah tersebut. Menurut dia, SKB ini merupakan legalisasi untuk menuduh seorang ASN yang kritis sebagai radikal. Haris menduga SKB ini untuk menyasar ASN-ASN yang kritis terhadap kebijakan yang dimanipulasi oleh penguasa. Pasalnya ASN sebagai orang lapangan mengerti tentang kelemahan atau cacat dari kebijakan tersebut (Tempo.co/02/12/2019).

Kedua, diterbitkannya SKB 3 Menteri terkait penggunaan seragam dan atributnya di lingkungan sekolah negeri. SKB ini terbit dilatarbelakangi viralnya opini adanya pemaksaan penggunaan jilbab di SMKN 2 Padang kepada siswa nonmuslim. Sementara itu, sumber lain menyebutkan, peraturan jilbab, dalam hal ini didefinisikan sebagai kerudung, di sekolah tersebut sudah diberlakukan sejak lama, tidak pernah bermasalah dan tidak ada pemaksaan seperti yang diberitakan. Bahkan siswa nonmuslimnya mengaku tidak keberatan dengan peraturan tersebut.

Alumnus SMKN 2 menilai, selama sekolah guru selalu memberi ruang untuk memilih. Siswa non-Muslim tidak dipaksa untuk mengenakan kerudung selama sekolah. Delima sekolah di SMK N 2 Padang sejak 2008 sampai 2011. Selama tiga tahun belajar di sana, Delima melihat tidak pernah ada siswi nonmuslim protes memakai jilbab (wartaekonomi.co.id/24/01/2021).

Beberapa waktu sebelumnya, di daerah Papua, Bali, dan beberapa daerah lain, justru faktanya terjadi pelarangan pemakaian jilbab bagi siswa muslimnya, tetapi tidak ada tindak lanjut yang berarti. Mengapa giliran peraturan mengenakan jilbab menjadi gaduh, hingga harus menerbitkan SKB 3 menteri?

Mengapa penyikapan terhadap simbol-simbol syariat Islam terkesan asing? Perlakuan terhadap orang-orang yang berusaha taat pada syariat dianggap ekstrim, garis keras, radikal. Apakah ini yang dimaksudkan dengan moderasi dalam beragama? Beragama itu biasa-biasa saja? Seperti apakah agama yang biasa-biasa saja tersebut? Apakah kemudian dengan memisahkan agama dari kehidupan secara keseluruhan? Dimana agama hanya boleh mengatur ranah ibadah semata, sementara urusan selain ibadah diatur oleh manusia?

Jika memang demikian, bukankah ini paham sekularisme? Wajar saat kemudian terjadi campur aduk antara yang haq dengan yang batil. Tata cara makan, berpakaian, bergaul, berekonomi, bersosial, berpolitik, termasuk bidang pendidikan, semuanya atas dasar aturan buatan manusia. Standar kebenaran bukan lagi halal-haram, tapi tergantung kepentingan tertentu yang sifatnya duniawi. Termasuk anggapan bahwa berpakaian adalah pilihan, sehingga tidak boleh ada pemaksaan.

Padahal Allah dengan jelas dan tegas menyampaikan, menutup aurat bagi muslimah yang sudah baligh adalah wajib, yang jika ditinggalkan maka berdosa, tidak hanya kepada yang bersangkutan, namun juga orang-orang di sekitarnya. Dan mewajibkan sesuatu yang memang diwajibkan oleh agama adalah bagian dari pendidikan. Menjaganya agar tetap ditaati adalah tanggungjawab bersama, mulai dari keluarga, masyarakat hingga negara.

Keluarga sebagai pondasi pertama dan utama dalam menanamkan ketaatan terhadap hukum-hukum Allah. Masyarakat berperan dalam kontrol sosial, amar makruf nahi munkar. Karena menjadi baik itu tidak bisa sendiri, karena lingkungan berdampak signifikan dalam membentuk perilaku hingga kebiasaan. Negara bertanggungjawab dalam menjaga akidah umat dengan menyediakan lembaga pendidikan berbasis aqidah Islam dan kebijakan yang didasarkan pada Al-Qur’an Quran dan as-sunah, hukum terbaik yang pasti benar, pasti adil.

Manakah kemudian hukum yang akan kita ikuti? SKB 3 Menteri yang memberikan pilihan ataukah Al-Qur’an dan as-sunah yang jelas-jelas mewajibkan? Allah berfirman dalam Surat Al Maidah: 50: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Ini baru masalah berpakaian, bagaimana dengan aspek kehidupan yang lain. Padahal Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah: 208,

”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Sungguh segala sesuatu telah diatur begitu lengkap dan rinci di dalam Islam. Tak hanya tentang berpakaian, tapi juga bagaimana berekonomi, berpolitik bahkan bernegara. Dan janji Allah bagi penduduk negeri yang beriman dan bertaqwa, adalah limpahan keberkahan dari langit dan bumi.

Wallahua’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 4

Comment here