Oleh : Mbak Zah (Anggota Ngaji Diksi Aceh)
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Dikutip CNN Indonesia.com (06/09/2024) baru-baru ini empat remaja yang masih duduk di bangku SMP dan SMA melakukan pembunuhan dan pemerkosaan, sementara negara tidak menghukum nya secara tegas, karena mereka masih diusia “anak”. Akhirnya, mereka tidak bisa ditahan, melainkan hanya direhabilitasi, padahal mereka hakikatnya sudah baligh.
Astaghfirullah, inilah efek dari kecanduan pornografi yang ujung-ujungnya merusak diri dan membunuh. Pornografi yang diakses anak mengakibatkan gangguan perkembangan otak, emosi, hingga menurunnya kemampuan bersosialisasi. Anak yang sering melihat konten pornografi akan merusak otak yakni prefrontal cortex yang berperan sebagai pusat kepribadian. Dampaknya, anak sulit membedakan baik dan buruk, sulit mengambil keputusan, kurangnya rasa percaya diri, daya imajinasi menurun, dan kesulitan merencanakan masa depan.
Pornografi juga menyebabkan keburukan lanjutan yang serius yakni rusaknya tatanan sosial. Akibat pornografi, pergaulan bebas merajalela, terjadilah kehamilan yang tidak diinginkan, pernikahan dini, perceraian, hingga aborsi. Selain itu, pornografi juga menjadi pemicu kejahatan pemerkosaan dan pembunuhan sebagaimana yang terjadi pada fakta di atas.
Demikianlah gambaran kerusakan generasi akibat maraknya pornografi. Anak-anak kehilangan masa kecil mereka yang bahagia, bisa bermain dan belajar dengan tenang dan tumbuh sesuai fitrah mereka dalam lingkungan yang baik. Saat ini anak-anak makin terancam dari segala sisi. Media masa didominasi tayangan liberal. Media sosial lebih parah lagi, banyak komunitas yang menjadi tempat tayangan pornografi di dalamnya. Bahkan anak-anak dijadikan konten pornografi, foto dan video mereka juga diperjualbelikan.
Fakta kerusakan generasi akibat maraknya pornografi adalah buah dari buruknya sistem pendidikan kita yang sekuler. Pendidikan kita tidak menunjukkan atau mencetak generasi bertakwa, tetapi demi tujuan materialistis atau dengan kata lain adalah cuan. Akibatnya, lahirlah generasi yang permisif, mereka berperilaku bebas dan serba boleh. Mereka bahkan berani melakukan kejahatan demi memenuhi keinginannya.
Mirisnya lagi, dalam sistem sekuler pelaku kejahatan tidak ditindak karena gagal dalam mendefinisikan kata “anak”, padahal mereka kadangkala sudah baloq. Anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berumur 18 tahun berdasarkan UU Perlindungan Anak.
Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa dijatuhi hukuman yang tegas dan menjerakan, bahkan mereka tidak bisa ditahan, melainkan hanya direhabilitasi. Mandulnya hukum, juga menjadi salah satu penyebab kejahatan “anak” makin marak, anak tidak lagi merasa takut melakukan kejahatan.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam, di dalam sistem Islam (Khilafah), negara berfungsi sebagai junnah (perisai) yang melindungi generasi dari seluruh sisi. Yang pertama, negara Khilafah berasaskan akidah Islam sehingga sistem pendidikannya juga berdasarkan akidah Islam. Penyusunan kurikulum pun bersumber dari Islam sehingga terwujudlah generasi bertakwa. Perilaku mereka berpatokan pada halal haram, bukan kebebasan.
Khilafah akan menerapkan sistem sanksi yang adil dan tegas. Pelaku bisnis pornografi akan dihukum dengan tegas hingga mewujudkan efek jera dan dihukum sesuai ketentuan syariat Islam. Khilafah juga akan mengembalikan definisi anak, yaitu orang yang belum balig.
Dalam Islam, orang-orang yang sudah balig diposisikan sebagai mukalaf, yaitu pihak yang bisa dibebani hukum, termasuk sanksi. Dengan demikian, sebagaimana kasus kejahatan anak yang marak hari ini, jika pelakunya sudah balig, mereka akan dihukum dengan hukuman zina atas kejahatan pemerkosaan, yaitu jilid sebanyak 100 kali karena mereka belum menikah. Beginilah Islam yang sangat menjaga generasi mulia ini. Waallahu’alam
Views: 9
Comment here