Opini

Kartu BPJS Syarat Administratif, Kebijakan Diskriminatif!

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Layli Hawa (Pemerhati Publik)

Di balik ketidaklogisan antara kartu BPJS dalam mengurus SIM, STNK, SKCK, hingga haji dan umrah dan jual beli tanah, tentu ini adalah bentuk kezaliman pemerintah terhadap rakyat.

Wacana-edukasi.com — Pemerintah seolah tak pernah puas menyiksa rakyat, perlahan-lahan semakin mempersulit urusan administratif warga negara dalam berbagai kebijakan.

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengeluarkan kewajiban kartu peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) sebagai syarat mendapatkan dan mengurus layanan publik. Mulai dari jual beli tanah, mengurus SIM dan STNK, bahkan umrah dan haji.

Persyaratan tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Aturan ini disahkan Joko Widodo pada 6 Januari 2022.

Semakin Mempersulit Rakyat

Terbitan Inpres ini tentu menuai banyak kontra di tengah publik. Tidak hanya masyarakat luas termasuk juga anggota Komisi II DPR Yanuar Prihatin yang mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut tidak nyambung dan tidak ada kaitannya antara jual beli tanah dengan bukti keanggotaan BPJS. Seperti yang dilansir dari detiknews.com,
“Kebijakan ini agak aneh, seperti kehabisan cara dalam mengembangkan program BPJS Kesehatan. Pertanyaannya, ada tidak hubungannya antara kesehatan dengan kepemilikan hak atas tanah? Kaitannya jauh sekali. Transaksi jual beli tanah cukup dengan syarat memiliki uang bagi pembeli, dan memiliki tanah bagi penjual dan bukti kepemilikannya serta keduanya warga negara Indonesia yang waras, tidak gila,” kata Yanuar kepada wartawan, Sabtu (19/2/2022).

Di balik ketidaklogisan antara kartu BPJS dalam mengurus SIM, STNK, SKCK, hingga haji dan umrah dan jual beli tanah, tentu ini adalah bentuk kezaliman pemerintah terhadap rakyat. Bagaimana tidak, negara seolah kian mempersulit berbagai urusan rakyat dengan dalih upaya negara melindungi kesehatan warga negaranya.

Seperti yang dinyatakan Staf Khusus sekaligus Juru Bicara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Teuku Taufiqulhadi.
“Poinnya bukan pada korelasi, tetapi optimalisasi BPJS. Jadi itu upaya negara untuk menghadirkan asuransi kesehatan bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan, karena BPJS wajib dalam undang-undang,” ujarnya dalam diskusi daring, Minggu (20/2/2022).

Upaya persyaratan kartu BPJS ini tentu ditujukan agar masyarakat berbondong-bondong membuat dan memiliki kartu keanggotaan ini bagi yang belum punya. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja masyarakat harus bekerja siang malam di antara naiknya bahan makanan yang membuat masyarakat semakin terhimpit kondisi ekonominya. Di sisi lain justru pemerintah terus menerus menyiksanya dengan berbagai kebijakan yang amat membebani.

Diskriminatif

Pada awal kemunculannya, BPJS adalah angin segar bagi pemerintah dalam rangka menutupi kelemahan negara dalam menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat. Selama ini anggaran dalam bidang kesehatan sangat minim dibandingkan bidang lainnya.
Pada RAPBN 2020, anggaran untuk Kementerian Kesehatan hanya berkisar Rp 48,8 triliun. Berbanding jauh dengan biaya untuk membayar cicilan bunga utang Pemerintah pada periode yang sama. Nilainya mencapai Rp 172,4 triliun atau 62,49% dari target yang ditetapkan dalam alokasi Kas Negara Rp 275,8 triliun, sejak Januari – Agustus 2019.

Dampak dari kecilnya anggaran kesehatan menjadikan layanan kesehatan bagi masyarakat terbatas. Sebagai contoh, ada 615 dari 2.170 rumah sakit (RS) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan turun kelas. Ini mengindikasikan bahwa fasilitas dan ketersedian tenaga kesehatan antarprovinsi masih sangat timpang. Akibatnya, tidak jarang pasien rujuk harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan. Di sisi lain, kesenjangan tersebut menjadikan beban rumah sakit yang menjadi tujuan rujukan semakin besar.

Anggaran yang rendah juga membuat biaya operasional (capitation fee) puskesmas dan rumah sakit non-swasta menjadi sangat terbatas. Biaya operasional yang minim tentu berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada para pasien, termasuk kegiatan yang bersifat preventif, menjadi kurang maksimal. Dampak lainnya, insentif bagi tenaga kesehatan sangat minimalis, sementara beban kerja semakin besar. Akibatnya, sebagian mereka tidak dapat bekerja secara optimal.

Kelemahan pemerintah ini kemudian menjadi lahan empuk bagi investor swasta. Rumah sakit swasta tumbuh dimana-mana. Dengan kehadiran BPJS, status rumah sakit Pemerintah ataupun swasta tidak lagi penting sepanjang BPJS bersedia memberikan profit yang menggiurkan kepada mereka. Dengan demikian, peran negara dalam menyediakan layanan kesehatan akan semakin minim.

Peran Negara

Negara seharusnya memiliki andil besar dalam melayani setiap urusan warga negara. Termasuk kebutuhan hidup hingga layanan kesehatan. Karena jaminan sosial termasuk hak rakyat yang harus ditunaikan pemerintah.
Sebaliknya, dalam layanan BPJS kesehatan peserta wajib membayar premi setiap bulannya. Itu menandakan bahwa rakyat harus melindungi dirinya dan keluarganya sendiri. Padahal dalam jaminan sosial seharusnya, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak warga negara dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita. Sedangkan dalam asuransi BPJS, peserta yang ikut dibatasi dari segi usia, penyakit, dan kelasnya.

Selain rusaknya pelayanan jaminan kesehatan di sistem kapitalis ini, Institusi bisnis asuransi multinasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b. Disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini adalah fakta nyata neoliberalisme yang saat ini sedang melanda Indonesia. Apakah masih yakin bahwa negara ini berpihak pada rakyat?

Peran negara selain menyediakan layanan kesehatan adalah mempermudah urusan rakyat. Termasuk kebijakan pengurusan layanan publik dengan menyediakan kemudahan dan tidak membebaninya. Dalam hal ini maka seorang pemimpin yang mengeluarkan kebijakan dengan syarat terlampir kartu BPJS kesehatan dalam mengurus administratif maka dzalim.

“Seorang Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Wallahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 11

Comment here