Oleh : Ummu Rifazi, M.Si.
Wacana-edukasi.com, OPINI— Suatu hari Khalifah Umar bin Abdul Aziz bertemu dengan seseorang yang sedang mabuk dan berniat memberinya hukuman dera (pukulan). Namun ternyata orang mabuk tersebut memaki sang khalifah sehingga Beliau mengurungkan niatnya dan meninggalkannya. Ketika ditanya perihal hal ini, Beliau menjawab : “Karena ia menjengkelkanku. Maka ketika aku menghukumnya, mungkin karena kemarahanku padanya, bukan karena dia melanggar hukum Allah. Dan aku tidak suka memukul seseorang hanya karena membela diriku sendiri”.
Sepenggal kisah tersebut memberikan satu tuntunan pembelajaran pada umat manusia bahwa pengendalian diri sangat penting ketika hendak memberikan hukuman fisik dengan tujuan mengedukasi. Kemarahan yang menyertai hukuman fisik seperti pukulan sangat mungkin menjadikan pukulan tersebut tak terkendali dan mengakibatkan keburukan.
Ironinya, masalah pengendalian diri dalam dunia pendidikan saat ini sudah dalam kondisi yang memprihatinkan. Semakin sering diberitakan penganiayaan yang dialami baik oleh guru maupun murid. Salah satunya adalah pemukulan oleh seorang guru di sebuah SMP swasta di Bogor yang mengakibatkan muridnya tersebut mengalami luka lebam di matanya dan sempat pingsan. Sang guru mendapati muridnya yang seorang ketua kelas tersebut mengobrol saat sedang berada di majelis. Sang guru lantas memukul muridnya lantaran perbuatan tersebut dianggap tidak patut dilakukan seorang ketua kelas (megapolitan.kompas.com, 30-10-2024).
Sistem Tak Beradab, Mengikis Habis Adab
Ada kesamaan dalam peristiwa yang terjadi di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan di SMP swasta di Bogor, yaitu terdapat kesalahan yang memicu kemarahan. Mabuk tidak hanya kesalahan namun jelas suatu kemaksiatan menurut syariat Islam. Mengobrol dalam majelis pun merupakan kesalahan karena melanggar adab menghormati guru dan majelis.
Perbedaannya adalah penetapan hukuman dan sistem kehidupan dimana penetapan hukuman tersebut dilakukan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menetapkan hukuman yang sesuai dengan ajaran Islam, karena kehidupan saat itu diatur dengan Syariat Islam. Beliau mampu mengendalikan dirinya untuk tidak menetapkan sanksi di kala marah untuk mematuhi perintah Allah : walaaka dziminal ghaidha (dan mereka yang dapat menahan marah). Sehingga sikap bijak Beliau pun menjadi keteladanan cara mendidik yang baik bagi masyarakatnya.
Sementara dalam peristiwa yang terjadi di SMP swasta di Bogor tersebut menunjukkan minimnya pemahaman guru dan murid tentang adab belajar mengajar. Sang guru tidak memahami adab menghukum menurut Syariat Islam. Sang murid pun tidak memahami adab bermajelis yang baik menurut Syariat Islam. Yang sangat memprihatinkan, kekerasan semacam ini tak hanya merupakan kasus di SMP swasta Bogor ini saja. Kekerasan ini sudah terjadi secara sistemik dengan semakin banyaknya pemberitaan serupa di sekolah maupun lembaga pendidikan lainnya.
Semakin hari kehidupan yang diatur dengan Sistem Sekuler Kapitalis Liberalis ini hanya melahirkan kezaliman yang semakin menjadi-jadi dalam semua aspek kehidupan. Dunia pendidikan yang merupakan kunci terwujudnya peradaban yang menjaga bumi Allah dengan syariatNya, realitasnya melahirkan insan pendidik dan murid yang hanya berorientasi pada capaian akademis yang minim ilmu agama. Ilmu tanpa adab Ilahi telah melahirkan manusia-manusia yang akhirnya bukan menjadi pemakmur bumi Allah melainkan menjadi perusak alam semesta ini. Kehidupan ini akan hancur dalam kenistaan jika sistem kehidupan batil ini terus kita pertahankan.
Sistem Islam, Menjaga Keberlangsungan Adab
Sistem Sekuler Kapitalis Liberalis telah nyata melahirkan peradaban rapuh dan rusak. Sebaliknya sistem kehidupan yang diatur dengan Syariat Islam secara kaffah tercatat dalam tinta emas sejarah telah melahirkan peradaban cemerlang yang mampu memakmurkan bumi Allah selama 1300 tahun lamanya.
Syariat Islam yang kamilan telah menuntun manusia untuk memperbaiki suatu kesalahan dengan ma’ruf sehingga berefek jera namun tidak menimbulkan dampak buruk. Sanksi memukul anak dalam paradigma Islam adalah ungkapan kasih sayag, bukan ekspresi kemarahan. Oleh karenanya hukuman pukulan diatur dengan sangat ketat dan rinci agar tidak terjadi kezaliman dalam penerapannya.
Pertama bahwa pukulan merupakan alternatif terakhir sanksi fisik yang dapat dilakukan ketika cara pertama, kedua, dan seterusnya yang halus tidak memberikan efek perubahan dan perbaikan. Dan ketika hukuman pukulan ini terpaksa ditempuh, sanksi fisik semacam ini tidak boleh sering dilakukan karena dapat menyebabkan anak menjadi stress dan trauma.
Kedua, pukulan yang dibolehkan dalam Syariat Islam adalah jenis yang ringan dan tidak melukai. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam “ Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad, 1: 313 no. 2867 dan Ibnu Majah no. 2431). Pukulan ringan ini harus bertujuan mendidik dan mendatangkan perbaikan, bukan untuk mencelakakan apalagi merusak.
Ketiga, pukulan tersebut dilakukan di bagian anggota tubuh yang diperbolehkan dalam syariat. Wajah dan kepala tidak boleh dipukul, karena keduanya merupakan bagian tubuh yang terhormat dan banyak organ sensitif yang berada di area wajah. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah menegaskan hal ini “Jika kalian memukul, maka jauhi wajah (kepala).” (HR. Abu Daud no. 4493).
Keempat, jumlah pukulannya tidak boleh berlebihan dan maksimal dilakukan 10 kali. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengingatkan hal ini “Seseorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam masalah had (dosa besar yang sudah ditentukan kadar hukumannya: rajam, penggal, potong tangan).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika sekali dipukul saja sang anak sudah jera, maka pukulannya tidak boleh ditambah. Jika sekali dipukul belum jera dan perlu melakukan pukulan lebih dari sekali (2-10 kali), harus berpindah bagian. Pukulan lebih dari sekali di satu titik dapat membahayakan syaraf. Dan pemberlakuan pukulan pertama dan berikutnya harus diberikan jarak.
Kelima, pukulan tidak boleh dilakukan saat emosi memuncak (marah). Karena ketika pukulan dilakukan dalam keadaan marah, yang terbenak pada sang anak bukanlah efek jera yang mendidik, melainkan dendam yang suatu saat berpotensi dilampiaskan sang anak pada orang lain. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menegaskan hal tersebut “ Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah (dahulu).” (HR. Ahmad, 1: 239).
Figur guru terbaik adalah Kanjeng Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Anas bin Malik melayani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sejak usia 10 tahun. Selama 10 tahun mendampingi Rasulullah, tak sedikitpun perlakuan kasar didapatkannya, baik perkataan buruk apalagi pukulan ketika Anas melakukan kesalahan. Rasulullah senantiasa mengajarinya dengan adab terbaik dan mendoakan yang terbaik untuknya.
Keteladanan dalam konsep pendidikan Islam ini hanya dapat diterapkan dengan sempurna jika negara menerapkan Islam secara kafah dalam Daulah Khilafah Islamiyyah. Maasyaa Allah, Wallahu a’lam bisshowwab.
Views: 27
Comment here