Oleh: Cahaya Chems (Pegiat Literasi)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Ibarat pepatah ‘Mati Satu Tumbuh Seribu’. Yah nampaknya peribahasa yang satu ini identik dengan terjadinya kasus bullying pada anak yang seolah tak pernah sirna. Juga hilang satu terbit seribu. Bedanya yang satu menggambarkan sisi perjuangan yang takkan kunjung padam. Bernilai positif. Sementara kasus bullying menggambarkan sisi kelam perbuatan remaja yang tidak terkontrol. Bernilai negatif.
Bahkan kemunculan bullying muncul dengan gaya baru makin kreatif. Selalu tumbuh subur bak jamur yang tumbuh di musim penghujan. Hari ini pelaku bullying sudah sangat terang-terangan melakukan tindakan kekerasan pada korban. Bahkan tanpa rasa bersalah. Ironisnya semua itu dilakukan justru pada teman sebaya mereka sambil diikuti dengan gelak tawa dan dijadikan sebagai bahan lelucon. Miris!.
Terbaru kasus perundungan dialami oleh seorang remaja berusia 13 tahun berasal dari Kampung Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay. Korban disuruh menenggak minuman keras (tuak), dipaksa merokok, lalu sang anak ditendang dan dimasukkan dalam sumur di kedalaman tiga meter.
Dilansir dari Kompas.com (10/06/2025) bahwa sang anak dilaporkan mengalami trauma dan ketakutan bertemu orang banyak setelah alami perundungan yang diterima dari teman-temannya. Orang tua korban menuturkan ia menduga anaknya mengalami luka dalam. Ia merasa sang anak mengalami luka psikis, lalu trauma. Ia menambahkan, akan melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian untuk memberikan efek jera kepada para pelaku, dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana termuat pada Pasal 80 UU 35 Tahun 2014.
Lantas mengapa kasus bullying selalu terjadi bahkan muncul dengan berbagai jenisnya? Apakah kenakalan remaja muncul sebab ulah individu semata ataukah hadir karena lingkungan dan sistem yang mendukungnya?
Kondisi Lingkungan
Bahwa harus diakui hari ini lingkungan juga turut menjadi tempat yang menyumbang ikut membentuk perilaku anak. Lingkungan toxic yang tidak mendidik, menyebabkan anak mudah terjebak pada pergaulan bebas termasuk melakukan tindakan bullying. Sehingga penyebab perilaku tindakan bullying tidak hanya terjadi sebab kesalahan individu semata. Juga disebabkan oleh lingkungan yang meniscayakan terjadinya tindakan bullying secara nyata. Ini karena pandangan sekularisme telah menjangkiti kawula muda. Cara pandang sekularisme ini memang pada dasarnya suatu ide memisahkan nilai-nilai agama dalam ranah kehidupan baik itu pada individu, di masyarakat, dan negara.
Tidak hadirnya nilai-nilai agama pada kehidupan remaja menyebabkan mereka tidak lagi membawa nilai-nilai keimanan. Mereka cenderung mengusung ide-ide kebebasan. Bahkan tidak peduli itu melanggar norma agama mereka. Tanpa merasa bersalah dan merasa berdosa. Alhasil melakukan tindakan menyakiti, melukai, anarkisme, bullying, dan beragam tindakan lainnya tidak bisa dielakkan.
Dari sini aroma muatan kapitalisme tercium. Maraknya pergaulan bebas hingga tak jarang berujung pada tindakan bullying tersebut, ternyata tidak bisa dilepaskan dari sistem hidup yang diadopsi oleh masyarakat dan bangsa ini. Sistem hidup yang memuja kebebasan ini telah melahirkan cara pandang liberalisme (serba bebas). Maka tak heran pelajar kerap kali terjebak pada tindakan bullying sebab menganggap itu bagian dari ekspresi kebebasan atau cara bersikap. Bukan bagian dari kesalahan yang harus dihindari.
Hal ini pun diperparah oleh sistem pendidikan kita hari ini yang juga berasaskan sekularisme. Menjauhkan pendidikan karakter dan nilai moral. Hanya mementingkan aspek pengetahuan kognitif tapi kosong dari nilai-nilai akhlak karimah, jauh dari nilai-nilai spiritual, tak lagi mementingkan adab dan sopan santun. Hasil pendidikan hanya berorientasi materi bukan menghasilkan kepribadian yang memiliki nilai-nilai integritas. Maka pantas kehidupan remaja menjadi jauh dari nilai-nilai pendidikan yang meningkatkan keimanan dan berbudi pekerti luhur sebagaimana diamanatkan dalam sistem pendidikan nasional.
Muara dari rusaknya cara pandang remaja dalam kehidupan, itu semua dilahirkan dari sistem kapitalisme-liberalisme. Dimana ruh sistem ini memang lahir dari ide pemisahan agama dari kehidupan, berikutnya melahirkan pemisahan agama dari aturan negara. Sehingga membentuk pemahaman pemuda bahwa perilaku mereka tak perlu dikaitkan dengan nilai dan paham agama. Maka imbasnya seperti yang terjadi pada kehidupan pemuda saat ini. Perilaku amoral pada anak mudah sekali dijumpai termasuk perkara bullying.
Inilah akar persoalan perilaku bullying yang tidak bisa diatasi sampai hari ini. Karenanya sistem pandangan hidup ini sudah saatnya dirombak total lalu mencoba melirik sistem pandangan hidup yang shahih. Yakni berbasis syariat.
Tak Cukup Sekedar Masukan
Wakil ketua Komisi Sepuluh, Lalu Hadrian Irfani mengatakan ia meminta terhadap pelaku tindakan bullying diberikan sanksi administratif dan hukuman. Ia menambahkan sekolah harus memiliki protokol yang jelas terhadap penanganan tindakan kekerasan pada anak. Lebih lanjut ia menganjurkan untuk pencegahan kasus kekerasan disekolah mesti dilakukan pendidikan berbasis karakter dan pengawasan komunitas sekolah (rri.co.ic, 27/06/2025).
Sungguh pun aturan yang sifatnya arahan dan himbauan selamanya tak akan benar-benar terealisasi. Apabila tidak sampai pada tahap pengaplikasian. Jika ujung-ujungnya harus dibatalkan sebab terhalang usia. Anak yang terkategori dibawah umur, maka hukum tak dapat menyentuhnya. Pada akhirnya aturan tersebut tidak bisa dijalankan. Sementara anak bisa saja berulah kembali dengan dalih tidak akan terkena hukuman sebab merasa terlindungi oleh undang-undang. Alhasil kasus bullying pada anak akan sulit ditegakkan.
Yang dibutuhkan dan yang perlu diupayakan adalah melalui mekanisme peraturan yang mengikat. Tidak semata hanya dilimpahkan kepada individu masyarakat, orang tua, ataupun lembaga sekolah semata. Harus ada penataan sistemik dimana peran negara hadir menjadi pionir utama. Pun penerapan sanksi yang tegas dan membuat efek jera harus benar-benar ditegakkan. Konsep usia (dibawah umur) saat ini dalam perspektif undang-undang harus dikembalikan kepada perspektif syariat. Dimana ukuran dewasa (akil-balig) ditandai dengan munculnya menstruasi pada wanita, dan pada lelaki ketika telah mengalami mimpi basah. Sehingga pemuda yang melakukan kejahatan bullying tetap diberlakukan sanksi tegas apabila memenuhi syarat walaupun secara usia dibawah 17 tahun. Dengan begitu harapannya persoalan bullying dapat teratasi secara totalitas.
Karenanya dibutuhkan perubahan mendasar terkait dengan paradigma pengaturan kehidupan yang selama ini dipakai. Paradigma kehidupan itu harus lahir dari pandangan hidup (ideologi) yang shahih. Yakni harus dibangun dari paradigma syariat. Sebab kerusakan yang timbul hari ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem sekular-kapitalisme yang telah lama mengakar mengatur sistem kehidupan di negeri ini.
Solusi Mustanir
Dalam Islam kehadiran seorang pemimpin sangat urgen. Sebab ditangannyalah sistem kepemimpinan itu dapat berjalan. Karena ia laksana perisai (pelindung) rakyat dari marabahaya yang menimpa umatnya. Karena itu pengentasan solusi persoalan bullying harus diambil dan diselesaikan secara sistemik lewat aturan kepemimpinan. Agar persoalan seperti ini tidak terjadi lagi.
Pertama; ranah individu. Orang tua memiliki tanggung jawab besar terhadap pola asuh anak. Orang tua sebagai madrasatul ‘ula harus hadir memberikan pendidikan terbaik buat anaknya. Tentu pendidikan itu harus diupayakan membentuk syakhsiyah (kepribadian) Islami pada anak. Baik itu membentuk aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) Islami. Dengan begitu anak akan terbentuk ketakwaannya pada Rabbnya sejak dini.
Seorang ibu dapat memetakan pengajaran berdasarkan usianya. Untuk pembinaan terhadap kelompok usia remaja maka orang dapat memberlakukan diri sebagai sahabat terhadap anak. Sebab pada usia remaja biasanya anak enggan bercerita ke ibu secara langsung apabila memiliki masalah. Karena itu, disinilah letak seorang ibu harus memposisikan diri sebagai sahabat. Dengan begitu anak lebih dekat kepada orang tua. Barulah orang tua dapat memberikan masukan terhadap tindakan dan perbuatan sang anak. Jika salah diluruskan dan diarahkan untuk menjadi lebih baik.
Kedua; peran masyarakat. Di masyarakat amar ma’ruf nahi mungkar harus selalu dijalankan. Sebab dengan begitu terjadi pengontrolan diantara sesama. Sehingga tidak menormalisasi apabila ada kemaksiatan terjadi.
Ketiga; peran negara. Dan ini merupakan peran yang paling vital. Hadirnya negara sebagai perisai yang akan melindungi warga negaranya dari segala bentuk ancaman. Termasuk menjaga keamanan rakyatnya dar tindakan kekerasan. Hal ini dapat terlaksana sebab negara menerapkan aturan sistem pergaulan interaksi pria-wanita secara terpisah. Dari segi pendidikan, akan diterapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Kemudian pencegahan kasus kekerasan pada anak dengan penerapan sanksi yang memberikan efek jera tanpa pilah-pilih.
Karenanya, aturan praktis Islam diatas pernah diterapkan dan terbukti memberikan keamanan dan kedamaian kepada masyarakat, lantas mengapa kita tidak mengambilnya sebagai aturan buat negeri ini? [WE/IK].
Views: 34


Comment here