Opini

RUU Sisdiknas, Akankah Menjadikan Guru Sejahtera?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Ajeng Erni S

wacana-edukasi.com– Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU ini akan menggabungkan tiga undang-undang sekaligus, yaitu UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Perguruan Tinggi (Medcom.id 30/08/2022).

Akan tetapi, skema RUU Sisdiknas tersebut banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Bahkan, sejumlah fraksi DPR menolak RUU Sisdiknas masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), karena terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversi. Salah satunya tentang tunjangan guru atau tunjangan profesi guru.

Dengan demikian para guru merasa keberatan dengan adanya RUU Sisdiknas ini, karena hilangnya bagian pasal yang mengatur tentang Tunjangan Profesi Guru (TPG). Pada pasal 105 huruf a sampai h yang memuat hak guru atau pendidik, ternyata tidak ada satupun ditemukan klausul terkait hak guru mendapakan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Pasal ini hanya memuat klausul tentang hak penghasilan atau pengupahan dan jaminan sosial guru.

Menanggapi hilangnya aturan mengenai Tunjangan Profesi Guru (TPG) dalam RUU Sisdiknas, banyak pihak yang mengharapkan pemerintah mengkaji ulang RUU Sisdiknas ini. Sejumlah organisasi guru seperti Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan catatan kritis terhadap RUU Sisdiknas ini. Bahkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) juga menolak keras disahkannya RUU Sisdiknas ini.

Dilansir dari Jpnn.com, Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim mengatakan bahwa hak guru semakin berkurang di dalam RUU Sisdiknas. “Di RUU Sisdiknas tidak ada satu pun pasal yang mengatur spesifik terkait tunjangan profesi guru” ujarnya (13/09/2022).

Bahkan, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi juga menyoroti penghapusan aturan terkait TPG dalam RUU Sisdiknas versi Agustus 2022 ini. Menurutnya, guru dan dosen adalah profesi. Sebagai wujud pengakuan dan penghargaan akan keprofesiannya, maka pemerintah memberikan tunjangan profesi guru. “Telah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak guru dan dosen, terutama di sekolah-sekolah ataupun perguruan tinggi swasta yang belum mendapatkan gaji yang memadai, minimal memenuhi upah minimum provinsi/kabupaten/kota. Dalam UU 14/2005 tentang guru dan dosen, jelas diamanahkan bahwa guru dan dosen berhak mendapatkan kesejahteraan dengan penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial dari pemerintah dan pemerintah daerah,” ungkapnya (Beritasatu.com 04/09/2022).

Dari berbagai kritikan yang ada, terlihat bahwa RUU ini belum menjawab persoalan mendasar pendidikan di tanah air. Prosesnya yang tertutup dan minimnya partisipasi publik yang menjadikan UU ini mirip dengan UU cipta kerja yang mengurangi kesejahteraan warganya.

Di tengah harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi justru kini gaji guru terancam berkurang. Padahal selama ini tunjangan profesi guru dianggap cukup membantu perekonomian para guru. Sementara kita tahu bahwa nasib generasi anak bangsa ditangan para pendidiknya. Jika para pendidiknya disibukkan dengan kerja sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, proses belajar mengajar tidak akan optimal dan akan sulit terpenuhi. Padahal kesejahteraan bagi para guru sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan.

Inilah pendidikan di dalam sistem Sekularisme, agama tidak dilibatkan dalam pendidikan. Akibatnya, tujuan pendidikan tidak diarahkan untuk menghasilkan output cerdas bertakwa, melainkan hanya untuk memenuhi standar kebutuhan industri yang dibangun oleh para kapitalis.

Guru yang harusnya sebagai pendidik, justru kini diposisikan sebagai pekerja. Mereka diupah dengan nominal tertentu jika telah mencapai target jam mengajar. Padahal, keberhasilan pendidikan sangat membutuhkan guru yang berdedikasi, bukan sekedar guru yang bekerja.

Berbeda di dalam sistem Islam, Islam memandang guru sebagai profesi mulia sehingga layak mendapat apresiasi yang tinggi atas pengabdiannya. Dalam buku Fikih Ekonomi Umar bin Khattab karangan Dr. Jaribah bin Ahmad al-Haritsi dikisahkan bahwa Umar bin Khattab memberi upah pada guru sebanyak 15 dinar (1 dinar= 4,25 gram emas) setiap bulannya. Jika dikalkulasikan dengan harga emas saat ini, setiap bulannya setiap guru menerima lebih dari Rp 60 juta.

Selain itu, guru atau penulis yang membuat karya tulis akan ditimbang berat bukunya kemudian diganti dengan emas. Ini terjadi selama 13 abad ketika sistem Islam diterapkan. Negara juga menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma dalam menunjang profesionalitas guru selama menjalankan tugasnya.

Sungguh luar biasa, dalam sistem Islam guru akan terjamin kesejahteraannya dan dapat memberi perhatian penuh dalam pengajarannya tanpa harus dipusingkan untuk membagi waktu dan tenaga untuk mencari tambahan pendapatan. Tingginya penghargaan yang diberikan negara dalam bidang pendidikan, menjadikan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat.

Dengan demikian, sistem Islamlah yang mampu menyejahterakan guru. Sudah selayaknya kita kembali kepada sistem yang benar-benar meriayah umat sepenuhnya, yang sudah terbukti selama 13 abad mampu menyelesaikan masalah dengan tuntas, mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki dan rahmatan lil ‘alamiin. Wallahu ‘alam bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 29

Comment here