Oleh: Deni Marliani, S.Pd. (Pegiat Literasi)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Kondisi guru PPPK sangat mengkhawatirkan karena gaji yang rendah tidak sebanding dengan tanggung jawab yang diemban, kesulitan dalam memperoleh hak kesejahteraan setelah pensiun, masalah penempatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah, serta ketidakpastian dalam karier karena status kerja kontrak. Karena gaji yang minim, banyak guru PPPK terpaksa mencari pekerjaan tambahan atau bahkan terjebak utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mengutip dari liputan6. Com (/2/10/2025), Perwakilan guru dari Ikatan Pendidik Nusantara (IPN) dengan tegas menyampaikan keadaan guru dengan status PPPK. Mereka meminta pemerintah memberikan perhatian lebih dan meningkatkan kesejahteraan para guru. Salah satu wakil guru menegaskan bahwa PPPK tidak memiliki jenjang karier, tidak menerima uang pensiun, serta gaji yang rendah. Hal ini sangat kontras dengan pegawai negeri sipil (PNS).
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, meminta pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru honorer selain menaikkan gaji guru dan dosen ASN. Ia menekankan pentingnya peran guru honorer dalam pendidikan, namun banyak dari mereka yang hidup dalam kondisi kurang baik.
Untuk diketahui per September 2025, banyak guru PPPK yang menerima gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR), sehingga kualitas hidup mereka terpengaruh negatif karena sistem penggajian yang berdasar pada jumlah jam kerja per minggu.
*Gaji PPPK Minim di Sistem Kapitalis*
Mengenai kesejahteraan guru, di Indonesia memang masih menjadi masalah yang diperhatikan. Pasalnya, kesejahteraan yang didapatkan guru tidak sepadan dengan tugas mulianya dalam mencetak generasi penerus. Itulah kenyataan mengenai sistem penggajian untuk para pengajar di negara kita. Sistem ini terkesan tidak manusiawi. Ini berkaitan dengan kebijakan yang ada di negara ini, yakni sistem Kapitalis-Sekuler. Kapitalisme membuat para guru menghadapi kesulitan, penderitaan, dan menjauh dari kehidupan yang sejahtera. Padahal, mereka adalah pilar utama dalam pendidikan di negara ini dan penentu kualitas generasi yang akan datang.
Karena, masa depan generasi sangat tergantung pada kontribusi guru dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan dan menyadari betapa pentingnya peran guru ini. Dengan demikian, pemerintah tidak boleh mengabaikan dan harus serius dalam merumuskan peraturan yang dapat meningkatkan kesejahteraan para guru yang berperan dalam mencetak generasi.
Ketidakpedulian pemerintah terhadap kesejahteraan guru tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang ada, yang mengakibatkan pemerintah menganggap anggaran pendidikan tidak penting, karena tidak memprioritaskan pendidikan termasuk gaji untuk guru. Sebagian besar anggaran negara lebih difokuskan untuk membayar utang dan bunga utang, seperti proyek ambisius seperti IKN yang tidak berkaitan dengan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, melainkan lebih mengutamakan kepentingan para kapitalis yang memiliki modal.
Kapitalisme, dengan alasan investasi dan pertumbuhan ekonomi, dapat mengorbankan segalanya. Dalam pandangan kapitalis, alat produksi seperti lahan, pabrik, dan sumber daya alam dikuasai oleh individu atau perusahaan swasta, dan kegiatan ekonomi seperti pembuatan, distribusi, serta konsumsi dilakukan untuk mengejar keuntungan dalam pasar bebas.
Pendapatan negara sepenuhnya bergantung pada pajak dan pinjaman, yang justru menambah beban pada masyarakat. Guru PPPK mengalami diskriminasi dan penindasan oleh pemerintah, yang hanya memandang mereka sebagai faktor produksi, bukan sebagai pendidik yang mulia bagi generasi mendatang.
Dalam sistem Kapitalis, gaji guru ditekan serendah mungkin demi efisiensi anggaran. Guru dianggap sebagai pekerja di sektor pendidikan yang utama bertujuan untuk meraih keuntungan. Kontribusi mereka yang sebetulnya sangat berharga justru dihargai dengan imbalan yang rendah dan penuh syarat. Selain tanggung jawab mengajar, guru juga harus menghadapi tekanan administratif dan perubahan kurikulum yang sering dilakukan tanpa melibatkan mereka. Keadaan ini semakin memperburuk kondisi kerja mereka, terutama di daerah dengan infrastruktur pendidikan yang minim.
Disisi lain, kurikulum yang didasarkan pada sekularisme tidak berhasil membentuk karakter siswa. Meskipun guru berusaha mengedukasi, siswa justru terpapar budaya yang bebas dan bertentangan. Pendidikan yang mahal tidak menjamin kualitas generasi, malah semakin menegaskan adanya kesenjangan ekonomi.
*Solusi Islam*
Berbeda dengan sistem Islam yang memberikan aturan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, termasuk para guru. Hal ini disebabkan oleh kewajiban Islam bagi negara untuk mengatur semua aspek kehidupan, termasuk di sektor pendidikan. Negara tidak boleh mengabaikan hal ini, seperti dalam menetapkan kebijakan mengenai kurikulum, akreditasi lembaga pendidikan, metode pengajaran, materi pembelajaran, serta gaji tenaga pendidik yang harus sesuai dengan peraturan yang adil dan tidak menindas.
Sistem Islam juga menawarkan konsep khusus mengenai proses pendidikan generasi. Islam memandang guru bukan sekedar profesi yang menghasilkan uang, tetapi sebagai penentu masa depan generasi. Oleh karena itu, Khilafah akan memprioritaskan kesejahteraan guru sebagai perkara yang penting.
Dalam catatan sejarah peradaban Islam, para guru diapresiasi dengan gaji yang tinggi. Misalnya, pada masa khalifah Umar bin Khattab, guru digaji sebesar 15 dinar per bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikonversikan ke dalam kurs rupiah saat ini, maka gaji guru pada masa itu adalah sebesar Rp52.287.750 per bulan (1 gram emas= Rp820.200). Begitu pula pada masa Shalahudin Al-Ayubi, gaji guru adalah sebesar 11-40 dinar. Berarti jika gaji tertingginya dirupiahkan, yakni sebesar Rp139.434.000.
Dengan penghargaan tinggi Khilafah terhadap guru, maka guru fokus dalam mengajar. Tidak sibuk mencari tambahan sana-sini. Dan yang lebih penting, negara Khilafah tidak membedakan status guru honorer dan ASN, karena semuanya adalah pegawai negara (muwazif daulah). Maka, gaji atas semua guru adalah sama. Gaji ditentukan berdasarkan nilai jasa yang diberikan, bukan status ASN/PPPK. Semua guru masuk kategori pegawai negara.
Pada masa Khalifah Al-Watsiq, ia memberi gaji seorang ulama yang bernama Al-Jari awalnya 100 dinar per bulan, lalu menaikannya menjadi 500 dinar/bulan. Sedangkan pada masa kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid, pernah diberlakukan aturan untuk kitab-kitab karya para ulama bahwa sebagai bayaran kepada mereka adalah dengan menimbang berat kitab itu dengan emas.
Demikianlah gambaran kesejahteraan guru pada masa peradaban Islam. Para guru dan ulama benar-benar dimuliakan dan dihargai jasa-jasanya, bahkan diposisikan sebagai pahlawan dengan tanda jasa seutuhnya.
Views: 19


Comment here