Oleh: Pri Afifah
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Demam Labubu tengah menyerbu masyarakat, sebagaimana diketahui, boneka Labubu menjadi begitu booming setelah idol K-pop Lisa BLACKPINK memamerkannya di media sosial. Boneka Labubu memiliki daya tarik tersendiri, sebab produksinya yang terbatas, nilai yang eksklusif, juga karena terkait dengan budaya pop yang tengah digandrungi oleh kaum muda khusus Gen-Z (Jawapos.com. Minggu/13/10/2024)
Labubu adalah boneka yang diciptakan oleh seniman Jepang, dengan bentuk “cute” namun juga “creepy”, serta beragam tema dan warna yang berbeda, membuat mainan ini sangat digemari kaum muda.
Labubu seolah menjadi trend global karena dipakai oleh idola kaum muda. Peran media sosial pun turut andil dalam memberikan narasi serta mendorong agar setiap orang terlibat dalam trend ini.
Labubu pun disebu oleh penggemarnya. Dengan membeli barang viral, seseorang akan merasa relevan dilingkungan sosialnya, inilah kemudain memunculkan fenomena FOMO atau fear of missing out yang artinya seseorang tidak ingin merasa tertinggal oleh trend yang sedang populer.
Kemajuan media sosial dan interaksi berbasis teknologi, seseorang yang semakin terpapar pada perubahan kehidupan orang lain yang tampak lebih menarik atau memuaskan. Bagi generasi muda, terutama remaja dan dewasa muda, melihat pengalaman orang lain di dunia maya sering kali memunculkan rasa ketertinggalan dan dorongan untuk selalu mengikuti apa yang sedang trend.
FOMO bukan hanya berdampak pada psikologi individu, tetapi juga membentuk pola perilaku komunikasi. Di media sosial misalnya, seseorang lebih cenderung untuk membagikan aktivitas sehari-hari mereka, bahkan hal-hal kecil, untuk membuktikan bahwa mereka tidak ketinggalan. Akibatnya, muncul budaya di mana pengakuan sosial menjadi sangat penting dan tekanan untuk selalu ‘hadir’ dalam momen-momen berharga pun semakin kuat.
Bagi gen-Z, yang tumbuh dalam budaya digital, FOMO dapat memengaruhi bagaimana mereka membangun relasi. FOMO dapat membuat mereka merasa harus selalu terhubung kepada teman-temannya baik online maupun offline demi tidak tertinggal. Akhirnya mereka akan lebih fokus kepada pengakuan media sosial, daripada menggali potensi dirinya.
FOMO juga tampak dalam seseorang dalam menghargai dirinya. Ia akan menilai dirinya berharga atau tidak dengan apakah ia mampu mencapai prestasi atau gaya hidup orang yang dilihatnya di dunia maya. Jika ia akan menyamainya, maka ia akan merasa berharga, namun jika sebaliknya maka ia akan merasa bahwa dirinya tidak berharga.
Akibat dari fenomena FOMO ini, potensi gen-Z untuk berprestasi dan berkarya menjadi terabaikan. Waktu dan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk mengembangkan diri sering kali terfokus pada upaya untuk memenuhi standar sosial yang tidak jelas, yang ada di media sosial.
Obsesi untuk selalu mengikuti tren atau pengalaman yang dipamerkan orang lain dapat mengalihkan mereka dari tujuan jangka panjang. Sehingga berisiko menghalangi mereka dari potensi sebagai agen perubahan yang sebenarnya bisa memberikan kontribusi besar bagi masyarakat.
Sayangnya, sistem yang ada saat ini belum mampu memberikan perlindungan bagi gen-Z dari dampak negatif media sosial dan budaya FOMO ini. Alih-alih membimbing mereka untuk hidup sesuai dengan fitrah agamanya, sistem tersebut justru sering kali memperkuat pola pikir materialistis dan kompetitif yang tersebar melalui media sosial.
Lingkungan digital yang tidak diatur dengan baik ini membuat gen-Z semakin terdorong untuk mengejar status sosial atau popularitas, yang pada akhirnya menciptakan lingkaran gaya hidup konsumtif tanpa arah yang jelas.
Islam memandang pemuda sebagai aset berharga yang memiliki potensi luar biasa dalam membentuk masa depan umat. Pemuda bukan hanya sekadar generasi penerus, tetapi juga agen perubahan yang dapat memimpin masyarakat menuju kebangkitan yang lebih baik.
Potensi yang dimiliki oleh generasi muda, terutama Gen Z, merupakan kekuatan yang sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman dan mengembalikan kejayaan peradaban Islam yang pernah ada.
Dengan bimbingan yang tepat, pemuda dapat berkontribusi secara signifikan dalam memperkuat nilai-nilai keislaman dan menciptakan lingkungan yang mendukung kebangkitan umat.
Sistem pendidikan yang ditawarkan dalam Islam menjadi kunci untuk mengoptimalkan potensi generasi muda. Melalui kurikulum yang berbasis pada aqidah, akhlak, dan ilmu pengetahuan, Islam mengarahkan pemuda untuk hidup sesuai dengan tujuan penciptaan mereka. Ini melibatkan pengembangan karakter yang kuat, etika yang tinggi, dan pengetahuan yang luas agar mereka dapat berfungsi sebagai individu yang berdaya saing dan berkontribusi positif dalam masyarakat.
Islam memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana pemuda dapat mencapai keberhasilan baik di dunia maupun di akhirat, sehingga mereka mampu mempersembahkan karya terbaik bagi umat.
Kehadiran Khilafah Islamiah sebagai sistem pemerintahan yang berbasis aqidah Islam menjadi landasan untuk mewujudkan visi besar ini.
Dalam sejarahnya, khilafah telah terbukti mampu menciptakan peradaban yang gemilang, di mana ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi berkembang pesat. Dengan mengembalikan sistem Islam ini, kita dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi pemuda untuk berinovasi dan berkreasi, sehingga mereka dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Khilafah juga memberikan platform bagi pemuda untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan menyuarakan aspirasi mereka.
Dengan demikian, sangat penting untuk melibatkan pemuda dalam upaya membangkitkan kembali peradaban Islam. Pemberdayaan pemuda dalam konteks ini tidak hanya akan membawa dampak positif bagi individu itu sendiri, tetapi juga untuk umat secara keseluruhan. Melalui pendidikan yang baik, penguatan aqidah dan kesempatan untuk berpartisipasi. Dalam sistem yang adil, pemuda akan mampu mengubah visi menjadi tindakan nyata. Ini adalah langkah awal menuju kebangkitan umat Islam yang diharapkan, yang berdampak luas bagi kesejahteraan dunia dan akhirat.
Views: 26
Comment here