Opini

Kampus Kurikulum Industri: Kurikulum Pencetak Buruh Industri

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Novriyani, M.Pd. (Praktisi Pendidikan)

Pendidikan dijadikan sebagai sektor komersialisasi, segala sesuatunya dinilai dari materi dan jumlah budget yang telah dikeluarkan. Tingkat budget menjadi faktor penentu kualitas pendidikan yang didapat

Wacana-edukasi.com — Pendidikan saat ini difokuskan untuk mencetak generasi yang bergerak pada mesin industrialisasi. Untuk merealisasikan itu, tidak hanya dibutuhkan kurikulum dosen atau kampus saja, akan tetapi pemerintah akan melibatkan kurikulum industri juga.

Seperti yang disampaikan presiden Jokowi dalam Konferensi Forum Rektor Indonesia yang ditayangkan YouTube Universitas Gadjah Mada yang mengajak industri untuk ikut mendidik para mahasiswa sesuai dengan kurikulum industri, bukan kurikulum dosen, agar para mahasiswa memperoleh pengalaman yang berbeda dari pengalaman di dunia akademis semata.

Semua harus difokuskan pada kurikulum industri, baik pengajar dan mentor dari pelaku industri, magang mahasiswa ke dunia industri, dan bahkan industri sebagai tenant di dalam kampus harus ditambah, termasuk organisasi praktisi lainnya juga harus diajak berkolaborasi (Kompas.com, 27/8/2021)

Kurikulum Industri, Mencetak Kaum Buruh?

Hal ini dilakukan semata karena melihat keterampilan dan pengetahuan yang tidak relevan dengan dunia kerja dan menjadi usang karena disrupsi. Dengan adanya kurikulum industri diharapkan mahasiswa mampu bersaing di pasar kerja yang semakin terbuka, terglobalisasi dan mampu menjadi industriawan yang menciptakan lapangan kerja.

Perguruan tinggi dijadikan sasaran instansi penghasil buruh industri, bukan lagi sebagai instansi berbasis intelektual dan agen perubahan. Perguruan tinggi bukan lagi melahirkan sumber daya manusia yang berinovasi dan memberikan manfaat untuk umat, melainkan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri/ pasar.

Paradigma seperti ini yang akhirnya dibangun dalam benak generasi sekarang. Mahasiswa dipahamkan bahwa belajar bukan lagi mencari ilmu untuk menjadi manusia yang cerdas dan bermanfaat, melainkan belajar untuk memperoleh ijazah dan pekerjaan. Hal ini dilihat karena pendidikan saat ini membutuhkan biaya yang besar, semakin tinggi jenjang pendidikan maka biaya yang dikeluarkan semakin banyak.

Pendidikan dijadikan sebagai sektor komersialisasi, segala sesuatunya dinilai dari materi dan jumlah budget yang telah dikeluarkan. Tingkat budget menjadi faktor penentu kualitas pendidikan yang didapat. Pemahaman ini didasarkan pada kebijakan kurikulum yang digunakan pada pendidikan saat ini, yaitu kurikulum berbasis Knowledge Based Economy. Dimana sistem pendidikannya diorientasikan untuk menghasilkan manusia yang berkompetensi untuk bekerja atau menciptakan nilai tumbuh ekonomi dalam negeri.

Dengan adanya kurikulum industri, justru akan membuat mahasiswa menjadi teralihkan untuk fokus dalam mendalami ilmu dan menjadi pintu korporasi membajak potensi intelektual generasi. Hal ini akan menjadi ancaman bagi bangsa karena kehilangan Sumber Daya Manusia  (SDM) pakar ilmu yang menjadi sumber lahirnya inovasi maslahat bagi rakyat dan yang ada hanya akan didapati SDM operator mesin industri.

Kurikulum Industri, Kurikulum Suka-Suka?

Selain itu, mahasiswa saat ini diharapkan mampu memiliki skill siap kerja, inovasi dan daya siang terhadap dunia industri kerja. Mereka dituntut untuk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi maupun industri dalam negeri. Mereka hanya akan dijadikan buruh murah guna meningkatkan perekonomian para pemilik modal (korporasi).

Pemerintah menyadari bahwa mahasiswa merupakan kaum intelektual yang menjadi kunci suatu kebangkitan. Di tangan kaum intelektual akan ada perubahan yang luar biasa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Maka tak heran jika mahasiswa menjadi sasaran dan alat untuk mencapai tujuan-tujuan kapitalisme barat.

Mirisnya sistem pendidikan di negeri yang mengadopsi sistem kapitalisme. Segala sesuatunya disandarkan pada manfaat, semua dilihat dari aspek materi, untung dan rugi. Jika suatu kebijakan mendatangkan keuntungan lebih, maka semaksimal mungkin akan diupayakan dan diterapkan tanpa melihat dampak yang akan terjadi ke depannya. Dalam hal ini, rakyat selalu dijadikan korban pemenuhan tujuan penguasa.

Perlu disadari juga bahwa kurikulum industri yang dibuat di sistem kapitalisme saat ini adalah kurikulum yang dibuat sesuai keinginan penguasa, kurikulum sesuka hati yang suatu saat dapat berubah sesuai keinginan politik penguasa dan kebijakan yang berlaku. Seperti yang terjadi baru-baru ini mengenai Statuta UI yang sengaja diubah untuk memberi peluang Rektor UI menjadi komisaris BUMN. Padahal rangkap jabatan tersebut telah melanggar statuta.

Pendidikan dalam Islam

Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang secara praktis diterapkan oleh negara Islam. Hal ini berangkat dari paradigma bahwa negara Islam adalah negara Independen yang tidak tunduk mengikuti arus global. Politik industrinya berbasis pada pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan atas dasar kepentingan pasar.

Visi pendidikan dalam sistem Islam tidak berorientasi pada mainstreaming tenaga kerja global. Kurikulum yang digunakan bersifat tetap dan tidak berubah-ubah. Sehingga tetap konsisten untuk mencetak dan menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian Islami yakni pola pikir dan pola sikap Islam. Alhasil, output dari pendidikan Islam ini akan menghasilkan generasi yang jauh dari persiapan duniawi dan individualisme.

Maka dari itu, guna menghasilkan generasi yang Islami diperlukan semangat dan konsistensi dalam menuntut ilmu. Terlebih ilmu agama sebagai bekal kita agar tidak menjadikan bekerja sebagai orientasi dalam menuntut ilmu, tapi menjadikan seberapa manfaat ilmu yang kita miliki untuk perubahan menuju peradaban yang mulia, yakni Islam.

Wallahu’alam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 20

Comment here