Syiar IslamTabligul Islam

Pengangguran Itu Bernama Ibu

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ira Yuliana, M.Pd.

(Pegiat literasi Batam)

Saat semua diukur dengan pundi uang, maka sering dibilang ibu adalah pengangguran

Wacana-edukasi.comIni sebuah tulisan sebagai bentuk curhat dan juga permohonan maaf buat para ibu. Ya, para ibu yang juga dipanggil ummi, umma, bunda, emak. Sebab memang banyak hal yang baru benar-benar dipahami saat sudah menjalani.

Masa Lapang

Kala itu panas terik, di sela jam istirahat kerja memburu waktu mengejar jadwal kajian. Batam, kota dengan dinamika kerja tinggi, membuat harus pandai-pandai diri untuk mencari kesempatan mengkaji. Hampir dua puluh menit memacu motor, akhirnya sampai di sebuah rumah yang teduh, salam diucap, keluar sosok lengkap dengan dua anak bocil lucunya, beliau biasa aku panggil Mbak”, yang sepekan sekali siap membagi ilmunya.

Duduk menghela napas sambil menyeka keringat, seperti biasa aku ditinggal sejenak untuk diambilkan minum. Mataku menatap sekeliling, bergumam dalam hati, betapa lapang waktu para ibu-ibu ini, seharian di rumah, betapa banyak waktu untuk melakukan berbagai hal, asyiknya seharian bermain dengan anak-anak lucu. Tersentak sadar, sambil senyum getir karena anak-anak lucu itu tanpa disadari membuatku berkhayal enaknya menjadi ibu, maklum, aku masih gadis kala itu.

Ya, begitulah benakku saat itu, tentang lapangnya waktu para ibu. Hingga baru disadari saat menjalani. Menjadi ibu bahkan waktu untuk diri sendiri pun tidak lagi dimiliki. Tak jarang, seharian tidak sempat menatap cermin, bisa mandi dengan tenang saja sudah suatu keajaiban. MasyaAllah! Luar biasanya ternyata menjadi ibu.

Baru menyadari saat ini, masa lapang itu ternyata saat dahulu bisa ke sana kemari, “terbang” dengan motor berkecepatan tinggi, mengejar dari satu agenda ke agenda selanjutnya. Namun, setiba di rumah bisa me time, rebahan, dan tidur tenang hingga lelah pun hilang.

Pernah membaca artikel bijak, menasihati yang jomlo agar tidak ngenes, jadilah berkualitas, memakasimalkan masa lapangnya melahirkan banyak karya untuk umat. Sebab ada masa di mana waktumu “tiada”, bahkan dirimu bukan milikmu lagi, karena semua tersita untuk menjalankan aneka amanah saat bergelar ibu dan istri.

Namun terlepas dari semua gambaran itu, ada yang miris di era kapitalisme. Saat semua diukur dengan pundi uang, maka sering dibilang ibu adalah pengangguran. Perempuan yang tidak menghasilkan, bahkan sampai ada istilah pemberdayaan ekonomi perempuan, bagaimana perempuan itu memiliki daya guna secara ekonomi, alias menghasilkan materi. Fakta pahit ini mau tidak mau juga harus ditelan, pekerjaan ibu terasa lebih melelahkan tetapi di satu sisi dianggap “pengangguran”. Hingga tidak jarang untuk mendapat pengakuan dan eksistensi perempuan tidak mau menjadi ibu rumahan. Lelah kemudian dianggap rendah membuat kaki ringan melangkah mengejar cuan/ keuntungan di luar rumah.

Standar Perbuatan

Kapitalisme adalah sebuah paham yang menafikan keberadaan Tuhan dalam kehidupan. Sehingga sangat wajar ketika menentukan suatu perbuatan baik atau buruk, bermanfaat atau tidak bergantung pada apa yang diperoleh manusia yakni materi. Gersang akan nilai-nilai spiritual, tidak mengenal pahala yang harus dikejar dan diperoleh manusia. Suatu perbuatan yang tidak menghasilkan materi dianggap sia-sia dan tidak produktif. Begitulah kapitalisme yang merusak manusia dan celakanya saat ini kita hidup dalam sistem rusak tersebut di mana agama dinafikan dalam kehidupan. Agama hanya ada di rumah ibadah dan saat beribadah, sementara dalam kehidupan sehari-hari tidak boleh bawa-bawa agama. Termasuk dalam rumah tangga, gersang nilai-nilai spiritual hingga wajar orientasi pernikahan pun berubah menjadi materi. Istri yang pada akhirnya disibukkan dengan berkerja dan mengabaikan tugas utama sebagai ummu warobatul bait. Anak paling tinggi hanya dianggap sebagai aset dunia.

Memilih dan memiliki suami standarnya harta bukan lagi baiknya agama. Maka tampaklah saat ini berbondong-bondong perempuan pergi ke uar rumah, ibu yang menghilang dari rumah, dan anak yang tumbuh sendiri dibentuk oleh lingkungan yang tak selamanya baik. Meski ada sebagian ibu yang ‘keluar’ karena tuntutan ekonomi keluarga.

Berbeda jauh dengan Islam. Islam adalah sebuah ideologi, yakni agama yang meyakini keberadaan Allah SWT sebagai Al-Khalik (pencipta) dan Al- Mudabbir (pengatur) kehidupan. Allah SWT sebagai Al-Mudabbir juga sudah menentukan standar baik dan buruk perbuatan manusia. Dalam Islam perbuatan manusia harus senantiasa terikat pada hukum syara’ dengan senantiasa mengharapkan pahala dari keridaan Allah SWT. Bagitu pula dalam berumah tangga. Pernikahan diniatkan untuk beribadah pada Allah SWT. Istri dan suami memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing yang telah diatur oleh syariat Islam.

Ibu dalam pandangan Islam memiliki peran yang sangat strategis, yakni sebagai ummu warobatul bait (pengatur rumah tangga), memelihara anak dan suaminya. Ibu juga sebagai madrasatul ula (pendidik pertama dan utama). Di tangan ibu, rumah tangga akan diatur dengan baik dan anak tidak hanya tumbuh besar tetapi terdidik dengan benar. Meski secara kasatmata tidak menghasilkan materi tetapi sungguh peran istri dan ibu adalah pemelihara generasi. Seberapa banyak generasi malang tercipta karena peran ibu yang hilang.

Terjebaknya perempuan dalam sistem kapitalisme tidak lepas dari sistem yang diterapkan oleh negara. Negara yang menerapkan sistem kapitalisme akan memandang perempuan berdaya guna jika berkontribusi dalam ekonomi negara. Maka tidak heran jika program-program yang lahir menggiring perempuan untuk berperan di ranah publik dengan berbagai istilah dan narasi. Oleh karena itu tidak bisa tidak, agar peran ibu dan istri dapat kembali sesuai tuntunan Islam dibutuhkan peran negara yang menerapkan Islam secara kafah. Penerapan syariat Islam oleh negara akan membuka lapangan pekerjaan bagi laki-laki, sehingga bisa melaksanakan kewajibannya untuk mencari nafkah dengan optimal. Sementara pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah kebutuhan masyarakat yang menjadi tanngung negara. Maka para ibu dan istri bisa tenang di rumah dalam menjalankan tugas utamanya sebagai ummu warobatul bait dan madrasatul ula.

Islam tidak melarang perempuan untuk berkerja karena hukumnya mubah (boleh) selama tidak melalaikan tugas utamanya. Maka dalam sistem Islam, pun jika perempuan keluar dari rumah untuk bekerja bukan karena desakan kebutuhan ekonomi apa lagi sekadar meraih eksistensi diri. Perempuan keluar dari rumah sekadar untuk mengaplikasikan ilmu dan kebermanfaatan dirinya bagi umat, tentunya dengan tidak mengabaikan peran utama. Sungguh Islam menetapkan betapa pentingnya peran perempuan, manalah mungkin ia disebut pengangguran.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 36

Comment here