Opini

Moderasi dalam Balutan Liberalisasi Akidah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Isnawati

(Muslimah Penulis Peradaban)

Wacana-edukasi.com — Mentri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta jajarannya melayani seluruh agama bukan hanya Islam. Dia meminta pola pikir tersebut harus dimiliki seluruh jajaran di Kementerian Agama. “Pertama kali saya berada di Kementerian ini, saya telah mengatakan bahwa agama harus menjadi inspirasi. Kementerian yang melayani seluruh agama, bukan Islam saja. Mind set ini harus dimiliki seluruh jajaran Kemenag,” kata Menag saat Rakernas 2021 (Bisnis.com, 5/4/2021).

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga meminta agar setiap kegiatan Kementerian Agama (Kemenag) tidak hanya diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Yaqut ingin agar semua agama yang diakui di Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama untuk memberikan doa.

Moderasi Propaganda para Kapitalis

Moderasi agama menjadi polemik di masyarakat, ada yang pro dan kontra alasan yang tidak setuju merasa kebijakan tersebut tidak masuk akal dan meresahkan hati. Keyakinan adalah sesuatu yang tidak mungkin diubah apalagi dihilangkan salah satunya tentang kemurnian Islam. Moderasi mengarah pada pengakuan terhadap HAM, kesetaraan gender, dan menyetujui ajaran agama lain untuk menjauhkan dari kemurnian ajaran Islam.

Strategi yang digunakan menggunakan tangan-tangan umat Islam sendiri dengan tujuan agar tidak terjadi permusuhan dan kontraproduktif.

Berbagai program dilakukan guna menderaskan Islam moderat seperti, berdoa menurut semua keyakinan, tidak hanya menggunakan salam umat Islam saja dan sebagainya.
Pelaku yang menjajakan Islam moderat adalah para ulama yang diberi mandat sebagai agen moderasi agama.

Penguasa sang pemilik kebijakan memberikan kemudahan-kemudahan dengan melegalisasikan kurikulum pendidikan sebagai fondasi awal. Menggandeng ormas dan LSM semakin memudahkan jalan untuk mensosialisasikan pemikiran Islam moderat menuju moderasi agama.

Moderasi agama merupakan upaya untuk menjauhkan umat Islam dari kesadaran bahwa Islam adalah agama yang memberikan solusi secara tuntas. Moderasi juga sebagai cara mengotak-ngotakkan umat Islam. Berbagai rancangan strategi dimunculkan untuk menghalangi umat Islam dari kesadaran pentingnya peduli pada politik dan bersatu.

Para kapitalis merasa sangat terancam dengan pemahaman umat Islam yang mendalami Islamnya secara radikal dan benar.
Umat Islam digiring untuk menyetujui ajaran Islam moderat dan menolak ajaran Islam kafah dengan menganggap agama hanyalah ibadah ritual, sekadar shalat, puasa, zakat, dan naik haji saja.

Moderasi dipropagandakan sebagai jalan tengah yang menjunjung toleransi, padahal tujuannya liberalisasi akidah.

Akidah yang diliberalisasikan tentu akan melegalkan kemaksiatan, membebaskan eksploitasi kekayaan alam milik rakyat. Kapitalis oligarki dalam negeri menjadi perantara agar asing bisa menguasai Indonesia atas nama investasi.

Para kapitalis asing pun semakin kuat hegemoninya dengan sumber daya alam yang sudah mereka kuasai beserta kebijakan hukum yang selalu melindunginya.

Moderasi dalam balutan liberalisasi akidah adalah agenda global yang tidak disadari banyak umat.
Umat yang sudah lelah merasakan kesengsaraan hidup memilih diam dan tidak peduli dengan kekarut-marutan pengaturan negara ini. Utang yang menumpuk, bencana di mana-mana, Covid-19 yang tak kunjung tuntas, tidak disadari akibat keberkahan dalam bernegara yang sudah hilang karena dicampakkannya akidah dan syariat Islam.

Islam Mengakui Pluralitas bukan Pluralisme

Liberalisasi akidah hanya bisa dihilangkan dengan menyampaikan kemurnian Islam secara terus menerus, meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dengan landasan Al-Qur’an dan Hadis, ijma’, dan qiyas.

Kerusakan dan kesalahan dari pemikiran Islam moderat harus ditunjukkan secara gamblang. Islam memang mengakui keanekaragaman tetapi bukan semua keanekaragaman itu benar yang harus disatukan dan diikuti apalagi masalah akidah dan ibadah.

Keragaman bukanlah hal yang baru dan pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat. Di Kota Yatsrib terdapat dua kabilah besar yang saling bertikai ratusan tahun lamanya, kabilah Aus dengan sekutu Yahudi bani Quraizhah dan kabilah Khazraj dengan sekutu Yahudi bani Nadhir. Akibat perseteruan dua kelompok suku di Yatsrib itu, setidaknya telah terjadi empat perang besar, yaitu Perang Sumir, Perang Ka’b, Perang Hathib, dan Perang Bu’ats.

Ratusan korban sudah berjatuhan dari kedua belah pihak. Rasulullah berhasil menyatukan kedua kabilah tersebut dengan akidah dan hukum-hukum Islam secara sempurna dan adil.

Pada tahun 622 Masehi atau tahun pertama hijriah, Nabi Muhammad SAW membuat perjanjian dengan berbagai kalangan yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama di Yatsrib, yang dikenal dengan sebutan Piagam Madinah.

Penerapannya meliputi semua aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan saling menghormati dan toleransi. Tidak dengan memoderatkan keyakinan agama lain, menjunjung keyakinan yang satu memfobiakan ajaran agama yang lain.

Ketenangan, toleransi, saling menghargai tidak akan pernah terwujud dalam moderasi yang dibalut tujuan meliberalisasikan akidah, kerukunan antar umat beragama hanya terwujud dalam negara yang menerapkan Islam secara kafah.

“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42).

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 3

Comment here