Opini

Setahun Belajar Daring, Loss Learning Menghantui

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Mahrita Julia Hapsari

wacana-edukasi.com, Belajar dari rumah (BDR), istilah baru dalam dunia pendidikan. Tepatnya sudah setahun insan pendidikan melakoni BDR. Awal pandemi, namanya bukan BDR, tapi SFH (School From Home), menemani WFH (Work From Home) yang diberlakukan pada para pegawai kantor.

Ketidaksiapan di empat komponen pendidikan terlihat selama pamdemi. Komponen pertama adalah guru. Sebagai ujung tombak pendidikan, guru berperan penting dalam penyampaian ilmu dan informasi kepada peserta didik. Guru terbiasa dengan gaya konvensional, mengandalkan retorika bermodal spidol dan papan tulis.

Awal pandemi, guru dipaksa kreatif dengan berbagai perangkat belajar daring. Gagap mulanya, acak adul penampakannya, repot dan rempong dengan coba ini dan itu untuk pembelajaran yang efektif. Semakin lama, guru semakin terampil. Mulai familiar dengan berbagai aplikasi daring. Yang tak mahir membuat video, sekarang malah punya akun youtube sebagai sarana menjelaskan materi pelajaran. Namun kewajiban mendidik menjadi tidak maksimal, karena kurangnya kedekatan yang dibangun lewat dunia maya.
Komponen kedua, siswa. Kaget, sekolah pindah ke rumah. Bingung, memahami berbagai materi pelajaran serasa sendiri, tadinya banyak teman sekelas. Kelas maya interaktif pun terasa berat, rasanya lebih nyaman dan mudah mengerti jika di kelas nyata. Materi dan tugas terkadang ditumpuk, menunggu akhir semester baru dikerjakan, itu pun kalau mood. Terlebih setelah PSB dicabut, lebih seru nongkrong di cafe dibandingkan mengerjakan tugas-tugas.

Komponen ketiga, orang tua. Sebagian besar orang tua menyerahkan urusan pendidikan anaknya pada sekolah. Dan merasa cukup dengan membayar uang SPP anak tanpa mendidiknya lagi di rumah. Saat pandemi, saat anak BDR, orang tua pun syok. Tak punya bekal, tak pernah upgrade ilmu, tiba-tiba dilibatkan dalam pembelajaran anak di rumah. Banyak video viral orang tua yang mengomel bahkan ada yang sampai melakukan kekerasan.

Komponen keempat, negara. Kurikulum darurat segera dikeluarkan pemerintah. Berharap guru bisa berinovasi dengan kurikulum yang ada. Slogan merdeka mengajar semakin digaungkan. Faktanya, guru pontang-panting sendirian. Kuota belajar juga dijamin, tapi gawai dan perangkat lainnya bahkan listrik masih tak merata. Alih-alih membenahi permasalahan belajar daring, Kemendikbud justru sibuk mengurusi seragam siswi berciri agama.
Tak ada kesiapan untuk belajar pada masa pandemi. Mulai dari level negara hingga siswa. Terlihat dari output pendidikan yaitu siswa. Target kurikulum tak tercapai. Tujuan pendidikan pun menjadi kabur.

Pendidikan bertujuan untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa serta mampu menghadapi tantangan hidup. Faktanya, selama pandemi remaja hamil duluan sebelum menikah alias seks bebas meningkat 250 persen.
Pelecehan seksual online juga meningkat. Gawai di tangan remaja 24 jam, yang miskin iman terbujuk rayuan gombal untuk foto bugil dan mengirimkannya ke pacar. Dan terkaget-kaget ketika foto bugilnya beredar luas. Baru merasa menyesal sembari melaporkannya ke pihak yang berwajib. Padahal awalnya melakukannya dengan sukarela.

Sistem pendidikan yang sekuler tak mampu mencegah learning loss selama pandemi. Tidak pandemi pun, potret pendidikan sudah demikian suramnya. Menjauhkan agama dari kehidupan hanya menghasilkan generasi yang split kepribadian dan tak mampu membangun masa depan.

Perlu sistem tanggung yang mencetak generasi unggul dalam kondisi apapun. Itulah sistem pendidikan islam yang terintegrasi dengan sistem kehidupan yang lain dengan pondasi akidah. Sistem pendidikan islam bertujuan melahirkan generasi yang berkepribadian islam, menguasai sains dan teknologi serta tsaqofah islam.

Pondasi aqidah akan menstabilkan jiwa remaja, hingga takkan bersikap loss control meskipun tidak ada yang mengawasi. Rasa tanggung jawab dan sadar posisi diri akan tercermin dari generasi yang dididik dalam naungan sistem Islam.

Takkan ada learning loss dalam sistem pendidikan islam. Semua komponen pendidikan terlibat aktif dalam membentuk generasi unggul. Khususnya negara, memberikan fasilitas pendidikan yang lengkap secara gratis. Bahkan memberikan beasiswa bagi pelajar dan apresiasi tinggi pada pengajar. Orang tua, siswa, dan guru akan tenang menjalankan perannya masing-masing dan berlomba-lomba untuk bermanfaat bagi yang lain.

Wallahu a’lam []

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 7

Comment here