Opini

Retorika Blunder, Benci Produk Asing

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Isnawati (Muslimah Penulis Peradaban)

wacana-edukasi.com, Goresan lidah lebih menyayat daripada tajamnya pisau, demikian ungkapan yang lazim beredar di telinga. Apalagi pernyataan itu keluar dari seorang tokoh, ulama bahkan orang nomor satu di negeri ini, tentu akan selalu teringat. Baru-baru ini publik dihebohkan dengan seruan untuk membenci produk luar negeri oleh Presiden Joko Widodo yang berujung kontroversi, kampanye senada sudah pernah bergulir sejak 2009.

Menurut Presiden Jokowi, tak ada persoalan dengan menggaungkan benci prodok asing, justru dia merasa aneh mengapa seruannya itu berujung kontroversi. Saat membuka Rapat Kerja Nasional XVII HIPMI tahun 2021 di Istana Bogor, Jawa Barat di hari Jumat Presiden mengungkapkan. “Masa nggak boleh kita nggak suka ? kan boleh saja tidak suka produk asing,” ungkapnya. Kompas.com (8 Maret 2021).

Berupaya untuk melindungi produk dalam negeri merupakan kewajiban negara, mengapa ungkapan Presiden tersebut menjadi polemik dibanyak kalangan, adalah pertanyaan yang harus dijawab dengan benar. Seringkali kebijakan dan pernyataan penguasa membingungkan rakyat sebab sekedar beretorika pun ujung-ujungnya blunder tidak masuk akal, apalagi menuntaskan masalah. Seperti seruan membenci produk asing tetapi tidak diiringi upaya perubahan menuju kemandirian secara total. Pintu masuknya produk asing dan investasi di buka selebar-lebarnya atas nama demi perbaikan ekonomi rakyat. Retorika itu pun menimbulkan pertanyaan lagi, untuk perbaikan ekonomi rakyat yang mana? sedangkan seruan untuk tidak mempersulit masuknya investor asing dilakukan secara masif pada jajaran pejabat.

Esensi ini seperti terpenggal dari kerangka berpikir, ibaratnya menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri seolah jadi gambaran yang paling tepat. Kampanye benci produk asing semakin membuka ketidakberdayaan penguasa yang dibuktikan dengan berbagai kebijakan kontradiksi. Seperti pemberian harga lahan murah, pemberian ijin usaha dengan mudah beserta tenaga asingnya bahkan pemasaran produk asing secara langsung ke konsumen melalui online. Perlindungan produk dalam negeri membutuhkan bukti nyata berupa kebijakan mulai dari hulu hingga hilir, sarana dan prasarana.
Sebenarnya produk asing adalah bagian dari sains yang bersifat materi dan boleh diambil tanpa harus membenci. Hari ini menjadi polemik karena kemajuan teknologi dikendalikan secara membabi buta oleh asing dengan prinsip kapitalismenya. Asas manfaat yang tertanam pada pengembannya menabrak rambu-rambu yang ada untuk mencapai keuntungam sebesar-besarnya.
Indonesia sebagai negara kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusianya menjadi tempat pemasaran yang strategis atas nama kerjasama. Ketergantungan pada asing berupaya diikatkan dengan berbagai macam cara, salah satunya melalui pinjaman-pinjaman agar terpasung jauh dari kemandirian. Jeratan hutang digiring pada anggapan kewajaran sebagai negara berkembang yang membutuhkan dana, dan nilainya juga lebih kecil dari negara lain. Kebijakan liberal diarahkan pada globalisasi guna memperluas dominasi ekonomi melalui kerjasama bilateral dan multilateral.

Ketidak tahuan mana lawan dan mana kawan menghantarkan pada analisa dan solusi yang paradoks, membingungkan rakyat. Penerapan perdagangan bebas dan mekanisme asing dalam mendikte sangat kuat mencekram. Disisi lain mental anak bangsa yang biasa terjajah menganggap bantuan asing adalah cara meningkatkan kapasitas dan posisi di mata internasional menguatkan ketergantungan pada asing. Kesulitan dan ketidak mungkinan negeri ini keluar dari kemiskinan dan kesejahteraan adalah fakta karena mental kemandiriannya sudah kandas ditelan berbagai kamuflase kebijakan.

Stabilitas ekonomi dan politik dengan proteksi yang berpegang teguh pada kesetaraan dan keadilan harus segera dihadirkan, sebelum negara ini tinggal nama. Kepemimpinan negara dikembalikan pada posisinya yaitu sebagai pelayan rakyat yang menjauhkan dari ketergantungan pada asing. Sumber daya alam dan sumber daya manusia potensinya harus dioptimalkan, dikelola secara mandiri untuk kesejahteraan rakyat.

Menjalin kerjasama dengan luar negeri dan bekerjasama dalam konteks impor komoditas merupakan kebolehan tapi tidak dengan kafir harbi fi’lan, negara kafir yang memerangi Islam. Tujuan dari pelarangan tersebut untuk melindungi stabilitas ekonomi dan politik dalam negara. Mekanisme-mekanisme itu hanya ada dalam negara yang menerapkan Islam secara kaffah, dan untuk melanjutkan kehidupan yang berperadaban tinggi harus kembali pada fitrah manusia yaitu kebenaran Islam. Indonesia juga milik Sang Pencipta harus segera disadari dengan mengikuti peraturanNya dan menjauhi segala larangan menuju Rahmatan Lil Alamin bagi seluruh alam.

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih benar selain hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? . ” (QS. Al Maidah: 50)

Wallahu a’lam bisswab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 2

Comment here