Opini

Restoratice Justice, Mungkinkah?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Hasriyana, S.Pd.
(Pemerhati Sosial Asal Konawe)

wacana-edukasi.com– Kasus kriminalitas di negeri ini sampai saat ini memang masih menjadi persoalan di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, hampir setiap harinya masyarakat menyaksikan berita kriminal di layar kaca mulai dari pembunuhan, pemerkosaan, begal, perampok, mutilasi dan lain-lain. Namun, hingga kini angka kriminalitas justru semakin hari makin meningkat. Padahal para tersangka telah diberi hukuman oleh pihak yang berwajib.

Di tengah semakin tingginya angka kriminalitas, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan restoratif justice bagi para narapidana yang kasusnya cenderung tidak berat pelanggarannya. Dengan tiga poin penting yang harus diperhatikan sehingga pemerintah dalam hal ini kejaksaan perlu mengeluarkan kebijakan tersebut. Pertanyaan kemudian yang muncul adalah, apakah dengan memberikan restoratif justice kepada para terpidana ringan menjadi solusi?

Dikutip dari media Detik.com bahwa Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Restorative justice itu diterapkan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya ringan, sesuai Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative.

“Sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 (seribu tujuh puluh) perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restorative, di mana penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restorative dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” kata Fadil dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/5/2022).

Restoratif justice merupakan kebijakan yang diambil kejaksaan untuk menghentikan tuntutan bagi para terpidana ringan. Namun tidak ada penjelasan detail terkait terpidana ringan yang dimaksud, seperti apa saja tindak pidana ringan dan bagaimana indikator ringannya kasus terpidana yang kemudian bisa mendapatkan keadilan restoratif. Sehingga hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk kepentingannya.

Pun, jika harapan yang dimaksudkan pemerintah dengan kebijakan restorative justice itu dapat mengurangi residivisme, hal ini bagaikan solusi tambal sulam. Mengapa? Karena tidak ada jaminan bagi narapidana yang telah dibebaskan kemudian tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut. Betapa banyak contoh terpidana yang telah bebas, tapi kemudian melakukan lagi kasus kriminal. Bukankah hal ini bisa menjadi pelajaran bagi para penegak hukum?

Bahkan kebijakan tersebut seolah menggambarkan bahwa hukum dan aturan di negeri ini nampak lemah. Hal ini terbukti walau ditegakkan aturan, namun banyak pula yang melanggarnya. Begitu pun halnya dengan hukum, hukum dibuat namun kemudian dilanggar pula. Demikian hukum bisa dibeli, sesuai pesanan si empunya uang. Sehingga jika rasa keadilan yang ingin ditegakkan, maka kebijakan restorative justice ini bukanlah solusi tepat untuk menyelesaikan muara persoalan.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam aturan diberlakukan selain untuk kemaslahatan umat, juga karena syariat memerintahkannya.

Dalam sistem Islam pula masyarakat akan diedukasi terlebih dahulu terhadap akidah Islam, mengapa? Karena akidah Islam inilah yang akan membuat seseorang muslim tetap konsisten dan takut melakukan kemaksiatan, baik yang merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain.

Islam juga akan menerapkan hukum yang adil bagi setiap pelaku tindak pidana yang disesuaikan dengan tindak kriminal yang dilakukannya. Karena hukum Islam bersifat sebagai pencegah dan penembus dosa. Maksud sebagai pencegah adalah seseorang akan takut untuk melakukan hal yang serupa, karena telah menerima hukuman yang menimbulkan efek jera, begitu juga orang lain yang memiliki keinginan serupa. Pun sebagai penembus dosa ketika kelak berhadapan dengan Allah Swt. di pengadilan akhirat.

Karenanya benarlah bahwa tiada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah. Hal itu sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 50 yang artinya, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin”.

Satu contoh misalnya, dalam Islam bagi seseorang yang berzina maka hukuman yang diberikan bagi yang belum menikah adalah dengan cambukan dan diasingkan. Kemudian jika ia telah menikah maka hukumannya rajam yaitu di kubur hingga batas leher dan dilempar hingga mati. Atau hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Dan hukuman ini disaksikan di hadapan umum. Sehingga dengan begitu sangat mungkin bagi yang melihat dan sebelumnya terpikir untuk melakukan hal yang serupa akan mengurungkan niatnya.

Oleh karena itu tidak mudah memang menyelesaikan persoalan tindak pidana, jika hukuman yang diberikan tidak membuat efek jera bagi para pelaku. Sehingga kita hanya bisa berharap pada sistem yang aturannya berasal dari Allah Swt, yaitu sistem Islam. Wallahu a’lam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 2

Comment here