Opini

Refleksi Tragedi Ambruknya Ponpes di Sidoarjo

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Yusma Indah Jayadi (Mahasiswa Pascasarjana IPB)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Kabar duka kembali menyelimuti dunia pendidikan Indonesia. Ambruknya bangunan musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo menelan korban jiwa yang terus bertambah, kini mencapai 63 orang meninggal dunia dan 104 orang selamat (6/10/2025, Detik). Tragedi yang terjadi pada Senin (29/9/2025) saat waktu salat asar itu menjadi salah satu bencana kemanusiaan terbesar tahun ini menurut BNPB. Ratusan santri tertimpa reruntuhan bangunan tempat mereka menuntut ilmu dan menghafal Al-Qur’an. Ironis, di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman spiritual, justru nyawa berguguran karena kelalaian teknis dan struktural.

Kegagalan yang Bukan Sekadar Teknis

Analisis awal menunjukkan bahwa penyebab utama ambruknya bangunan ini adalah struktur konstruksi yang tidak kuat dan lemahnya pengawasan. Banyak pesantren di Indonesia dibangun secara swadaya, mengandalkan dana dari wali santri, donatur, dan masyarakat sekitar. Pembangunan berjalan berdasarkan semangat gotong royong, tetapi sering tanpa pendampingan teknis yang memadai.

Keterbatasan anggaran membuat sebagian pengelola pesantren menekan biaya pembangunan, mengabaikan standar keselamatan bangunan, mulai dari kekuatan fondasi, kualitas bahan, hingga prosedur pemeriksaan akhir. Celakanya, pengawasan pemerintah hampir nihil. Seolah-olah sekolah swasta tidak perlu diawasi. Izin bangunan kadang hanya formalitas, dan banyak pesantren berdiri tanpa audit struktur dari dinas terkait. Akibatnya, keselamatan ribuan santri menjadi taruhan.

Tragedi Sidoarjo bukan kejadian tunggal. Beberapa tahun terakhir, Indonesia mencatat serangkaian kasus serupa: atap madrasah roboh di Sumatera Barat, asrama pesantren terbakar di Kalimantan, hingga ruang belajar runtuh di Lombok. Polanya sama, pembangunan minim perencanaan profesional, lemahnya kontrol negara, dan pembiaran atas fasilitas pendidikan yang rapuh.

Masalah Sistemik: Negara Absen dalam Fasilitas Pendidikan

Fenomena ini menyingkap akar masalah yang lebih dalam: negara belum hadir sepenuhnya dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang aman dan bermutu. Dalam sistem saat ini, tanggung jawab fisik dan finansial banyak diserahkan kepada lembaga swasta dan masyarakat. Semakin sekolah tersebut lepas dari peran negara, dianggap semakin mandiri dan baik. Padahal, konstitusi menegaskan bahwa negara wajib menjamin pendidikan yang layak bagi seluruh warga negara, tak peduli negeri atau swasta, umum atau pesantren.

Jika sistem pengawasan bangunan sekolah negeri saja sering bocor, bagaimana dengan ribuan pesantren yang berdiri di pinggiran kota, pegunungan, atau desa terpencil? Pesantren yang mendidik jutaan santri, justru berperan membantu negara mendidik umat dan membangun karakter bangsa. Namun, mereka sering terabaikan dalam anggaran maupun regulasi.

Padahal, dalam konsep tata kelola Islam, negara adalah penanggung jawab utama atas penyediaan sarana pendidikan yang aman, nyaman, dan bermutu. Dalam sistem ekonomi Islam, pendanaan fasilitas publik seperti pendidikan tidak bergantung pada donasi atau kemandirian lembaga, melainkan dikelola melalui Baitul Mal, lembaga keuangan publik negara yang menghimpun dana dari sumber syar’i seperti zakat, kharaj, jizyah, dan fai’. Dengan sistem itu, fasilitas pendidikan tidak lagi menjadi beban masyarakat, melainkan bagian dari tanggung jawab negara terhadap rakyat.

Membangun dari Puing: Solusi Struktural dan Moral

Duka Sidoarjo seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak. Solusi konkret yang dapat dilakukan. Pertama, pemerintah perlu segera melakukan audit nasional terhadap seluruh bangunan pendidikan, terutama pondok pesantren dan sekolah swasta kecil. Audit ini tidak hanya mencakup izin, tetapi juga kekuatan struktur, jalur evakuasi, dan kesiapan menghadapi bencana.

Kedua, perlu adanya regulasi khusus pembangunan pesantren, yang mensyaratkan keterlibatan insinyur profesional dalam setiap proyek fisik serta membuka akses pembiayaan dari negara. Dana BOS, misalnya, dapat dikembangkan menjadi “BOS Infrastruktur Aman” yang memastikan setiap ruang belajar memenuhi standar kelayakan bangunan publik.

Ketiga, perlu dibangun mekanisme pendampingan teknis antara perguruan tinggi dan pesantren. Fakultas teknik, arsitektur, dan sipil di berbagai universitas bisa dilibatkan dalam proyek sosial membantu desain dan pengawasan bangunan pesantren—mengubah tragedi menjadi momentum kolaborasi akademik dan sosial.

Namun solusi konkret tersebut juga tak dapat berjalan ideal bila sistem saat ini masih sekuler kapitalisme, sistem yang menjunjung tinggi keuntungan materi semata. Berbeda dengan sistem islam yang berfokus pada kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Perlu ada refleksi moral nasional. Tragedi ini bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga cermin abainya nurani sosial terhadap keselamatan generasi muda. Negara harus berhenti membiarkan urusan pendidikan umat bergantung pada donasi tanpa jaminan keselamatan. Negara tidak boleh absen. Pemerintah wajib memastikan setiap ruang pendidikan berdiri di atas fondasi aman, bukan di atas doa dan harapan semata.

Dalam Islam, Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” Maka, keselamatan 63 jiwa santri bukan semata duka keluarga mereka, tapi juga pertanggungjawaban moral dan politik seluruh pemimpin bangsa.

Tragedi Ponpes Sidoarjo bukan hanya kisah pilu tentang ambruknya bangunan, melainkan refleksi atas ambruknya tanggung jawab negara terhadap pendidikan. Bila kita tak belajar dari puing ini, maka dinding-dinding lain akan kembali runtuh, bukan karena rapuhnya semen, melainkan karena lemahnya komitmen.

Wallahu a’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 21

Comment here