Opini

Menyoal Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Isty da’iyah

wacana-edukasi.com– Karena tingginya angka kasus pelecehan seksual di kampus yang terjadi pada beberapa tahun ini, maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Ristek nomer 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.

Dikutip dari detikNews (6/11/21) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek, Prof. Nizam mengatakan, Permendikbud-Ristek Nomer 30 Tahun 2021 tentang Permen PPKS mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur secara spesifik sehingga menyebabkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi selama ini tidak tertangani sebagaimana mestinya. Di dalamnya ada aturan mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus. Ia juga mengatakan tujuan utama adanya aturan ini untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan.

Ternyata Permen Mendikbud-Ristek Nomer 30 Tahun 2021 ini banyak menuai kritikan dari berbagai kalangan. Karena banyak pihak yang menilai ada pasal yang malah melegalkan perbuatan sek bebas dilingkungan kampus. Pasal ini kontraversi dan dinilai bermuatan liberal, jika beberapa pasalnya tidak direvisi bisa membahayakan generasi muda.

Salah satunya dari Majelis Ormas Islam (MOI) yang beranggotakan 13 ormas Islam Indonesia menyatakan bahwa Peraturan Menteri (Permen) tersebut secara tidak langsung telah melegalisasi perzinaan. Oleh karenanya akan berakibat dan bisa merusak nilai moral mahasiswa di kampus, yang seharusnya perzinaan itu dilarang malah seakan dibiarkan (Republika.co.id 4/11/21).

Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Fakih yang menilai Permendikbud Ristek Nomer 30 Tahun 2021 mencantumkan persetujuan seksual dalam salah satu pasal aturan tersebut. Hal ini tidak dikenal dalam norma hukum di Indonesia. Karena dalam frasa “tanpa persetujuan korban” terkandung makna persetujuan seksual atau “sexsual consent” artinya hubungan seksual dibolehkan asal dilakukan suka sama suka. Padahal perzinaan adalah perbuatan asusila dan diancam pidana (Republika co.id 9/11/21).

Namun, hal ini dibantah oleh pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek Prof. Nizam yang mengatakan, Permen Kemendikbud-Ristek PPKS ini fokusnya adalah pencegah dan penindakan terhadap kekerasan seksual. Sehingga devinisi dan pengaturan yang dalam Permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual selain membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah kekerasan seksual yang menimpa perguruan tinggi. Ia juga mengatakan “consent” dalam isi beleid tersebut merujuk pada konteks adanya unsur pemaksaan terkait suatu tindakan kekerasan. Selain itu masalah kekerasan seksual adalah permasalahan yang sangat mengkhawatirkan namun, selama ini tidak punya payung hukum yang jelas (Kompas.com 10/11/21).

Dari fakta di atas kita bisa melihat Permendikbud-Ristek Nomer 30 Tahun 2021 telah terlanjur menuai beragam kontra dan penolakan. Karena dari makna kekerasan seksual sebagai tindakan tanpa persetujuan seolah justru memberi ruang untuk adanya sebuah perzinaan.

Mewaspadai Liberalisasi Seksual

Kampus seharusnya menjadi tempat lahirnya insan mulia pembuat perbaikan. Tidak seharusnya diberi kebijakan yang membuka pintu liberalisasi seksual yang sejatinya telah mengepung pemuda dari berbagai arah.

Adanya pro dan kontra Permendikbud-Ristek ini karena seolah zina menjadi legal di institusi perguruan tinggi. Dengan alasan mencegah kekerasan seksual, masuklah pasal yang mengatur kebijakan tersebut dengan kata “tanpa persetujuan korban”. Kata tersebut mengandung banyak penafsiran. Sehingga menjadi hal yang lumrah jika Permen ini menuai penolakan dari berbagai pihak.

Sebenarnya kalau dilihat dari cara pandang Islam, Peraturan Menteri ini adalah sebuah produk dari sistem kapitalis sekuler. Sebuah hasil yang didesain dengan elegan berbentuk sebuah aturan untuk menghentikan kekerasan seksual. Namun, disisi lain justru membuka peluang terjadinya zina bagi para pemuda asalkan suka sama suka.

Padahal zina menurut Islam adalah perbuatan yang dilarang dan termasuk perbuatan dosa besar. Namun dalam sistem kapitalis yang berprinsip sekularisme, aktivitas seksual dikategorikan sebagai urusan individu. Negara tidak berhak ikut campur di dalam urusan tersebut, kecuali ada pihak yang merasa dirugikan dan melaporkan sebagai korban, disitu negara akan memberi payung hukumnya.

Sehingga mewaspadai liberalisasi seksual sangat diperlukan agar tidak menjerumuskan generasi kepada perzinaan. Karena sudah tidak terhitung kasus kejahatan dan kriminal yang diakibatkan oleh seks bebas, seperti hamil di luar nikah, aborsi bahkan sampai pembunuhan.

Inilah konsekuensi dari sistem kapitalis sekularisme, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan manusia. Sebuah sistem yang mengagungkan kebebasan manusia untuk berbuat sesuatu. Sehingga aturan yang dimunculkan dari paham tersebut akan selalu berbenturan dengan aturan yang lainnya.

Lebih parahnya lagi, jika paham ini bukan lagi disebarkan oleh oknum atau sekelompok orang saja namun, diterapkan sebagai sistem. Ketika sistem ini telah menjadi asas sebuah negara, mendarah daging dalam sistem aturan maka kebijakan negara tersebut juga akan ikut sekuler.

Sehingga perlu bagi kita untuk mengkritisi Peraturan Menteri ini agar direvisi atau dicabut. Namun yang lebih penting adalah, hal ini terjadi karena dari akar sistem yang salah. Sehingga, solusi tuntasnya mesti mencabut hingga akarnya. Ubah sistemnya dengan sistem yang sahih, maka produk kebijakan yang benar dan baik pun akan terwujud di tengah umat.

Islam Hadir Memberi Solusi

Sebagaimana dalam firman Allah Swt yang artinya: “Janganlah kalian mendekati zina. Sungguh zina itu tindakan keji dan jalan yang buruk” (Al-Isra’ [17]: 32)

Dalam Islam segala bentuk kekerasan seksual hukumnya haram termasuk didalamnya perzinaan, LGBT, prostitusi, pencabulan, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan, dan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan.

Perkara kekerasan seksual yang meresahkan, adalah sebuah jarimah (kejahatan) yang harus dihentikan. Islam mempunyai tata aturan tersendiri terkait pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban, serta penindakan pelaku kekerasan badan atau kejahatan seksual.

Berikut ini adalah beberapa aturannya:

Pertama, upaya pencegahan agar tidak terjadi pelecehan seksual, kejahatan maupun kekerasan seksual adalah diantaranya dengan:
1. Menjaga interaksi antara kaum pria dan wanita. Islam menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan, adanya larangan unsur khalwat kecuali pada hubungan muamalah yang telah ditetapkan ketentuan oleh hukum syara’.
2. Islam juga melarang ihtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan).
3. Islam mewajibkan menutup aurat baik terhadap lawan jenis maupun lawan jenis. Tidak boleh menampakkan aurat kecuali kepada mahramnya. Juga melarang tabarruj atau mengumbar kecantikannya didepan publik, serta kewajiban menjaga pandangan.

Kedua, sistem kontrol sosial yakni melibatkan masyarakat untuk mempunyai spirit amar makruf nahi mungkar. Pembinaan keimanan individu dan masyarakat untuk saling menjalankan semua kewajiban sesuai hukum syara’.

Ketiga, sistem sanksi yang tegas bagi pelaku zina, termasuk para pelaku kekerasan seksual didalamnya. Karena zina merupakan kemaksiatan dan dosa besar, maka orang yang melakukannya dikenakan sanksi yang berat. Sanksi zina bagi yang sudah pernah menikah adalah dirajam. Sedangkan jika belum pernah menikah hukumannya adalah dijilid seratus kali dera. Hukuman ini bagi yang terbukti dengan pembuktian syar’i telah melakukan zina, dengan adanya saksi-saksi dan syarat lainnya.

Sanksi dalam Islam merupakan zawajir dan jawabir. Sanksi ini bisa menimbulkan efek jera, sehingga bisa mencegah seseorang untuk melakukan tindakan serupa inilah yang disebut zawajir. Sedangkan jawabir, sanksi ini juga sebagai penebus dosa bagi pelaku yang dikenai sanksi.

Demikianlah gambaran bagaimana Islam menanggulangi segala masalah dan kekerasan seksual. Dengan aturan yang berasal dari Allah Swt. Islam mampu mencegah dan menghilangkannya. Dengan tiga pilar pelaksanaan syariat Islam yakni ketakwaan individu, kontrol sosial masyarakat dan penegakan hukum oleh negara, InsyaAllah kejahatan sosial akan dapat dikurangi bahkan dihilangkan.

Wallahu’alam bishawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 19

Comment here