Opini

Kumpul Kebo Berujung Mutilasi, Dampak Liberalisasi

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Iffah Komalasari (Pengajar Tsaqafah Islam Hagia Sophia ILS Sumedang)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Kasus mutilasi sadis di Mojokerto-Surabaya baru-baru ini mengguncang publik. Polisi menemukan puluhan potongan tubuh di Mojokerto, yang setelah diidentifikasi ternyata milik seorang wanita muda. Lebih mengejutkan lagi, ditemukan ratusan potongan bagian tubuh lain di kamar kos Surabaya. Pelaku tidak lain adalah pacar korban sendiri. Alasan pembunuhan tragis ini pun sepele: kesal karena korban menolak membukakan pintu kos dan adanya tuntutan ekonomi (news.detik.com, 8/9/2025).

Kisah ini membuka tabir kelam tren kehidupan generasi muda: kohabitasi atau living together, tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Fenomena ini kian populer, dengan alasan ingin “mengenal pasangan lebih dalam” sebelum menikah, atau alasan praktis seperti efisiensi biaya hidup.

Psikolog bahkan mencoba menormalisasi praktik ini, dengan memberi “tips aman” sebelum kohabitasi, mulai dari kesepakatan kedua pihak, pembagian biaya hidup, hingga menentukan batasan (validnews.id, 13/9/2025).

Padahal, realitasnya kohabitasi justru membuka pintu kerusakan, di antaranya pertengkaran, kekerasan, perselingkuhan, hingga berujung pada tragedi pembunuhan.

Fenomena ini jelas merupakan buah dari liberalisasi pergaulan dalam masyarakat sekuler-liberal saat ini. Aktivitas pacaran, seks bebas, hingga tinggal serumah tanpa ikatan sah dianggap lumrah.

Sekularisme Menjadi Akar Masalah

Merunut fakta di atas, akar masalah dari kasus mengenaskan tersebut bukanlah sebatas emosi yang bergejolak, namun ada akar permasalahan yang harus dipahami. Di antaranya:

Pertama, agama dipisahkan dari kehidupan

Sekularisme telah menjauhkan manusia dari panduan agama dalam mengatur kehidupannya. Dalam sistem ini, halal-haram dipandang tidak relevan, yang penting adalah “hak pribadi”. Ketika cinta, marah atau hasrat menguasai, seseorang bebas melampiaskannya tanpa batas. Maka tidak heran, pergaulan bebas melahirkan masalah besar, termasuk tindak kriminal tragis seperti mutilasi.

Padahal Allah SWT telah memperingatkan hamba-hambaNya agar tidak sekali-kali mendekati zina. Sebab, zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan akan menyeret manusia pada jalan yang buruk serta merusak kehidupan (QS Al-Isra: 32). Namun dalam sistem sekuler-liberal, peringatan Allah diabaikan. Pacaran, kohabitasi, dan zina justru dipromosikan lewat film, drama, bahkan iklan.

Kedua, normalisasi kumpul kebo dan pacaran

Di masyarakat sekuler-liberal, pacaran bukan lagi hal tabu. Tinggal serumah, berbagi biaya kos, bahkan mengurus rumah tangga bersama tanpa ikatan halal, dipandang “modern” dan “praktis”. Media, psikolog, dan lembaga pendidikan turut menormalisasi pola ini, sehingga generasi muda kian terseret arus.

Padahal, Rasulullah ﷺ menegaskan: “Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang perempuan kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. Tirmidzi)

Fenomena kohabitasi jelas membuka pintu dosa dan kriminalitas, sebab hubungan yang dibangun tanpa ikatan sah rawan konflik, pengkhianatan, dan kekerasan.

Ketiga, negara lepas tangan. Sistem hukum yang ada tidak menjerat pacaran atau kohabitasi sebagai tindak pidana. Selama tidak ada korban, negara menganggapnya “urusan pribadi”. Inilah buah dari liberalisasi hukum, yakni negara abai membina rakyat dengan pemahaman benar. Bahkan memberikan ruang legal bagi perzinaan. Akibatnya, masyarakat dibiarkan larut dalam kerusakan moral.

Islam sebagai Perisai Pergaulan

Fenomena kohabitasi dan tragedi mutilasi adalah alarm keras bahwa pergaulan bebas membawa bencana. Islam menawarkan solusi menyeluruh, bukan sekadar tambal sulam. Dalam hal ini, ada tiga faktor yang menjadi perhatian dalam syariat Islam, yaitu:

Pertama, faktor individu yang harus menjadikan takwa sebagai benteng utama. Kesadaran iman adalah benteng awal. Seorang muslim yang memahami tujuan hidupnya akan menjauhi hal-hal yang diharamkan, termasuk pacaran dan kohabitasi. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia berdua-duaan dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya, karena setan menjadi yang ketiganya.” (HR. Ahmad). Dengan ketakwaan, individu mampu menahan diri dari dorongan hawa nafsu.

Kedua, masyarakat menjadi kontrol sosial dan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat harus berperan aktif mengingatkan dan mencegah kemungkaran. Normalisasi kumpul kebo harus dilawan dengan dakwah dan edukasi. Budaya amar makruf nahi mungkar menjadi benteng sosial agar perzinaan tidak berkembang.

Rasulullah ﷺ telah mengajarkan bahwa ketika seorang muslim melihat kemungkaran, ia wajib berusaha mencegahnya. Cara paling utama adalah dengan tindakan nyata menggunakan kekuatannya. Jika tidak mampu, maka ia bisa menegurnya dengan lisan. Namun bila itu pun tak sanggup dilakukan, setidaknya hatinya harus menolak dan membenci kemungkaran tersebut. Itulah tanda iman yang paling lemah (HR. Muslim).

Ketiga, negara harus menerapkan sistem Islam secara kaffah. Negara adalah pihak utama yang bertanggung jawab membentuk rakyat berkepribadian Islam. Dalam sistem Islam, negara akan melaksanakan beberapa hal yakni:

Menyusun sistem pendidikan berbasis akidah Islam, menanamkan pemahaman bahwa zina dan kohabitasi adalah dosa besar. Menerapkan sistem pergaulan Islam, membatasi interaksi lawan jenis pada koridor syariat. Menegakkan sistem sanksi Islam bagi pelaku jarimah (melanggar syariat), agar masyarakat terlindungi dari perzinaan, kekerasan, hingga pembunuhan. Dengan penerapan Islam kaffah, negara tidak hanya melarang, tetapi juga menyediakan jalan hidup yang suci dan terhormat.

Penutup

Kasus mutilasi di Mojokerto-Surabaya adalah potret tragis dari liberalisasi pergaulan. Fenomena kohabitasi yang dianggap “modern” justru membuka jalan bagi dosa dan kejahatan. Akar masalahnya adalah sekularisme yang menyingkirkan Islam dari kehidupan.

Hanya dengan kembali pada Islam kaffah, individu akan terlindungi oleh iman, masyarakat kuat dengan amar makruf nahi mungkar, dan negara berfungsi sebagai perisai umat. Inilah satu-satunya jalan agar generasi muda tidak lagi menjadi korban gaya hidup bebas yang menjerumuskan pada tragedi kemanusiaan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 18

Comment here