Cerbung

The Best

blank
Bagikan di media sosialmu

Bagian 2

Oleh: Azizah S.Pd.I.

Matahari semakin meninggi. Udara mulai terasa panas. Beruntung Cafe Salero di setting sangat nyaman. Sehingga udara bebas keluar masuk meski tanpa ventilasi.

Nasywa mulai memelototi layar laptopnya. Bibirnya komat-kamit meluncurkan kalimat-kalimat indah tentang ekonomi syariah.

“Jadi aksi kami tadi sudah benar, kan, Mba Nasywa? Kami ingin tidak ada lagi perempuan yang tercekik lehernya karena ulah para rentenir.”

“Betul Bu Yatie dan ibu-ibu lainnya. Panjenengan adalah perempuan hebat yang sudah berani berbuat untuk umat. Semoga kebaikan panjenengan mendapat ganjaran dari Allah Swt.”

“Aaamiin ….”

“Tapi masalahnya yang terjerat rentenir itu ndak cuman satu dua orang, kan, Mba? Lha, niku pripun cara menyelesaikannya?”

Bu Nastiti yang terkenal hati-hati, bertanya dengan sangat jeli.

Pertanyaan kritis Bu Nastiti benar-benar nendang dan berisi. Inilah yang dinantikan Nasywa. Karena dengannya Nasywa bisa mengukur apakah materinya sudah mencapai target atau baru sampai di permukaan.

“Alhamdulillah saya bersyukur ada yang bertanya seperti ini. Sebab kita tidak bisa menutup mata bahwa persoalan riba yang dijalankan para tengkulak ini sudah merajalela. Jika hanya mengandalkan pergerakan individu, komunitas, atau kelompok masyarakat kecil seperti kita untuk menyelesaikannya jelas mustahil. Berapa sih, tenaga kita? Berapa anggaran yang kita punya? Pasti tak mencukupi kan? Belum lagi kita juga punya kebutuhan pribadi. Enggeh nopo mboten? Jadi di sini kita butuh sekali peran negara ya ibu-ibu. Negara harus ikut campur mengentaskan umat ini dari jebakan ekonomi ribawi. Pripun, nopo ibu-ibu setuju dengan jawaban saya ?

“Inggih … inggih, mba Nasywa leres. Kami setuju sekali. Memang kita harus action berantas kemaksiatan. Tapi peran kita ndak ada artinya tanpa uluran tangan negara. Kalau dalam Islam negara itu kan perisai. Betul kan ibu-ibu? Jadi tugasnya, ya, membentengi kita dari segala marabahaya.”

“Lagi pula saya ini juga lagi persiapan ngunduh mantu. Butuh duit juga itu. Lha, gimana wong Mba Rahayunya sudah ready, kok.”

Bu Astuti menyenggol tangan mbak Rahayu. Tingkahnya mengundang tawa.

“Wah … Bu Astuti, kok, jadi menggoda mbak Rahayu terus. Lha giliran saya, kapan? Godain kita dong Bu ….”

Maryati yang sedari awal hanya diam menyimak, ikut kepincut dalam lawakan ala Bu Astuti. Majelis jadi hangat dan semarak.

“Wah, saya ndak perlu menghadirkan Tukul Arwana untuk menghibur para emak sosialita ya, Bu. He he he …,” Nasywa menimpali.

Sambil menunggu suasana kembali normal, Mbak Rahayu menyuguhkan menu andalan di meja bundar. Ayam kriuk dan sate usus goreng lengkap dengan nasi putih dan lalapan sambal kemangi.

“Hmm … ini harus dicicipi ya ibu-ibu. Menu spesial dari anak mantu,” ucap Bu Astuti kepedean. Tapi ulahnya ditelan mentah-mentah oleh emak sosialita lainnya Tampaknya mereka juga ‘ngiler’ tak tahan berlama-lama menghirup aroma makanan Mbak Rahayu yang mengundang selera.

Tak butuh waktu lama, aroma hidangan segera lenyap di bawa angin. Berganti suara cetar Maryati mengeluarkan jurus pantunnya untuk menggugah emak-emak yang asyik ngrumpi.

Emak Yatie duduk santai di atas kursi
Otak atik laptop ketik bahan skripsi
Emak sosialita perutnya sudah terisi
Masih sanggup lanjut ke sesi diskusi, Mak?

“Siap … ready …,”jawab mereka kompak.

Tapi, mendadak Rahayu berlari dari arah dapur cafe. Terengah-engah menuju tempat duduk Nasywa.

“Mba … Mba Nasy … wa bentar Mbak. Jangan mulai dulu, saya mau tanya boleh?” bisik mba Rahayu.

“Walahhh … ya, ga usah bisik-bisik tetangga to mba Ra. Ayo ngomong saja yang keras.” Bu Cindy bantu jawab.

“Ibu-ibu disimak ya. Ini lho, mbak Rahayu yang cantik dan imut mau bertanya, kata Bu Cindy melanjutkan.”

“Inggih Buu. Begini Mbak Nasywa. Sekarang kan, lagi rame soal transaksi dinar dan dirham di pasar muamalah. Lha itu gimana? Saya pengen tahu sejarah mata uang dinar dirham kuwi mbak. Jelek-jelek begini, kan, saya pengusaha. Jadi biar agak up to date gitulah.”

“Wah, Mbak Rahayu keren ini. To the point, ya, Mbak karena waktunya udah tinggal dikit je. Jadi soal mata uang dinar dan dirham sebenarnya sudah lama dikenal umat Islam. Bahkan kedua logam mulia ini dipilih sebagai mata uang khas kita. Lha, Rasulullah saw. dan para sahabat dulu juga ndak mencetak mata uang jenis lain, ya, hanya memakai Dinar Bizantium (Romawi) dan Dirham Persia saja untuk transaksi. Barulah ketika masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (79H) mulai dicetak mata uang tertentu dengan lafaz islami secara khusus,” jelas Nasywa.

“Lha ibu-ibu perlu tahu, kalau sampai abad 20 dunia juga mengikuti kita pakai sistem mata uang ini, lho ibu-ibu. Hebat mboten?”

“Tapi Mbak Nasywa, sekarang kita umat Islam kok, ga pake dinar dan dirham ya, Mbak? Anak saya sih, punya koinnya, tapi, ya, cuman disimpan dan jadi pajangan di rumah,” cetus Bu Silvia.

“Terus yang viral di berita juga katanya, pendiri pasar muamalah siapa to itu? Zaim apa Jaim Saidi gitu ya.

“Halah Mbakyu, mbok jangan ngawur kalau bicara. Pendiri pasar muamalah itu Pak Zaim Saidi namanya. Kalau Jaim aja itu artinya kan, jaga imej. Ha ha,” jelas Bu Astuti asal bunyi.

“Lha, ya, maaf saya lupa. Nah, orang itu katanya ditangkap gara-gara ngajari bertransaksi pakai dinar dan dirham, ya. Piye to? Kok, saya malah bingung.” Bu Endang ikut berkomentar.

“Oh, inggih ibu-ibu. Jadi ceritanya begini, di tahun 1918 negara-negara imperialisme barat mulai melepaskan diri dari sistem dinar dan dirham, lalu menggantinya dengan uang kertas yang dapat ditukar dengan emas. Tapi ndak disangka, setelah pakai fiat money alias sistem uang kertas, di tahun 1929 malah terjadi krisis ekonomi yang mengguncang dunia. Akibatnya, negara-negara kapitalis terpaksa melirik lagi ke uang emas. Karena aslinya mata uang emas dan perak itu banyak kelebihannya, Bu. Bukan saja anti inflasi tapi juga bisa menyetabilkan keuangan, jadi ndak gampang terkena krisis.”

“Tetapi dasarnya wong barat ki ngeyel. Wes angel-angel tuturane. Mereka malah melepas dolar dari keterikatannya dengan sistem mata uang emas dan perak. Dan hal itu diumumkan pada 15 Agustus 1971 oleh Presiden Nixon. Ya sejak keputusan itulah dunia sering mengalami keguncangan alias diterpa krisis ekonomi. Saget dipahami njeh?”

“Baik ibu-ibu majelis ilmu kita cukupkan sekian dulu. Semoga bisa ngumpul lagi minggu depan. Aamiin ….”

Nasywa menutup laptopnya. Sementara jam dinding menunjukkan pukul 14.00 teng.

“Bu Yatie, mbak Rahayu … kami pamit dulu. Sudah hampir sore. Matur nuwun untuk jamuannya yang nikmat,” ucap Nasywa.

“Lho … lho mau ke mana ini mbak -mbak semua? Jangan terburu-buru, ya. Karena saya mau minta izin,” celetuk Bu Cindy.

“Izin menopo Bu? Seperti ada yang penting,” sahut Maryati.

“Izin menculik mbak Nasywa.”

“Ha ha ha … Bu Cindy, kok, melawak di sini, to. Masa menculik orang pakai izin.” Bu Endang menimpali sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Ya pokoknya, mbak-mbak yang lain dan Bu Endang silahkan pulang dulu gak apa-apa. Tapi, khusus mbak Nasywa kita culik dulu.”

“Oalah … monggo silahkan. Tapi, saya sebagai ibu asrama minta agar mbak Nasywa dipulangkan dalam kondisi utuh. Karena ndak ada garansinya, ya, ibu-ibu.”

“Ha ha ha, injeh Bu Endang siap 86!”

Seperti adegan penculikan sesungguhnya, Nasywa di bawa masuk ke dalam Alphard Bu Yatie dengan pengawalan ketat dari Brigade Emak Sosialita.

“Saya mau di bawa kemana, to Bu ?”tanya Nasywa bingung.

“Wes to Mbak Nasywa tenang wae. Dijamin aman kok, he he he,” sahut Bu Astuti meyakinkan.

Setelah beberapa saat berada dalam perjalanan yang menurut Nasywa tidak jelas tujuannya. Akhirnya, dalam kondisi mata tertutup kain hitam Nasywa diturunkan dari mobil. Ia terpaksa mengikuti kemauan para emak sosialita ini tanpa tahu maksudnya. Jantungnya jadi ikut berdebar-debar meski tak kencang. Menunggu apa yang akan diperbuat emak-emak ini kepadanya.

“Alhamdulillah, wes sampai. Sekarang Mbak Nasywa lihat ke depan sana,” pinta Bu Yatie sambil membuka penutup mata Nasywa.

Nasywa terkejut bercampur bingung dengan apa yang dilihatnya. Sebuah show room Honda yang mewah. Kerlap-kerlip lampu terasa menyilaukan saat terkena percikan cahaya kembang api. Matahari seperti dipindahkan ke dalam ruangan karena terangnya, ketika perlahan Nasywa berjalan di atas karpet merah yang digelar bak menyambut seorang bangsawan lalu berhenti tepat di tengah ruangan.

“Cukup Mbak Nasywa. Sekarang silahkan dibuka kain penutupnya,” kata Bu Cindy memberi aba-aba.

Nasywa memaksakan diri agar tetap terlihat tenang. Meski agak kikuk bercampur canggung Nasywa akhirnya bersedia membuka kain penutup dari kotak raksasa di hadapannya. Hampir saja Nasywa memekik, namun berhasil ditahannya, saat melihat All New Honda Scoopy dengan varian warna Prestige White terpampang di depan mata. Belum sempat Nasywa bertanya, Bu Yatie, komandan Brigade Emak Sosialita lebih dulu berkata,

“Ini hadiah dari kami untuk Mbak Nasywa. Terima kasih sudah mencerahkan pikiran dan hati kami. Semoga dengan Scoopy yang baru jangkauan dakwah Mbak Nasywa semakin luas ya Mbak.”

Nasywa seperti tak sanggup menahan berat tubuhnya. Kakinya luruh ke lantai. Tapi, perlahan Nasywa mengubah posisinya, bersujud. Air matanya tak terbendung.

“Terima kasih, ya Allah, atas rezeki yang tak terduga ini,” bisiknya dalam hati.

(Bersambung)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 1

Comment here