Opini

PCR, Standar Kesehatan atau Ladang Bisnis?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Suhrani Lahe

wacana-edukasi.com– Lagi-lagi, masyarakat dikejutkan dengan aturan baru terkait aturan-aturan dalam polemik pandemi saat ini. Gonta-ganti aturan, hingga lupa tujuan dari sebuah aturan apakah menghasilkan perubahan tanpa menimbulkan masalah yang ujung-ujungnya berimbas pada masyarakat.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa standar tertinggi dalam mendeteksi virus corona ialah dengan melakukan tes PCR. Dengan demikian, melakukan tes PCR termasuk dalam penanganan pandemi COVID-19. Hingga pada akhirnya pemerintah menjadikan tes PCR sebagai syarat tertinggi bagi pelaku perjalanan transportasi udara dalam memerangi penyebaran Covid-19.

Belum lama ini, pemerintah kembali mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang aturan perjalanan transportasi udara sudah bisa memuat dengan kapasitas 100% penumpang dengan syarat mewajibkan tes PCR(h-2) hasil negatif. Hal ini dibenarkan oleh Adita Irawati selaku juru bicara Kemenhub (banjarmasin.tribunnews.com, 21/10/2021).

Namun apakah ini sejalan dengan kemashlahatan masyarakat? Apakah ini solusi terbaik untuk masyarakat? Dengan melihat status penyebaran virus Covid-19 di Indonesia telah menurun, harusnya kebijakan yang diambil oleh Pemerintah harus sesuai dengan kondisi saat ini.

Dengan menjadikan tes PCR sebagai syarat wajib bagi pengguna jasa transportasi udara, hal ini nyatanya memberatkan masyarakat yang ingin melakukan perjalanan udara. Tingginya biaya PCR malah menjadi beban bagi masyarakat. Seolah aturan hanya mempersulit gerak masyarakat, ditambah himpitan ekonomi yang melanda akibat pandemi saat ini.

Syarat wajib tes PCR ini nyatanya menguras dompet masyarakat ketika ingin melakukan perjalanan jalur udara. Bahkan terkadang biaya tes PCR lebih tinggi dari harga tiket. Seolah berfikir dua kali jika harus melakukan tes PCR, namun ibarat ‘apalah daya tangan tak sampai’ masyarakat hanya bisa menjalani, meski banyak merogoh kocek. Tapi, apa kabar dengan masyarakat yang memiliki ekonomi rendah? Mau tak mau, dari pada perut keroncongan, niat untuk menempuh perjalanan udara harus dipadamkan.

Pemerintah seharusnya fokus terhadap permasalahan ini. Aturan ini seolah tertuju hanya pada masyarakat yang mampu. Sedang yang berstatus ekonomi rendah hanya bisa gigit jari karena tingginya biaya tes PCR. Himpitan ekonomi yang tengah melanda masyarakat pada pandemi ini seharusnya beriringan dengan upaya-upaya dalam menangani virus corona ini. Hal ini harusnya menjadi titik fokus pemerintah dalam mengambil kebijakan. Biaya tes PCR yang tinggi yang tidak semua dapat dijangkau oleh masyarakat harusnya ada langkah dari pemerintah dalam menanganinya. Pemerintah seharusnya bisa mengambil alih dalam pengadaan dan pelaksanaan tes PCR ini, tidak sepenuhnya menyerahkan pada perusahaan swasta agar bisa dijangkau oleh semua masyarakat karena biaya nya yang terjangkau atau bahkan gratis. Dengan menyerahkan penuh kepada perusahaan swasta, bisnis alat tes PCR ini kini menjadi angin segar bagi para pelaku bisnis dalam meraup keuntungan yang besar.

Hingga terkuak sebuah pernyataan dari berbagai media tentang siapa dibalik bisnis PCR ini. Terseret nama Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menko Marives yang kini jabatannya merangkap sebagai koordinator PPKM dimana semua kebijakan Covid-19 dipimpinnya. Kemudian menyusul nama Erick Thohir selaku menteri BUMN yang merangkap jabatan sebagai ketua Tim Penanganan COVID-19. Diduga kedua menteri ini terlibat dalam pendirian bisnis PCR PT GSI yang merupakan perusahaan penyedia jasa tes COVID-19 (suara.com, 01/11/2021)

Dimana moral para petinggi negara? Memanfaatkan jabatannya sebagai peluang bisnis dalam masa pandemi. Menggali untung hingga masyarakat terbebani. Inilah potret para kaum kapitalistik, rakus dan tamak.

Lalu, pakah tes PCR adalah pertimbangan dalam standar kesehatan?

Harus kita sadari, jika penerapan aturan ini adalah pertimbangan dalam standar kesehatan, mengapa aturan ini hanya berlaku untuk para pengguna jasa transportasi udara? Mengapa pelaku modal transportasi yang lain tidak diberlakukan?
Apakah lagi-lagi ada kongkalikong pada aturan ini, apakah ini adalah sebuah permainan baru bagi para segelintir kaum elit dalam meraup keuntungan ? Lagi-lagi menggunakan rumus untung-rugi, hingga akhirnya masyarakat terbebani.

Inilah yang terjadi pada sebuah negara jika aturan yang diterapkan berasal dari manusia, karena manusia sifatnya terbatas dan berpeluang menimbulkan perbedaan dan perselisihan. Langkah-langkah yang diambil dalam setiap aturannya tidak bersanding pada prinsip-prinsip Islam hingga akhirnya retaklah tiang sebuah negara karena tidak seimbangnya sebuah tujuan pada hasil penyelesaian dalam setiap problem yang tengah dihadapi oleh negara. Berbeda jika penerapannya, aturannya berasa dari Allah, dimana jika sebuah negara menerapkan sistem Islam, sistem yang mengatur segala sendi kehidupan manusia dan alam semesta, memiliki standar yang jelas karena aturan dan hukumnya bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Setiap permasalahan memiliki solusi yang sesuai dengan aturan dari sang Khaliq.

Allah berfirman pada QS. An-Nisa 29 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 9

Comment here