Opini

Menyoal Moderasi Agama, Haruskah?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Emmy Emmalya (Pegiat Literasi)

Sepanjang sejarah peradaban Islam akan ditemukan berbagai kondisi yang membuktikan adanya konsep toleransi

Wacana-edukasi.comSaat ini pemerintah melalui kementerian agama sedang menggodok moderasi beragama untuk menangkal paham ekstremisme di semua lini masyarakat.
Ini berdasarkan pada RAN PE Soal Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang pencegahan ekstremisme.

Pemerintah mengambil langkah ini karena memandang banyaknya faham ekstremisme yang berkembang di masyarakat, sehingga menurut pemerintah inilah penyebab banyaknya konflik yang terjadi di masyarakat.

Sebagaimana disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam ceramahnya kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62, Kamis (18/03). Terkait moderasi agama ini.

Dalam kesempatan tersebut, Yaqut menyampaikan materi. “Meningkatkan Toleransi Masyarakat Dalam Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa di Era New Normal.”

Menurut Yaqut, Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama. Berdasarkan fakta tersebut, Yaqut menegaskan bahwa semua pemeluk agama berhak memeluk agama yang dianutnya dan berpandangan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang benar dan baik.

Namun, di sisi lain setiap pemeluk agama juga harus menghargai hak pemeluk agama lain yang juga berpandangan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang benar dan baik (Lemhanas.go.id.18/03/21).

Wacana ini juga sebagai tindak lanjut dari pidato presiden Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Tahun 2020 dalam Forum Kerukunan Umat Beragama. Dalam forum itu, Jokowi menilai moderasi dalam beragama merupakan pilihan yang tepat di tengah tantangan ekstremisme yang kini menjamur di belahan dunia (Kumparan.news, 3/10/20).

Namun, benarkah dengan moderasi agama, kerukunan agama akan terjalin dan konflilk sara bisa diredam?

Jika melihat dari definisi moderasi agama yang disampaikan oleh Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum (Ketua Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI), yang mendefinisikan moderat sebagai sebuah kata sifat, turunan dari kata moderation, yang berarti tidak berlebihan.

Lalu lanjutnya, ketika kata moderasi dikaitkan dengan kata beragama, menjadi moderasi beragama yang berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, menjauhi keekstreman dalam cara bersikap, berpandangan, dan praktik beragama.

Menurutnya, tidak ekstrem merupakan salah satu poin paling penting dalam moderasi beragama, karena ekstremitas dalam berbagai hal, diyakini bertentangan dengan esensi ajaran agama dan cenderung merusak tatanan kehidupan, baik dalam kehidupan bernegara maupun beragama. ( Sumber : kemenag.go.id ).

Demikian definisi moderasi agama menurut penguasa saat ini. Dengan definisi demikian, timbul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan mengamalkan agama bersifat tidak ekstrem alias sedang saja?

Apakah seseorang yang melaksanakan perintah agamanya secara utuh disebut sebagai orang yang intoleran dan ekstrem?

Misalnya ketika seorang muslim melaksanakan ajarannya agar meninggalkan budaya syirik dalam beribadah dengan tidak melakukan ritual-ritual yang mengandung syirik lalu itu disebut intoleran dan ekstrem?
Padahal budaya-budaya lokal di negeri ini syarat dengan ritual-ritual syirik yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Apakah untuk menilai seseorang itu intoleran dan estrem harus bersandarkan pada apa yang telah ditetapkan oleh orang yang berkuasa saat ini?

Bukankah bagi seorang muslim yang harus dijadikan sebagai sandaran dalam melaksanakan seluruh perbuatannya adalah Al-Qur’an dan as-sunah?

Lalu di mana letak intoleran dan ekstremisnya? Bentuk toleransi seperti apa yang dihendaki oleh penentu kebijakan saat ini? Bukankah umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini sudah begitu tolerannya terhadap agama yang lain.

Andai saja umat Islam di Indonesia intoleran mungkin sudah sejak dahulu candi-candi dan gereja-gereja peninggalan penjajah belanda itu sudah musnah di negeri ini.

Kalau mau berbicara jujur, tidak ada ajaran agama mana pun yang mengajarkan pada kebenciaan kepada manusia lain atas dasar agama. Sebab hakikatnya pemicu terjadinya konflik agama itu disebabkan adanya kepentingan politik untuk melanggengkan sebuah kekuasaan.

Narasi-narasi intoleransi digaungkan hanya untuk kepentingan para korporat semata karena mereka ingin membendung kebangkitan umat Islam yang merindukan penerapan syariat dalam sebuah institusi negara.

Sebab, jika Islam diterapkan maka tak ada tempat lagi bagi para kapitalis untuk mengeksploitasi kekayaan alam di negeri-negeri kaum muslim.

Maka, untuk mencapai tujuan tersebut, pihak yang menginginkan agar kekuasaannya tetap bertahan akan melakukan segala cara.

Sebagai buktinya sekarang muncul lagi isu sara yang dikaitkan dengan sebuah kartun animasi Nusa dan Rara yang akan go internasional.

Kartun itu dianggap tidak melambangkan budaya lokal tapi membawa budaya Arab. Anehnya lagi yang melontarkan kata-kata itu mengaku sebagai seorang muslim. Di mana posisi keimanannya hingga bisa mengucapkan hujatan itu?
Lalu budaya lokal mana yang dimaksud?

Apakah budaya animisme atau budaya nenek moyang yang tidak mengenal kemajuan zaman? Apakah di zaman yang katanya serba digital ini kita harus berperilaku lagi seperti zaman dahulu kala?

Bukankah mayoritas negeri Indonesia adalah muslim, lalu apakah salah apabila seorang muslim menampakkan identitasnya sebagai muslim?

Mengapa seorang muslim yang mau mensyiarkan agamanya malah dikatakan tidak menghormati budaya lokal, Intoleran dan ekstremis.

Kalaulah mau merunut sejarah di berbagai fasenya maka niscaya akan mendapati konsep toleransi Islam mengungguli semua konsep serta ajaran yang diusung masyarakat Barat belakangan ini; salah satunya konsep demokrasi, kebebasan dan kesetaraan.

Bahkan Nabi Muhammad SAW senantiasa menunjukkan sikap yang tegas dan keras dalam masalah toleransi ini, suatu sikap yang belum bisa dimiliki atau ditanamkan oleh negara modern sekalipun ke dalam jiwa warga negaranya ketika menyikapi komunitas yang berbeda-beda.

Rasulullah SAW menegaskan: “Siapa saja yang menyakiti seorang dzimmi (non-muslim yang tinggal di negara Islam), maka aku akan menjadi musuhnya.”

Berkaitan dengan agama di luar Islam, keadaan mereka di dalam negara Islam pun diperlakukan sesuai dengan prinsip dan ajaran Islam yang toleran. Selama masa pemerintahan Islam, hak-hak non muslim berada dalam jaminan negara Islam.

Sebagai contoh, banyak orang Yahudi yang diberikan posisi tinggi di berbagai bidang. Bahkan ada yang berhasil menduduki jabatan kementerian di Andalusia.

Sebagaimana yang disampaikan oleh seorang tokoh sejarawan Yahudi yang objektif ( Ensiklopedi Yahudi, karya Dr. Thariqas-Suwaidan, hal. 23).

Padahal dalam sejarah, kaum Yahudi tidak diterima dibelahan bumi mana pun tetapi negara Islam menerima mereka dan memperlakukan mereka layaknya warga negara Islam yang lain.

Oleh karena itu, sepanjang sejarah peradaban Islam akan ditemukan berbagai kondisi yang membuktikan adanya konsep toleransi tersebut. Fakta ini tidak akan ditentang oleh siapa pun yang mau bersikap objektif dan menggunakan akal sehatnya.

Dengan konsep Islam yang sedemikian agungnya, untuk apa menyerukan moderasi agama yang menyasar semua komponen masyarakat yang notabenenya mayoritas beragama Islam?

Sejarah yang disampaikan di atas sudah menjadi bukti bahwa Islam agama yang sangat toleran terhadap agama lain.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 25

Comment here