Opini

Korupsi Menggurita di Sistem Sekuler

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Lina revolt (Aktivis Muslimah)

Terungkapnya beberapa kasus korupsi, seperti dugaan korupsi bansos seolah menunjukkan jika hukuman yang diberikan selama ini tak memberi efek jera sama sekali

Wacana-edukasi.com — Korupsi masih menjadi PR besar negeri ini. Setiap tahun kasus korupsi semakin meningkat. Bak jamur di musim penghujan terus tumbuh subur. Meski telah dibuat lembaga khusus penanganan korupsi, nyatanya tak jua mampu mengurangi kasus korupsi. Terungkapnya beberapa kasus korupsi, seperti dugaan korupsi bansos seolah menunjukkan jika hukuman yang diberikan selama ini tak memberi efek jera sama sekali.

Menurut Survei LSI, kasus korupsi di negeri ini meningkat dalam dua tahun terakhir. Padahal negeri ini tengah diuji dengan pandemi yang belum tahu kapan akan berakhir. Para koruptor justru makin menjadi, merampok harta negara tanpa rasa berdosa. LSI merilis hasil surveinya mengenai persepsi publik terhadap potensi korupsi di sektor sumber daya alam, hasilnya 60 % responden sepakat bahwa korupsi meningkat dalam dua tahun terakhir.

Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan menuturkan tingkat keprihatinan korupsi di tengah masyarakat Indonesia mendapat penilaian yang tinggi menurut sigi survei. Sebanyak 44 persen masyarakat menilai sangat prihatin, 49 persen prihatin dan 4 persen tidak prihatin, sementara 2 persen tidak menjawab, (detik.com,8/8/21).

Korupsi Buah Demokrasi

Di tengah keprihatinan publik terhadap korupsi, pemerintah malah menunjuk eks koruptor Emir Moeis sebagai komisaris Salah satu BUMN, yaitu PT. Pupuk Iskandar Muda. Ia ditunjuk sejak januari 2021. Terpilihnya Emir seakan menjadikan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini hanya bahan lucu- lucuan. Bagaimana para koruptor mau jera jika kebijakan saling tumpang tindih.

Jika kita perhatikan ada beberapa faktor yang menyebabkan korupsi sulit diberantas, diantaranya :

Pertama, diterapkannya sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan menjadikan nilai- nilai keimanan dan ketakwaan hilang dari negara dan politik. Sehingga menjadikan para penguasa maupun aparatur negara yang diberi amanah mengurusi uang rakyat tidak merasa sedang diawasi oleh Allah Swt.

Salah satu teori korupsi menurut Jack Bologne Gone Theory menyebutkan bahwa faktor penyebab korupsi adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan. Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan bisa jadi akan mendorong seseorang menjadi pelaku korupsi.

Sebagaimana yang dituturkan oelh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nidzomul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam) mengatakan bahwa, manusia memang memiliki naluri baqa‘ (mempertahankan diri), dan naluri itu memiliki qadar (khasiat) termasuk di dalamnya rasa ingin memiliki sesuatu yang lebih. Dorongan ini memiliki potensi baik dan buruk karena Itulah manusia butuh aturan Allah sehingga setiap perbuatan yang ia lakukan didasari oleh keimanan dan ketaqwaan ( an-Nabhani,2001).

Kedua, politik demokrasi yang mahal. Sejak reformasi sistem politik demokrasi semakin mahal, adanya pemilu dan pilkada langsung menjadikan para kandidat harus memoles personal branding agar disukai dan dikenal oleh pemilihnya. Hal itu menjadikan modal kampanye yang dikeluarkan tidak sedikit. Para calon harus siap merogoh kocek lebih dalam, bahkan bukan rahasia umum dana kampanye didapat dari dukungan para pemilik modal. Kong kalikong antara penguasa dan pengusaha bukanlah hal yang baru di negeri ini. Bukan rahasia umum, saat terpilih kebijakan dan proyek yang ada dipenuhi kepentingan pemilik modal. Ramai- ramai mengembalikan uang kampanye dengan merampok uang rakyat.

Secara tidak langsung sistem demokrasi telah membuka celah terjadinya korupsi dari awal. Inilah penyebab sulitnya korupsi diberantas, karena korupsi memang bagian dari sistem politik demokrasi itu sendiri. Mustahil dana yang dikeluarkan untuk kampanye bisa dikembalikan hanya dengan gaji dan tunjangan, hal ini membuka peluang korupsi semakin diminati.

Ketiga, sistem hukum berbelit dan berpeluang dijual belikan, menjadikan para koruptor mudah lolos dari jerat hukum. Kalaupun dijatuhi hukuman, sanksi yang ada tidak memberi efek jera.

Keempat, budaya dan kebiasaan tidak jujur dan lalai terhadap amanah di masyarakat. Kebiasaan tidak jujur ditambah peluang dalam sistem demokrasi menjadikan korupsi seolah telah mengakar di masyarakat.

Maka, selama demokrasi masih menjadi asas berpolitik di negeri ini Dan budaya tidak jujur tidak diubah, maka korupsi mustahil bisa diberantas sampai ke akar-akarnya.

Kemampuan Islam Mberantas Korupsi

Dalam perspektif syariah, korupsi adalah perbuatan khianat dan pelakunya disebut khaa’in. Perbuatan korupsi adalah tindakan khianat atas amanah kekuasaan atau wewenang dengan menggelapkan uang yang diamanahkan kepadanya.

Dalam upaya memberantas korupsi Islam memiliki solusi preventif dan kuratif. Ada beberapa langkah preventif yang bisa dilakukan :

Pertama, dalam rekrutmen SDM wajib mengutamakan profesionalitas dan integritas, bukan berdasarkan egoisme kepentingan yang menciptakan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh pejabat dan aparat negara. Agar senantiasa ingat akan amanah yang mereka genggam. Sebagaimana dulu Khalifah Umar bin Khattab senantiasa memberikan nasihat kepada bawahannya :

“ Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok, kalau kamu menundanya pekerjaannya akan menumpuk…’’

Ketiga, negara wajib memenuhi kebutuhan aparat negara dan memberikan gaji, juga fasilitas yang cukup agar mereka tidak berniat untuk korupsi.

Sebagaimana Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,

“Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat”

Keempat, Islam melarang para aparat negara menerima hadiah atau suap dalam bentuk apapun saat melaksanakan pekerjaannya.

kelima, keteladanan dari pemimpin. Seorang pemimpin harus menjauhkan dirinya dari tindak korupsi, karena yang dipimpin akan cenderung mengikuti siapa pemimpinnya.

Sementara itu upaya pencegahan kuratif dalam Islam adalah dengan memberikan sanksi tegas kepada pelakunya. Semua harta yang diraih secara tidak wajar oleh aparat negara adalah harta ghulul (korupsi), dan pelakunya akan disanksi sesuai dengan perbuatannya. Hukumannya, ditetapkan oleh ijtihad khalifah, bisa disita, dipenjara, potong tangan, hingga hukuman mati. Sanksi dalam Islam tidak akan memberi celah bagi para koruptor merampok harta negara.

Oleh karena itu, sebagai negeri muslim terbesar di dunia, seharusnya negeri ini bisa menjadi role model dari penerapan syariat Islam terutama dalam pemberantasan tindak korupsi hingga ke akar-akarnya.

Wallahu a’lam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 1

Comment here