Opini

Perempuan, Terorisme dan Moderasi Beragama

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Yusseva (Pemerhati Politik Islam)

Mabes POLRI diserang oleh seorang perempuan berpistol, Zakiah Aini (25), pada Rabu (31/3/2021) sore. Polisi langsung melumpuhkan Zakiah yang mencoba melakukan aksi teror dilansie dari Detik.com.

Penyerangan ini terjadi beberapa hari setelah kejadian bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Penyerangan terhadap Mabes Polri itu terjadi pada Rabu (31/3), pukul 16.30 WIB.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut awalnya Zakiah Aini masuk dari pintu belakang Mabes Polri dan sempat berbincang-bincang terlebih dahulu dengan petugas serta menanyakan lokasi kantor pos.

Setelah itu, Zakiah Aini meninggalkan pos penjaga dan pergi ke arah pos siaga di dekat gerbang utama. Di sanalah terjadi baku tembak antara Zakiah Aini dan petugas hingga akhirnya dia tewas.

Terduga teroris yang tewas ditembak mati di Mabes Polri meninggalkan surat wasiat yang bikin geger dunia maya. Surat wasiat Zakiah Aini berisikan beberapa poin.

Diantaranya meminta maaf kepada orangtua karena belum bisa membalas kebaikan orangtua dan telah memilih jalan kematian yang dianggap oleh Zakiah sebagai jihad. Disamping itu, dia berpesan kepada orangtua dan keluarganya untuk tidak meninggalkan sholat lima waktu. Berhenti berhubungan dengan bank (kartu kredit) karena itu riba dan tidak diberkahi Allah. Berhenti bekerja menjadi dawis (dasa wisma) yang membantu kepentingan pemerintah thagut. Demokrasi, Pancasila, UUD, pemilu berasal dari ajaran kafir yang jelas musyrik dan lain-lain.

Dari isi surat wasiat yang ditinggalkan terduga teroris di mabes POLRI ini ada pesan tersirat yang ingin disampaikan ke publik. Keterlibatan perempuan dalam gerakan terorisme bahwa perempuan semakin punya peran penting dalam gerakan ekstremis dan aksi teror di Indonesia.

Pelibatan Perempuan
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menekankan pentingnya peran perempuan dalam kesuksesan konsep moderasi beragama. Ia menekankan perempuan sebagai aktor signifikan dalam konteks memenangi kontestasi pandangan agama. Ia percaya perempuan mampu menjalankan multi-perannya sebagai pribadi, istri, ibu, dan penggerak masyarakat dalam pelaksanaan moderasi beragama.

Pernyataan itu disampaikannya dalam Webinar Series #ModerasiBeragama bertema “Perempuan Bicara Moderasi Beragama” yang diselenggarakan oleh PPIM UIN Jakarta melalui program CONVEY Indonesia, Jumat (14/8). Alissa pun menekankan konsep moderasi beragama dalam konteks Indonesia.
Untuk menggaet kalangan perempuan dalam isu moderasi beragama, UNWomen—entitas perempuan di PBB—juga memiliki fokus kerja dalam desk Peace and Security.  Secara khusus mereka memiliki program  mencegah ekstremisme dan terorisme (preventing violent extremism/PVE and countering terroris).  Perempuan dianggap Barat menjadi faktor kunci dalam pengambilan keputusan di komunitas mereka dalam mencegah penyebaran ekstremisme.

Pada akhir Januari 2018, sebuah survei nasional tentang Potensi Toleransi Sosial Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim di Indonesia  diluncurkan oleh Wahid Foundation,  UN Women, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI).  Survei yang dilakukan sepanjang 6-27 Oktober 2017 di 34 provinsi  itu ditujukan untuk menilik potensi toleransi, intoleransi dan radikalisme khusus di kalangan perempuan Muslim. Hasilnya, perempuan dianggap lebih toleran daripada laki-laki. Indikator yang digunakan untuk menguatkan simpulan tersebut adalah 80.7 persen responden perempuan memberikan dukungan terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama, sementara laki-laki hanya 77.4 persen.

Rekomendasinya, perempuan bisa dan harus menjadi aktor strategis dalam menguatkan toleransi, sebagai bagian agenda PVE pesanan Barat.  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu meningkatkan upaya-upaya pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di institusi pemerintahan, organisasi keagamaan dan komunitas sosial kemasyarakatan. “Potensi dan kontribusi perempuan dalam perdamaian, sejak dulu, sering diabaikan. Oleh karena itu, sekarang saatnya membuka potensi perempuan sebagai agen perdamaian,” demikian pernyataan Sabine Machl, UN Women Representative.

Menepis Fitnah Keji

Adanya narasi yang menggambarkan bahwa ajaran Islam bisa meradikalisasi atau mengubah perempuan seperti monster yang hilang rasa keibuan adalah fitnah yang sangat keji. Ini tidak sesuai dengan realita ajaran Islam. Bahkan tudingan ini terkesan dipaksakan dan mengada-ngada.

Faktanya, jumlah perempuan yang mereka sebut-sebut terlibat dalam terorisme baik global maupun lokal tak lebih banyak dari kaum Muslimah yang memiliki pemahaman yang lebih jernih tentang Islam.

Lantas, apa yang sesungguhnya mereka inginkan dengan semua fitnah keji yang mereka lontarkan?

Untuk menjawab hal ini, kita tak bisa melepaskan diri dari analisis masalah atas realitas yang terjadi terkait konstelasi politik internasional.

Sebagaimana diketahui, negara-negara kapitalis Barat berkepentingan untuk melanggengkan hegemoninya atas dunia. Salah satunya melalui isu globalisasi nilai-nilai Barat dan semua produk hukum atau sistem hidup Barat di dunia, khususnya di Dunia Islam.

AS getol melakukan banyak hal di Dunia Islam hingga hari ini. Misalnya, agenda perang global melawan terorisme (GWoT). AS juga memicu gelombang infiltrasi pemikiran dan budaya sekular—terutama isu demokratisasi, liberalisasi, ide-ide gender, budaya permissif dan moderasi beragama—di negeri-negeri Islam. Dalam hal ini AS memanfaatkan jasa para antek lokal dari kalangan liberalis sekular.

Mereka berharap Islam makin kehilangan cahaya dan berbau busuk. Mereka pun berharap peradaban Islam makin tak dirindukan dan makin ditakuti oleh anak-anak kaum Muslim sendiri, termasuk kaum perempuan.

Inilah hakikat persoalan yang sedang terjadi di balik isu moderasi beragama. Mereka tak ingin kaum Muslimah—dengan  seluruh peran stategis dan politisnya, baik sebagai istri, ibu maupun sebagai anggota masyarakat—paham tentang tanggung jawab mereka terhadap Islam dan kaum Muslim. Mereka tak ingin jika kaum Muslimah terpapar ide-ide Islam ideologis.

Pasalnya, hal demikian akan membuka wawasan berpikir dan kesadaran mereka tentang hakekat akar permasalahan umat yang kian hari kian jauh dari kemuliaan, kian terhina dan terjajah.

Semua sebagai akibat mereka mencampakkan Islam. Mereka juga tak rela umat Islam, termasuk kaum perempuannya, paham bahwa satu-satunya peta jalan perubahan untuk mengembalikan kemuliaan mereka hanyalah dengan kembali ke pangkuan Islam.

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 34

Comment here