Oleh : Mintan Tyani (Relawan Opini Andoolo, Sulawesi Tenggara)
Wacana-edukasi.com, OPINI–“Ku lihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, emas intannya terkenang. Hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan. Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa.”
Potongan lagu “Ibu Pertiwi” yang ditulis oleh Ismail Marzuki ini sangat tepat menggambarkan realitas keadaan Ibu Pertiwi kita saat ini. Keadaan “Ibu” kita saat ini bukan hanya sedang bersusah hati, namun sudah sangat menyayat hati.
Pasalnya, tidak lama ini KLH telah ditemukan kerusakan alam yang disebabkan oleh banyaknya pelanggaran terkait aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, di mana wilayah ini terkenal dengan keindahan alamnya (Tirto.id, 07/06/2025).
Menanggapi kabar dan penemuan tersebut, Mentri ESDM Bahlil lahadalia mengklaim akan menghentikan sementara operasional tambang nikel tersebut. Tapi niatan beliau dianggap sebagai akal-akalan untuk meredam suara protes masyarakat, ujar Iqbal Damanik selaku Juru Kampanye Greenpeace Indonesia (BBC.com, 06/06/2025).
Dari pemberitaan ini memang sudah seharusnya kejadian hilirisasi nikel tersebut menjadi fokus perhatian bagi kita selaku masyarakat untuk menjaga kelestarian alam serta keragaman hayati berupa biota laut dan juga satwa khas yang ada di wilayah tersebut, bahkan dari penemuan ini, Hanif Faisol Nurofiq selaku Mentri Lingkungan Hidup mengatakan bahwa kegiatan penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antar generasi, dan tidak akan ragu mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan. Perkataanya ini didasari oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan pasal 35 (k), tentang larangan penambangan di pulau-pulau kecil.
Karena sudah sangat jelas dampak dari pertambangan tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah kerusakan alam, sudah banyak alam yang menjadi korban atas keganasan penambangan. Hingga mengakibatkan bencana-bencana alam yang tidak bisa dielakkan, seperti longsor sampai pencemaran udara serta lautan. Namun alih-alih menaati aturan yang dibuat oleh pemerintah, para penambang itu tetap asik dengan aksinya. Tanpa memedulikan sanksi ataupun kerugian yang akan terdampak pada masyarakat hingga alam serta lingkungan.
Beginilah wajah asli kapitalisme yang menjadi dasar sebuah negara, sistem ekonominya pun memakai sistem ekonomi kapitalis. Sehingga UU maupun aturan semacamnya tidak lagi berguna dan dipandang perlu. Kapitalisme yang sedang mengangkangi dunia ini hanya mementingkan keuntungan semata, terlebih lagi sistem ini menganut kebebasan kepemilikan bagi mereka yang memiliki modal. Sehingga para pemodal bebas membisniskan apapun yang mereka anggap menguntungkan, tidak terkecuali alam. Tanpa mereka peduli akan kelestariannya.
Dalam kasus Raja Ampat ini juga kita bisa melihat bahwa tidak adanya mekanisme konservasi alam yang diupayakan oleh sistem kapitalis ini, padahal mekanisme itu sangat wajib dilakukan sebagai bentuk penjagaan ragam hayati yang ada, karena kerusakan alam sangat berdampak pada kehidupan manusia.
Bahkan ada ungkapan salah seorang penduduk papua yang menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah, beliau mengatakan “kami cinta republik ini, tapi republik tidak mencintai kami”. Sungguh ungkapan ini bukan hanya bualan tanpa makna, bukan pula kritik yang patut diabaikan. Tapi seharusnya menjadi cambuk bagi para pemimpin dari kegagalan mensejahterakan seluruh masyarakatnya. Dengan demikian, telah nampak kecurangan dan kecacatan dari seorang pemimpin yang berlandaskan sistem kapitalisme.
Sistem kepemimpinan ini sangat jauh berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam, di mana seorang pemimpin memiliki tugas menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) atas apa yang dipimpin. Termasuk dalam hal pelestarian alam yang sangat membutuhkan sikap kepemimpinan tersebut, yang mampu menjaga alam yang dipimpinnya dan mengecam siapapun yang berusaha merusaknya, seperti firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 56 “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.”
Seorang pemimpin dalam Islam menggunakan landasan Al-Qur’an sebagai pedoman bernegara, sehingga ayat tersebut tidak akan luput darinya untuk pengayoman kelestarian alam. Namun sayang, pemimpin seperti ini tidak didapati dalam sistem kapitalisme, karena pemimpin seperti ini hanya ada di dalam sistem Islam, yang dipayungi oleh Khilafah.
Seorang Khalifah dalam Khilafah juga akan melakukan mekanisme konservasi alam, sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Konsep konservasi dalam Islam dikenal sebagai “hima”. Di mana harta milik umum mendapat protek dari negara, dan hima ini bersifat menjaga kelestarian alam dan ragam hayati di dalamnya, serta hanya menggunakan hima untuk keperluan jihad, orang fakir dan miskin serta untuk kemaslahatan kaum muslim secara keseluruhan. Rasulullah dan Khalifah setelahnya juga menggunakan konsep ini dalam sistem pemerintahannya.
Sudah sangat jelas bahwa kita saat ini sangat membutuhkan Khilafah. Karena Khilafah bukan hanya melestarikan lingkungan di Raja Ampat, tapi semua harta kepemilikan umum yang dianggap menjadi faktor keseimbangan ekosistem akan dijaga dari ketamakan para kapitalis, dan tidak akan membiarkan para kapital itu mencaplok wilayah tersebut untuk dieksploitasi. Sebab dalam Islam sumber daya alam adalah milik umat, haram dikuasai oleh perusahaan swasta. Hal tersebut tersirat dalam hadist Rasulullah SAW, yang bunyinya “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Menjaga kelestarian alam, mengatur wilayah untuk di-hima, tidak memberi izin swasta mengelola tambang, merupakan syariat Islam yang hanya bisa dilakukan oleh negara, dan negara itu adalah Khilafah, kita sangat membutuhkannya agar semua syariat bisa diterapkan secara kaffah (menyeluruh) dalam kehidupan. [WE/IK].
Views: 14


Comment here