Opini

Cuti Ayah, Maksimalkah Peran Ayah?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Putik Retnosari, M.Pd (Aktivis Dakwah)

wacana-edukasi.com, OPINI-– Awal Maret lalu ramai dibahas di portal berita kisah tertidurnya Pilot dan Ko-Pilot selama 28 menit. Saat ditelusuri, salah satu penyebab tertidurnya ko-pilot tersebut adalah karena membantu istri mengurus bayinya yang berusia sebulan. Hal tersebut seakan berkelindan dengan wacana Pemerintah dalam merumuskan adanya cuti ayah saat istri melahirkan. Cuti ayah sebetulnya bukanlah suatu hal yang baru, karena dibeberapa negara seperti Islandia memberikan cuti kepada ayah selama 13 minggu atau kompensasi 80% dari gaji pekerja.

Jepang, juga memberikan cuti setahun penuh untuk cuti orang tua khususnya ayah diluar cuti yang diberikan, kemudian terdapat tawaran cuti ayah yang menggiurkan di negara Swedia, Slovenia, Finlandia dan juga Jerman.

“Pemerintah akan memberikan hak cuti kepada suami yang istrinya melahirkan atau keguguran. Cuti mendampingi istri yang melahirkan itu menjadi hak ASN pria yang diatur dan dijamin oleh negara,” ujar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Rabu (13/03) seperti dikutip di laman www.menpan.go.id. “Hak cuti tersebut merupakan aspirasi banyak pihak. Saat ini pemerintah meminta masukan dari stakeholder, termasuk DPR, terkait hal tersebut,” imbuh Anas. Anas juga mengatakan, hak cuti bagi karyawan pria yang istrinya melahirkan, atau biasa disebut “cuti ayah”, sudah jamak diberlakukan di sejumlah negara dan perusahaan multinasional. Waktu cuti yang diberikan bervariasi, berkisar 15 hari, 30 hari, 40 hari, hingga 60 hari. “Untuk waktu lama cutinya sedang dibahas bersama stakeholder terkait yang akan diatur secara teknis di PP dan Peraturan Kepala BKN,” ujarnya.

“Pemerintah berpandangan pentingnya peran ayah dalam pendampingan ketika sang istri melahirkan, termasuk saat fase-fase awal pasca-persalinan,” imbuh Anas. Namun pertanyaan berikutnya apakah cuti ayah yang diberlakukan mampu menjamin peran ayah secara maksimal di rumah?

“Jika ayah memahami bahwa anaknya adalah masa depan umat, maka tidak ada ayah yang mengabaikan anaknya demi bisnisnya,” ungkap Ustaz Budi Ashari, Lc. Pakar sejarah sekaligus pakar parenting nabawiyah menjelaskan fungsi serta pentingnya peran ayah dalam mendidik anak. Ustadz Budi Ashari menjelaskan, menurut Ibnu Qayyim, rusaknya anak dalam sebuah keluarga disebabkan oleh rusaknya Ayah, sebab Ayah sebagai figur pemimpin telah memberikan gambaran yang rusak untuk anak anaknya.

Imam Ibnu Qayyim berkata kalau anak itu rusak maka penyebabnya Ayah, Ayah itu punya kepemimpinan dan kalau kerusakan yang dibuat oleh pemimpin itu kerusakannya bisa menjadi masal, karena kepemimpinan di rumah itu ada di suami,” ucapnya.

Islam dengan kesempurnaan ajarannya telah mengatur fungsi serta peran ayah dalam keluarga. Sosok ayah dalam keluarga, yakni sebagai pemimpin keluarga termaktub dalam QS An-Nisa: 34, sekaligus ayah juga berkewajiban menafkahi semua anggota keluarganya di dalam QS Al-Baqarah: 233). Selain menjamin pemenuhan kebutuhan keluarganya, ayah juga harus menjamin terjaga keluarganya dari siksa api neraka (lihat QS At Tahrim :6).

Teringat kisah bagaimana pembebas Baitul Maqdis, yaitu Shalahudin Al Ayubbi digembleng dengan keras oleh sang ayah seraya menanamkan nilai serta keyakinan yang besar kepada Shalahudin. Ayah Shalahuddin berkata, “Dulu, saya menikah dengan ibumu bukan untuk melakukan seperti ini. Aku menikah dengan ibumu agar kelak kau yang membebaskan al Aqsha!”. Atau bagaimana Muhammad Al Fatih yang mendapatkan Pendidikan serta gemblengan yang luar biasa dari guru-gurunya yang dipilihkan oleh ayahnya demi cita-cita besar menaklukan konstantinopel.

Ayah yang bervisi besar bagi keluarga sungguh mempunyai dampak besar dalam mencetak anak sebagai generasi penerusnya. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan tidak menyerahkan sepenuhnya kepada Ibu dikarenakan sudah sibuk dengan mencari nafkah adalah salah satu cara memaksimalkan potensi anak serta menjamin sinergi pengasuhan dalam masing-masing peran ayah dan ibu.

Najmudin Al Ayyubi dan Sultan Murad II adalah contoh dari ayah yang visioner sebagaimana halnya dengan Nabi Ibrahim. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim (lulus) menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janjiku ini tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.” (QS 2: 124). Dialog antara Nabi Ibrahim dengan Allah dalam QS Al Baqarah menunjukkan contoh visi Nabi Ibrahim dalam berdoa kepada Allah agar mampu memberikan keturunan yang menjadi pemimpin dunia.

Wacana cuti ayah yang digulirkan pemerintah, apakah mampu menjadi solusi kembalinya peran ayah dirumah?. Karena sejatinya, tanpa perlu adanya cuti ayah, kesadaran bahwa pentingnya peran ayah dalam pengasuhan harus sudah disadari jauh sebelum mereka bahkan menikah. Tidak dipungkiri, tuntutan pemenuhan dalam nafkah pada hari ini mampu mengalihkan fokus utama ayah dalam menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Peran penting negara dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan warganya, sungguh sangatlah penting.
Bagaimana negara mampu mengelola sumber daya yang ada di negeri ini sehingga mampu dikembalikan kepada rakyatnya dalam bentuk pemenuhan hajat hidup mereka sehingga dapat dipastikan ayah menjalankan tugasnya dan ibu tidak terpaksa bekerja keluar rumah demi membantu memenuhi perekonomian keluarga serta melalaikan kewajibannya seperti jamaknya realitas saat ini. Sistem ekonomi saat ini yang diterapkan pemerintah adalah ekonomi kapitalis dimana tujuan utamanya adalah pemenuhan materi yang mengusung kebebasan individualistik. Sehingga berlomba-lomba dalam mengumpulkan materi semata sangat terasa dalam memilih sumber penghasilan tanpa memandang apakah halal ataukah haram.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An Nisa: 9).

Islam sebagai din yang sempurna, memiliki sistem perekonomian yang mengatur terjaminnya kebutuhan hidup dasar serta kesejahteraan masyarakat sehingga optimalisasi peran ayah dalam mencetak generasi unggul yang mampu memimpin dunia dapat terwujud dalam penjagaan negara. Negara juga akan mendorong semua keluarga muslim untuk taat syariat serta menjalankan tugas dan kewajiban sesuai hukum syarak. Negara bahkan dapat memberi nasihat dan peringatan bagi ayah maupun ibu yang melalaikan kewajibannya, atau juga bisa memberi sanksi ketika mereka tidak bisa berubah hanya dengan cara dinasihati. Tentunya sistem ekonomi tersebut tidak mampu berdiri sendiri tanpa adanya penerapan sistem peraturan Islam yang lain, sehingga Islam itu sendiri harus diterapkan secara menyeluruh secara kaffah tanpa tebang pilih.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 3

Comment here