Bahasa dan SastraCerbung

Jangan Hina Jilbabku! #4

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ninda Mardiyanti YH

Lagi dan lagi masih diam, Yanti sudah kehabisan cara untuk meluluhkan hati ibunya.

Wacana-edukasi.comTangis Yanti semakin pecah setelah ia menolak kerja di rumah sakit yang menjadi impiannya. Penolakan Yanti memang ada alasan syar’i, sebab ia tidak mau melanggar kewajibannya. Namun, di sisi lain secara tidak langsung Yanti telah menggoreskan hati ibunya, dan membuat ia kecewa kepada Yanti.

Pagi hari di ruang tamu Ibu Yanti tampaknya sedang berbicara dengan adiknya—tante Yanti—yang menjadi sumber informasi. Pembicaraan yang serius sampai terdengar ke kamar Yanti.

[Kakak mah sudah tidak peduli lagi sama Yanti, biarkan saja dia mau melakukan apa]

Sesak dada Yanti setelah mendengar kalimat itu. Ibu yang sangat dia cintai, dia sayangi, dia hormati berubah menjadi tidak peduli. Akibatnya tidak ada komunikasi antar mereka, tidak ada lagi canda dan tawa, dan yang lebih parah tidak ditawari makan selama berhari-hari.

Kebutuhan jasmani memang harus dipenuhi, jika tidak maka akan berisiko mati. Oleh karena itu, setiap pagi selepas mengantarkan adiknya ke sekolah, dia datang ke rumah neneknya untuk makan. Makanan yang masuk ke dalam perutnya harus bisa menahan sampai keesokan harinya, jikapun ada rasa lapar dia menahan dengan minum air.

Setelah kejadian itu semua keluarga langsung mengirim pesan kepada Yanti. Awalnya menanyakan kabar, lalu mereka bertanya alasan menolak kerja di rumah sakit. Berbagai nasihat telah ia terima dan baca, tetapi Yanti tetap dengan pendiriannya dia yakin suatu saat nanti Allah akan memudahkan jalannya. Walaupun demikian Yanti masih sedih melihat sikap ibunya.

Hari Jumat jadwal kajian Yanti bersama Kak Billa. Yanti terbilang anak yang kuat tidak pernah menampakkan raut sedih walaupun sedang dilanda banyak masalah, tetapi kali ini raut wajah Yanti tak bisa menutupi.

“Dik, kamu kenapa?” tanya Kak Billa.

“Kak, aku sudah bikin Ibu kecewa,” jawaban Yanti dengan nada pelan.

“Ada masalah apa lagi, Dik?” tanya lagi Kak Billa.

“Kemarin Tante bilang kalau mau kerja di rumah sakit harus pakai celana, aku tolak Kak karena takut pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Setelah mendengar penolakanku Ibu jadi kecewa, bahkan sekarang sudah tidak lagi peduli, Kak.” Yanti mulai cerita.

Kak Billa memeluk Yanti sambil memberikan nasihat.

“Sabar, Dik. Berbakti kepada orang tua adalah kewajiban setiap anak, tapi bila perintah itu sesuai dengan syariat Islam. Jika orang tua menyuruh untuk maksiat kepada Allah jangan lakukan sebab ada perintah dalam QS. Lukman ayat 15. Dalam ayat itu Allah sendiri yang mengatakan jika mereka memaksa untuk mempersekutukan Allah, maka janganlah mentaati keduanya.”

Lanjut Kak Billa sambil menenangkan Yanti. “Jadi, apa yang kamu putuskan tidak terkategorikan sebagai kedurhakaan kepada Ibu. Ingat ketaatan kepada Allah itulah ketaatan yang mutlak.”

“Tapi aku takut Ibu terus-terusan marah, Kak,” ucap Yanti sambil menangis.

“Jangan khawatir, kamu tau gak? Kakak selalu berpikir lebih baik kita dibenci, dimusuhi, dijauhi tapi kita dibanggakan oleh malaikat karena pilihan kita sesuai dengan syariat. Sekarang tugas kamu tetap berikan yang terbaik, tunjukkan akhlak yang baik, Kakak yakin suatu saat nanti Ibu akan luluh hatinya karena melihat keistikamahan kamu, Dik. Percayalah,” Kak Billa terus menguatkan Yanti.

Kak Billa memang paling bisa mengambil hati Yanti, selalu memberikan nasihat dengan bahasa yang lembut. Kini Yanti merasa jauh lebih tenang setelah bercerita kepada Kak Billa.

Satu minggu kemudian ibu Yanti masih dengan sikap yang sama tidak mau berbicara, tetapi Yanti selalu ingat nasihat dari Kak Billa menunjukkan akhlak yang baik. Setiap hari Yanti selalu mencuci pakaian kotor semuanya, membersihkan rumah sampai rapi, walaupun tidak dipandang oleh ibunya. Setiap hari juga tidak lupa Yanti selalu berdoa supaya dilembutkan hatinya, karena ia yakin dengan kekuatan doa, suatu saat nanti ibunya akan berubah.
Allah memang Maha Mendengar, Allah Maha Membolak-balikan hati manusia, di hari kesepuluh tanpa interaksi tiba-tiba ibu Yanti sedikit berubah.

“Yanti, sana makan dulu,” ucap Ibu.

“Iya, Bu terima kasih, Bu,” jawab Yanti.

Bak orang menemukan uang di saku saat membutuhkan, itulah perasaan Yanti sekarang. Bahagia, sangat bahagia. Seolah percakapan itu hanyalah bayangan dalam mimpi, tetapi itulah kenyataannya. Walaupun masih ada sikap ketus di raut ibunya, tetapi setidaknya Allah telah menjawab sebagian doa Yanti.

Di hari selanjutnya Yanti mencoba bicara untuk meyakinkan kepada ibunya atas penolakan beberapa hari yang lalu. Namun sang ibu enggan mendengarkan justru memalingkan muka yang dilakukan. Hal ini tidak membuat Yanti menjadi mundur justru semakin semangat, hanya saja memang perlu waktu sambil menyiapkan bahasa yang pas supaya tidak terkesan menyakitkan.

Suatu hari Yanti mencoba berusaha bicara lagi dari hati ke hati.

“Bu, maafkan Yanti ya. Yanti tidak bermaksud ingin menyakiti hati Ibu. Yanti menolak karena ada alasannya, Bu,” ucap Yanti memulai pembicaraan.

Lagi dan lagi sang ibu hanya diam membisu, tak ada sepatah kata untuk menjawab maafnya Yanti.

Lanjut Yanti. “Bu, di setiap sujud Ibu, di sepanjang shalat Ibu, Ibu selalu mendoakan supaya putri Ibu menjadi anak yang salihah, ‘kan? Saat ini Yanti sedang berproses untuk mengabulkan doa Ibu.”

Sang ibu masih terdiam, tetapi kali ini sambil meneteskan air matanya.

“Yanti mohon sama Ibu, tolong bantu Yanti, bimbing Yanti, karena salah satu menjadi yang salihah itu adalah menutup aurat secara sempurna. Kewajibannya tertuang dalam QS. Al-Ahzab ayat 59 dan QS. An-Nur ayat 31. Jadi, Yanti mohon dukungan dari Ibu.”

Lagi dan lagi masih diam, Yanti sudah kehabisan cara untuk meluluhkan hati ibunya.

“Ya udah Bu sekali lagi Yanti minta maaf ya. Sekarang Yanti ke kamar dulu, Yanti sayang sama Ibu.” Yanti pamit sambil mencium pipi Ibunya.

Tidak ada keinginan yang lain bagi Yanti, bahkan jika misal dia harus memilih antara barang yang serba baru dan dukungan dari ibunya, dia akan memilih dukungan. Mengapa? Sebab bagi dia dukungan dari ibunya lebih berarti dari pada sekadar barang-barang yang serba baru. Barang itu tidak akan menyelamatkan dia kelak di akhirat. Saat ini dia masih berharap banyak tapi tetap dengan optimisnya suatu saat nanti akan ada keajaiban di balik kesabarannya.

(Bersambung)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 5

Comment here